Istilah Ahlussunnah kholafiyah terbentuk tiga kata yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. Sunnah secara harfiah berarti tradisi. Sunnah secara etimologis adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan menurut terminologis syara’ ialah nama bagi jalan dan perilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulallah SAW atau orang-orang yang mendapat teladan dalam beragama seperti para sahabat, berdasarkan sabda Rasulallah SAW ”Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. Khalafiyyah biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III Hijriyah dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya mereka menakwil sifat-sifat Allah yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Ahlussunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammmad, dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Istilah yang lebih dikenal dalam masyarakat adalah Ahlussunnah waljamaah atau disingkat Aswaja. Jamaah menurut Harun Nasution diartikan sebagai golongan yang bepegang pada sunnah dan merupakan mayoritas.
Ahlusunnah waljamaah adalah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain. Ringkas kata Ahlussunnah waljamaah adalah orang-orang yang mengikuti cara hidup Nabi Muhammad dan golongan terbesar.
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah khalafiyah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah yang disebar pertama kali oleh Wasil bin Atho’ (w 131 H/748 M) dan sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran Islam.
Dalam surat syaikh al-Azhar, Salim al Bisyri kepada tokoh Syiah yaitu Abdul Husain Syarfuddin al Musawa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah adalah golongan aliran Asy’ariyah dalam urusan akidah.
Istilah Ahlussunnah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut Al-Asy’ari sendiri seperti al Bagillani (403) al-Baghdadi (w 429), Al Juwaini (w 478 H) al Ghozali 505 H dan asy-Syahrashani 548 H juga belum pernah menyebut menyebut terma tersebut. Pengakuan secara eksplisit mengenai adanya paham ahlussunnah baru baru dikemukakan az-Zabidi (w. 1205 H) yang menyatakan, bahwa apabila disebut ahlussunnah maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy’ ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlussunnah baru dikenal jauh setelah wafatnya tokohnya.
Refrensi:
Muhyiddin Abdushomad, Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terjemah syarh ‘Aqidah al-‘awam (Surabaya: Khalista, 2009)
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah? (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Al-Sunnah wal al-Jamaah (Jombang: Maktabah al-Turats, 1998)
Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam masa murni (Solo: Ramadhani, 1996)
Muhyiddin Abdushomad, Fiqh TradisionalJawaban pelbagai persolan keagamaan sehari-hari (Surabaya: Khalista, 2006)
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah batsul masail 1926-1999(Yogyakarta: LKiS, 2004)
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998)
Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jamaah Jawaban Terhadap Aliran Salafi (Surabaya: Khalista, 2009)
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam. (Jakarta: Rajawali Press, 1991)
Nasution, Harun, 1978, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar