Senin, 26 Maret 2012

KH. MOHAMMAD ZAIDAN HADI

KH. MOHAMMAD ZAIDAN HADI


KH. Zaidan Hadi (Alm.)


Masa Kecil
Muhammad Zaidan Hadi dilahirkan di desa pingiran kota Nganjuk dusun Grompol desa Tanjung Tani kecamatan Prambon. Dilahirkan di tengah kondisi rumah tangga yang sangat sederhana dari pasangan Abdul Hadi dan Umu Surotun.

Zaidan kecil berkembang sebagaimana anak-anak kecil lain di kampungnya. Ia mulai belajar Al-Quran , dan beberapa kitab dasar ilmu tajwid, nahwu , dan sharaf, fiqih serta tauhid dari Pesantren KH. Yasin Yusuf, di kampugnya. Menempuh pendidikan dasar di SDN I Prambon, SLTP di MTs Grompol Tanjung Tani.

Pagi ia belajar di sekolah formal, sore hari di Madrasah Diniyah dan malam belajar di Pesantren KH. Yasin Yusuf. Sejak kecil ia sudah nampak tekun dan sunguh-sungguh serta cerdas, namun disisi lain ia hidup dalam keluarga yang sangat sederhana dengan 4 saudara. Sederhana namun tekatnya sangat besar dan lurus.

Ketika usia remaja awal, masa sekolah di MTs inilah, bapak beliau Abdul Hadi meningal dunia. Beban keluarga semakin terasa berat, ketika remaja Zaidan menyampaiakan keinginannya untuk meneruskan belajar di Pondok Pesanten Lirboyo Kediri. Namun sang ibu Umu Surotun tidak mengizinkan dengan alasan biaya. Berulang-ulang remaja Zaidan meminta izin. Untuk meyakinkan sang Ibu, Zaidan tidak minta apa-apa kecuali restu belaka. Tidak berhasil, maka ia mendekati kakaknya Mohammad Zainuddin. Dengan bantuan Sang kakak Zainuddin inilah hingga Sang Ibu merestui niatnya untuk belajar di Lirboyo .

Belajar di Lirboyo
Remaja Zaidan berangkat ke Lirboyo untuk belajar. Ada 2 bekal yang ia bawa dari rumah ;1)Cengkir ( jawa:kelapa yang masih sangat mudah) , dan 2) Jagung. Cengkir akronim dari kencenge pikir, dan Jagung akronim dari sejo kang agung. Cengkir sebuah istilah untuk kondisi seseorang yang sedang mempnyai pemikiran dan keinginan yang lurus, tidak bisa di belokkan. Sedangkan Sejo Kang Agung istilah bagi kondisi seseorang yang mempnyai cita-cita dan tujuan sangat tinggi yang hendak akan diwujudkan dalam kenyataan hidupnya, apapun kondisinya. Kedua istilah ini hanya digunakan bagi orang yang mempunyai keterbatasan biaya dan perbekalan material, namun mempunyai tekad yang kuat dan lurus tidak ingin dibelokkan atau diganti dengan tujuan lain. Inilah yang terjadi pada Zaidan muda waktu itu. Zaidan muda berangkat ke Lirboyo tidak berbekal apa kecuali tekad dan kemauan yang sangat kuat. Modal yang sangat dibutuhkan hanya restu sang Ibu dan itu sudah didapatkan melalui bantuan sang kakak Mohammad Zainuddin.

Zaidan muda belajar di Lirboyo mulai tingkat Tsanawiyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in. Beliau nyantri di bawah bimbingan pengasuh pondok ketika itu KH. Mahrus Ali. Zaidan muda di kalangan teman-temannya terkenal sangat tekun, rajin, disiplin dan sungguh-sungguh. Sangat menguasai ilmu alat nahwu dan sharaf, hingga menghafal Alfiah 1000 nadlam bolak-balik. Beliau menghafal nadham-nadlam Alfiah 1000 bait, dari bait ke satu terus hingga bait ke-1000, lantas diulang dari bail ke-1000 berjalan mundur hingga bait ke-1. Model hafalan bolak-balik ini populer di Lirboyo saat itu, dan hanya bisa dikuasai oleh orang tertentu saja. Di samping KH. Mahrus Ali , guru-guru dan mustahiq yang langsung mengajar beliau antara lain Kyai Sayyidun Murtadlo Bojonegoro, Kyai Abu Bakar Petok Kediri, dan Kyai Tauhid Sawahan Nganjuk. Zaidan muda belajar hingga tamat, dan sebagai salah satu bintang santri Hidayatul Mubtadiin Lirboyo .

Menjadi Pengurus Pondok Lirboyo
Lantaran terkenal tekun, teliti, jujur, disiplin dan amanah inilah lantas beliau diangkat menjadi bendahara pondok tahun 1977 sampai 1978 . Namun dasarnya karena tidak perna memegang uang banyak, maka beliau sempat sangat bingung dan tidak bisa tidur berbulan-bulan karena memikirkan amanat ini. Akhhirnya Zaidan muda menceriterakan tentang kondisinya kepada sang kakak Moh. Zainuddin. Akhirnya Moh. Zainuddin mengajak sowan menghadap kepada H. Hadzik Grompol, orang yang terkenal kaya raya di kampungnya, untuk minta nasehat bagaimana menghadapi masalah ini. Beliau H. Hadzik menasehatkan agar menganggap uang yang dipegang sebagai sampah. Kata beliau “ Anggepen wae duet iku larahan, ben ora bingung”. Berkat kesungguhanya Zaidan muda berhasil melewati tantangan ini dengan baik. Dalam hal memegang amanant ini , beliau tersohor sangat teliti dalam mengawasi keluar masuknya keuangan pondok. Salah satu hal yang dilakukan misalnya beiau selalu memeriksa satu persatu amplop yang berisi uang bisyaroh mulai dari tingkat pengasuh hingga tukang sapu .
Menjadi Mustahiq di Lirboyo

Zaidan muda kemudian diangkat menjadi salah satu mustahiq kelas 4 ibtida’iyyah di antara 4 mustahiq lainnya. Hal ini berlanjut hingga santri asuhannya menamatkan kelas 3 Aliyah. Beliau dengan tanpa ditunjuk atau diangkat sebagai koordinator, secara alamiah beliau terangkat dengan sendirinya sebagai koordinator mustahiq, karena selalu menjadi rujuakan dalam urusan kemustahiqan dan keilmuan. Semua hal tentang keilmuan beliau menjadi salah satu rujukan bagi teman-teman mustahiq . Hal ini tentu secara alami wajar karena memang beliau pernah menjadi rois musyawarah , sebuah jabatan bergengsi yang mencerminkan kedalaman penguasaan terhadap kitab-kitab kuning. Karena itu pula beliau sangat biasa menjadi utusan bahtsul masail mewakili Pesantren Lirboyo baik ditingkat regional jawa Timur hingga Jawa Tengah .

Menikah
Karena kemasyhuran ini pula beliau tercatat pernah 4 kali mendapatkan tawaran untuk diambil menantu baik dari kolega temannya sendiri ataupun dari kyai. Tawaran keempat hampir terjadi kata sepakat , ketika KH. Mohammad Shohib Bisri melalui KH. Anwar Manshur meminta kesediaan Zaidan muda untuk dinikahkan dengan putri beliau yaitu Zainab Shohib Bishri. Akhirnya Zaidan mudapun diminta mentawaqqufkan kepastian itu.

Setelah dimauqufkan, dan dipastikan tidak jadi, maka KH. Anwar Manshur beserta Nyai, KH. Shohib Bisri beserta Nyai dan didampingi KH. Ghozali Nur Tegal Rejo Tanjungtani beserta Nyai bersama-sama tanpa sepengetahuan Zaidan muda dan keluarga, datang ke Grompol rumah Zaidan Muda. Beliau sengaja tidak memberitahukan kehadiran beliau-beliau agar tidak merepotkan penyambutannya. Di rumah Grompol ditemui oleh kakak beliau yaitu Moh. Zainuddin sekeluarga-karenan memang sejak MTs di Lirboyo Ibu beliau telah meninggal, dan segala urusan keluarga diserakan kepada kakak beliau. Pihak keluarga Zaidan muda pun sangat bingung luar biasa. Hal yang dibingungkan adalah bagaimana mungkin kami yang dari keluarga biasa dan sangat sederhana (untuk menghindari penyebutan sangat miskin) akan berbesanan dengan pengasuh pondok pesantren besar dan ternama di Jombang itu , yaitu Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang. Disinilah totalitas kepatuhan Zaidan muda kepada kyainya diuji ke sekian kalinya.

KH. Mohammad Shohib Bisri menyampaikan ajakan kepada Zaidan muda untuk “ macul ganjaran di pesantren Denanyar”. Sebuah penggunaan istilah yang sangat mendasar. Mencerminan visi-misi sebuah ikatan pernikahan yang hendak dibangun yang megorientasikan kepada akhirat. Atas dasar dan desakan inilah kemungkinan besar fihak keluarga Zaidan muda lantas bersedia. Berikutnya adalah balasan proses bebesanan dari fihak laki-laki. Sang Kakah Moh. Zainuddin didampingi KH. Masruhin Syakur datang ke Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar sowan kepada KH. Mohammad Shohib Bisri. Segera kemudian ditentukan tanggal pernikahan dan segala acara yang berkaitan dengan itu.

Hijrah dari Lirboyo ke PesantrenDenanyar
Kyai muda Zaidan Hadi pun akhirnya menikah di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, berangkat dari Lirboyo dan diiringi teman-teman koleganya dan santri-santri Lirboyo. Kyai muda Zaidan Hadi-pun kemudian Hijrah dari Lirbyo ke Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang , sebuah dunia baru yang harus dihadapi oleh beliau. Dunia yang berbeda dengan suasana selama ini yang dirasakan di Lirboyo. Di Denanyar-lah KH. Zaidan Hadi mulai mengenal sisi lain dari kehidupan. Komentar pertama ketika memulai hidup di Denanyar adalah “ iki thoh isine dunnyo iku “ kata beliau . Di Peantren Denanyar pula beliau melihat dalam pesantren terjadi ikhtilath antara santri laki-laki dan perempuan, ada drum band perempuan, dan acara-acara lain yang belum pernah dijumpai di dunia Lirboyo. Sebuah tantangan baru yang besar.

Macul Ganjaran di Pesantren Denanyar
Di Denanyar, sejak tahun 1985 KH. Mohammad Zaidan Hadi diserahi untuk mengurus Madrasah Diniyah. Sebuah tantangan yang besar, karena kebiasaan, budaya dan priaku yang ada sama sekai berbeda dengan di Lirboyo. Selama 20 tahun hingga tahun 2005, KH. Zaidan Hadi menjadi kepala madrasah diniyah Mambaul Ma’arif, sebelum digantikan oleh KH. Abdul wahab Kholil.

Di beberapa kesempatan beliau menyatakan bahwa beliau menjadi kepala madrasah diniyah mulai dari seperti tukang bel, tukang obrak-obrak santri, tukang membangunkan santri dan sebagianya . Ini disampaikan karena memang kondisi saat itu cukup memprihatinkan. Santri untuk belajar di Madrasah Diniyah saja masih harus diobrak-obrak di kamar masing-masing, bahkan cukup banyak yang melarikan diri ke Bong Cino (pekuburan Cina). Di sis lain kedisiplinan guru harus ditingkatkan. Namun dalam kondisi seperti itu KH.Mohammad Zaidan Hadi tetap sabar, tekun, dan sungguh-sungguh. Beliau adalah termasuk sosok yang tidak bisa mengabaikan amanat. Beliau sangat fokus dalam menuntaskan tugas yang diemban . Hal ini kelak terbukti ketika akan mengambil keputusan mundur dari kepala Madrasah Diniyah mamba’ul Ma’arif.
Melalui Madrasah Diniyah inilah nilai-nilai dan ruh inti sebuah pondok pesantren di Denanyar dijaga, dipelihara dan ditingkatkan. Untuk meningkatkan kualitas keilmuan yang dikaji di Madrasah Diniyah ini, Beliau bersama adik Iparnya yaitu KH. Abdul Mujib Shohib (alm.), dibantu Kyai Afifuddin Mukhith (alm.)dan Mbah Abu Hamid Joyo Terto (alm.)tercatat pernah membuat Madrasah Diniyah Wustho dengan cara menambah jam belajar ba’da maghrib hingga jam 21.00 malam. Banyak sekali laka-liku dan rintangan yang musti harus dihadapi ketika itu. Madrasah Diniyah Wushtha sudah mampu meluluskan 4 angkatan, ketika Diniyah malam terpaksa harus dihilangkan hingga sekarang.

Terobosan berkutnya, KH. Zaidan Hadi membuat Madrasah Salafiyah pagi hari. Sebuh terobosan yang sangat berani kala itu. Untuk menambah pengetahuan santri-santri senior,beliaupun membuka pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin dan Syarah Hikam pada pagi hari hingga jam 08.00 dan siang setelah dhuhur yaitu jam 13.30 WIB di rumah beliau. Terobosan ini dibarengi dengan dibentuknya kelas musyawirin bagi para guru pondok dan lulusan Aliyah yang masih bersedia tinggal dan meneruskan mengaji di Denanyar . Bagian lain dari ruang tamu beliau dijadikan tempat musyawarah setiap pagi 6 hari seminggu. Tercatat 9 santri senior yang ikut musyawarah mendiskusikan kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibn Malik. Sebuah forum diskusi dan pengejian yang kelak menghasilkan tenaga-tenaga pengajar asli poduk Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Strategi inilah yang dinilai cukup berhasil untuk mendinamisasikan keilmuan kitab salaf di Denanyar Jombang. Dari forum inilah Pesantren Mamba’ul Ma’arif dapat berbicara tampil dalam forum-forum bahtsul masail ditingkat regional jawa timur, bahkan kemudian membidani lahirnya FBMPP( Forum Bahtsul Masail Pondok Pesantren Se Jombang). Dari pengajian dan musyawarah ini pulalah kebutuhan tenaga-tenaga pengajar di asrama-asrama di lingkungan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif dapat dipasok terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Beliau dalam membelajarkan santri-santrinya tidak dibatasi oleh ruang kelas. Beliau membelajarkan santri-santrinya dalam kelas besar yaitu di setiap prilaku kehidupannya. Beliau selalu hati-hati dalam urusan syariat. Selalu mencocokkan apa yang diajarkan dengan apa yang diamalkan. Bahkan tidak berani mengajarkan sesuatu sebelum beliau bisa mengamalkannya. Karena alasan inilah beliau menolak permintaan agar berkenan megajar di kampung-kampung, pesantren Tambak Beras dan di perguruan tinggi IKAHA . Segala tindakannya ditimbang dan diukur dengan syariat. Sehingga melihat prilaku beliau bagaikan membaca teks kitab kuning yang berjalan. Setidaknya inilah yang dirasakan oleh santri-santrinya.

Tentang Putra Pertama Gus Moh. Zainul Hasan Syansuri
Pada perkembangan berikutnya, beliau dihadapkan pada hal baru yang membutuhkan perhatian serius dari beliau. Yaitu hal yang berkaitan denga putra pertama belaiu, Gus H. Mohammad Zainul Hasan Syansuri. Hal yang oleh anggapan orang umum dan umumnya anggapan orang merupakan musibah atau masalah. Sebuah hal yang oleh beliau sendiri dan keluarganya merupakan anugrah dan nikmat yang sangat besar.
Sebagaimana diketahui bahwa semenjak kepulangan Gus Zainul dari tanah suci Mekah tahun 2002, Gus Zainul mengalami ketidak seimbangan jiwa yang hebat kerena mendapatkan anugrah yang sangat besar, sebuah anugrah yang hanya bisa difahami oleh orang tertentu saja.

Menurut keyakinan beliau KH. Zaidan Hadi, putranya sedang mengalami apa yang disebut dengan jadzab-majdzub. Istilah yang banyak disebut dalam kitab tashawuf. Keyakinan ini didasarkan pada hasil istikharah beliau dan tahqiq dari beberapa kyai sepuh dan tahqiq dari Gus Mukhlas Lirboyo sebagai orang yang pernah mengalami hal serupa .

Karena itulah beliau sangat mempunyai perhatian besar kepada puta pertamanya ini. Beliau ingin melayani sebaik-baiknya untuk kebaikan putranya, maka beliau ingin fokus, tidak mau menjadikan hal ini sebagai sampingan dari yang lain. Maka dengan alasan ini beliau menyatakan menyerahkan tanggungjawab kepengurusan Madrasah Diniyah kepada adik Iparnya, KH. Abdul Mujib Shohib .
Lahir-batin usaha yang dilakukan KH. Zaidan Hadi untuk melayani Gus Zainul. Beliau merasa risau terhadap anggapan orang yang berprasangka buruk kepada Gus Zainul. Namun demikian beliau tetap berusaha bisa menerima dan menghargai anggapan semua orang. Salah satu indikasinya adalah beliau tetap bersedia mengikuti saran orang yang menganjurkan untuk membawa Gus Zainul ke rumah sakit Jiwa, atau kepengobatan lahir lainnya.

Satu hal yang masih merisaukan beliau hingga akhhir hayatnya adalah bahwa selama ini beliau, istri dan keluarganya belum bisa melayani Gus Zainul sebagaimana mestinya, sebab beliau rasakan pada diri beliau masih ada rasa sebagai orang tua dari anak yang bernama Moh. Zainul Hasan Syansuri, yang hal ini berdampak terkadang muncul rasa melebihi (lebih tua, lebih berhak dihormati, dll) sebagai orang tua dari pada Gus Zainul . Hal ini sekalipun manusiawi, namun menurut beliau semestinya bukanlah demikian cara memandangnya.

Kehidupan di Keluarga
Di tengah-tengah kehidupan keluarganya, Beliau sangat hati-hati dalam syariat. Hal kecil sedetail apapun ditimbang dan diukur dengan syariat ala kitab kuning. Beliau sangat memegang prinsip. Menerapkan prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi mengkar dangan sungguh-sungguh. Tidak bisa melihat kemungkaran di depannya. Beliau pasti melakukan tindakan untuk menyikapi kemungkaran hingga dengan ingkar hati jika memang kondisinya tidak mampu. Beliau tidak bisa mengabaikan undangan, suka mendatangi undangan, kecuali jika ditemukan ada unsur kemungkaran di dalamnya . Karena itulah sulit ditemukan beliau hadir di forum-forum yang di tempat itu terjadi kemungkaran. Namun demikian beliau menghadapi orang lain tidak menggunakan ukuran beliau sendiri. Beliau berlatar belakang pesantren salaf, namun tidak menghendaki santri-santrinya selalu sama dengan jejak beliau , beliau mengarahkan dan menganjurkan santrinya sesuai kapasitasnya. Karena itulah beliau mendorong santri-santrinya menyelesaikan kuliah setiggi-tingginya, bahkan khadam/ pembantu sehari-hari di rumah beliaupun dikuliakan. Beliau bisa bicara dengan siapapun sesuai dengan kapasitas lawan bicaranya. Kalau berjalan beliau menundukkan kepala, berjalan lurus seperti menuju ke suatu titik,sehingga terkesan cepat. Dalam situasi apapun banyak mengerak-gerakkan bibirnya karena berdzikir. Beliau sangat marah kalau syariat diremehkan atau diabaikan. Sangat peduli kepada syariat.

Dalam membina rumah tangga beliau membangun rasa kasih sayang dan saling mencintai dan melindungi satu sama lain, mengorientasikan kehidupan keluarga unruk akhirat, sehingga dengan demikian benar-benar terjalin hubungan dzurriyyah bin nasab secara hakiki sebagaimana konsepnya Imam As-Shawi dalam Hasyiyah tafsir Jalalain. Setidaknya hal ini tercermin dari apa yang “dihadiahkan” oleh beliau kepada istri beliau ketika ulang tahun pernikahan, berupa kutipan hadits nabi yang berbunyi :
??? ??? ??? ????? ????? ??? ????? ?? ????? ??? ????? ????? ????? ???? ?? ?????? ?? ????? ????? ?? ?? ??? ???? ?? ???? ????? ???????? ??
Artinya: Apa bila ahli surga telah masuk surga, maka di antara mereka menanyakan tentang kedua orang tuanya, menanyakan istri/ suami nya, dan anak-anaknya. Maka dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya mereka tidak mendapatkan apa yang engkau dapatkan. Maka para ahli surga tadi berkata; hai tuhanku sesungguhnya saya dulu beramal di samping untuk diri saya sendiri juga untuk meereka semuanya. Maka kemudian diperintahkan malaikat untuk mempertemukan mereka dengannya (dalam satu tingkatan di surga).

Hadits ini diungkapkan sebagai “hadiah” pernikahan beliau kepada istrinya terkandung maksud bahwa beliau menginginkan mengorientasi hubungan dalam keluarga adalah orientasi akirat, untuk kehidupan kelak melalui pergaulan muasyarah bi ma’ruf di dalam keluarga.

Akhir Hayatnya
Hingga akhir hayatnya, beliau meninggalkan seorang istri Nyai Hj. Zainab Shohib, dan 3 orang anak dari 4 bersaudara. Anak terakhirnya Zubdatul Muna telah wafat mendahului beliau dalam usia 2 tahun. Putra-putri penerus beliau yaitu; pertama H. Mohammad Zainul Hasan Syansuri menamatkan pendidikan di Lirboyo, ke dua Gus Zidni Nuro masih belajar di Pondok Pesantren Tarbiyatunnasyiin Pacul Gowanag Diwek Jombang, dan ke tiga Zufa Al-Husna, telah menamatkan pendidikan di Matholiul Falah Kajen Margoyoso Pati asuhan KH. A. Sahal Mahfudh, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di STAIBAFA Tambak Beras Jombang.

Karya-karya Beliau
Hingga akhir hayatnya, beliau telah menulis beberapa buku berbahasa Arab, antara lain;
1. Nurul Lum’ah; fi Khashaishil Jumuah
2. Zubdatul Muna ; Fi Ma Yata’allaqu Bi Smail Hhusnamin Syarkhi Ma’aniha Wa Takhalluqu Biha Wakhawashiha.
3. Lum’atus Shalah Fi Ma Yata’allaqu Bis Shalah.
4. Misykatunnur Fi Tafsiri Ayatil Ahkam Min Suratin Nur
5. An Nataaij Fi Qadhail Hawaaij

Penutup
Kita semua merasa kehilangan setelah beliau menghadap Allah SWT. Ketika masa hidupnya beliau sangat khumul sehingga kurang diperhitungkan perannya. Namun setelah beliau meninggal baru, terasakan betapa jasa dan peran beliau. Beliau meninggalkan banyak contoh, suri tauladan dalam menghadapi kehidupan ini. Semua orang mengakui dan menjadi saksi kebaikan beliau. Semoga kesaksian itu diterima Allah SWT, sehingga beliau ditempatkan pada tempat yang sangat mulia disisi Allah SWT. Semoga keluarga dan putra-putrinya dapat melanjutkan perjuangan beliau. Amin-amin-amin yaa rabbal ‘alamin.

1 komentar:

  1. makasih atas infonya???semga amal ibadah beliau dtrima disisinya.Amin
    selamat jalan Bpk KH. MOHAMMAD ZAIDAN HADI.

    BalasHapus