Minggu, 14 Agustus 2011

Puasa dalam Tinjauan Sufistis: Keutamaan Lapar dan Tercelanya Banyak Makan




Semakin seseorang memanjakan perutnya dengan melahap apa saja yang dia sukai, semakin giat dia mengejar dunia. Semakin sering seseorang melaparkan perutnya, semakin jarang ia mencari dunia.


Menahan lapar adalah salah satu perbuatan yang paling mulia. Jika diiringi dengan niat yang benar-benar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, seorang hamba akan mencapai derajat yang sangat tinggi.
Setidaknya ada tujuh niat untuk mendapatkan kebaikan ketika seseorang menahan lapar. Abu Thalib Al-Makki (386 H/988 M) dalam bagian kedua kitabnya yang berjudul Ilmu al-Qulub (Ilmu Psikologi) menjelaskan tujuh niat tersebut. Sebelumnya ia menulis kitab berjudul Qut al-Qulub (Santapan Ruhani). Semua kitab Al-Makki sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pertama, meredam dan mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu perlu dikendalikan agar bisa melaksanakan berbagai ketaatan dan memenuhi perintah Tuhan, demi memperoleh ridha-Nya serta derajat yang tinggi. Allah SWT berfirman, “Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” – QS Al-Nazi’at (79): 40-41.
Al-Makki mengutip perkataan beberapa sufi terkenal, di antaranya Yahya ibn Mu’adz, yang mengungkapkan, “Seandainya kamu meminta syafa’at (pertolongan) melalui para malaikat yang tinggal di tujuh lapis langit, 124 ribu nabi, semua kitab suci, hikmah, dan para wali, supaya kamu bisa meninggalkan dunia dan menjalankan ketaatan, mereka tidak akan memenuhi permintaanmu. Tetapi, jika kamu memintanya melalui rasa lapar, ia akan memenuhi permintaanmu dan mendorongmu kepada ketaatan.”
Penjelasannya, rasa lapar mempunyai daya yang sangat besar dalam mendorong diri seseorang untuk melakukan ketaatan. Karena ia sanggup melemahkan nafsu syahwat yang selalu mendorong kepada kejelekan, betapapun kuatnya tekanan hawa nafsu itu pada diri seseorang.
Sahal ibn ‘Abdullah berujar, “Demi Allah, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, orang-orang yang terbiasa melakukan apa yang dibenci Allah tidak akan berubah menjadi orang-orang yang melakukan apa yang dicintai Allah, kecuali dengan lapar. Manusia tidak akan menjadi manusia yang benar kecuali dengan lapar.”
Al-Hajjaj ibn Al-Gharafidhah menuturkan: Aku menemui sekelompok orang yang sedang beribadah sambil menahan lapar di Makkah. Aku bertanya kepada mereka, “Beri tahulah aku, mengapa Allah SWT memerintahkan para wali-Nya untuk berlapar-lapar.”
Mereka menjawab, “Tidaklah kamu lihat bahwa ketika hewan ternak atau unta tidak mau menuruti keinginan pemiliknya, yang dilakukan sang pemilik (supaya hewan-hewan piaraannya mau menuruti keinginannya) adalah tidak memberi makan kepada mereka. Sesungguhnya bila seorang hamba melaparkan dan mendahagakan diri, Allah SWT membanggakan hamba itu di hadapan para malaikat. Tidak ada seorang hamba yang Allah banggakan kecuali kelak di akhirat kepalanya akan dimahkotai dengan mahkota cahaya. Allah SWT mengutus para malaikat untuk membawa cahaya dan perhiasan dari yaqut merah dan kuning serta permata yang sangat indah. Mereka juga membawa kendaraan dari zamrud nan hijau. Semua itu oleh para malaikat dibawa ke makam orang-orang yang sewaktu didunia suka menahan lapar dan dahaga. Orang-orang itu kemudian dibangkitkan dari kubur lalu dinaikkan ke atas kendaraan yang telah disediakan, dan mereka pun pergi menuju Allah SWT.”
Ibrahim ibn Adham mengabarkan: Aku telah menerima suatu riwayat bahwa Iblis melihat Nabi Isa AS berlapar-lapar di malam dan siang hari. Iblis bertanya, “Mengapa kau berlapar-lapar seperti itu? Maukah kamu aku bawakan makanan?’
Nabi Isa AS menjawab, “Kamu tahu bahwa sesungguhnya jika aku berkata kepada gunung-gunung dan lembah-lembah ‘Jadilah kalian makanan atas izin Allah’, mereka pasti menjelma menjadi makanan. Kamu adalah musuhku dan hawa nafsu adalah mata-matamu yang ada padaku.”
Hawa nafsu adalah mata-mata Iblis. Hawa nafsu selalu menanggapi keinginan Iblis, dan setan selalu memuaskan keinginan hawa nafsu. Hawa nafsu juga selalu meminta bantuan Iblis untuk memudahkan apa yang diinginkannya dan Iblis selalu mengembuskan bisikannya ketika menggoda seseorang lewat hawa nafsu. Rasa lapar menutup gejolak hawa nafsu sehingga ia tidak bisa menyampaikan keinginannya kepada Iblis.
Setelah hawa nafsu tidak berdaya karena ditaklukkan oleh lapar, mucullah kemudian watak spritualitas yang siap menerima limpahan cahaya Ilahi dan beragam ilmu pengetahuan.
“Aku sedang melaparkan dan melemahkan mata-matamu, sehingga dia tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menyampaikan berita tentang aku kepadamu. Laparku sungguh membuatmu marah sekaligus lemah dan tidak ada yang aku inginkan dari dunia selain itu (kemarahan dan kelemahanmu).”
Ibrahim ibn Ad-ham bersyair tentang lapar:

Kulihat lapar mengalahkan godaan roti nan lezat
Dan rayuan air Sungai Efrat yang mengalir bening
Kulihat lapar mendorong orang untuk shalat
Kulihat kenyang mendorong orang untuk tidur berbaring

Kedua,
meneladani perilaku Rasulullah SAW dan para sahabat agar dimasukkan ke dalam kelompok mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meniru suatu kaum, ia adalah bagian dari mereka.” Ali bin Abi Thalib RA bercerita, “Suatu hari aku masuk ke rumah Rasulullah SAW. Aku lihat, beliau bertelungkup di atas tikar sambil menyembunyikan wajah. Tubuhnya terlihat lemas karena menahan lapar. Ketika itu Rasulullah SAW berdoa, ‘Dengan lapar dan dahagaku, ampunilah umatku atas dosa-dosa mereka’.”
Aisyah RA meriwayatkan, “Rasulullah SAW dan para sahabatnya biasa menahan lapar.”
Abu Hurairah RA berkata, “Kamu lihat, aku merintih di antara kuburan Nabi SAW dan mimbar karena lapar, sampai-sampai orang bilang bahwa aku ini gila. Aku bukan gila, melainkan lapar.”
Pernah suatu kali, ketika Rasulullah SAW mengimami shalat, beberapa sahabat tidak sanggup berdiri karena lapar.
Seusai shalat, Rasulullah  SAW menoleh ke arah mereka dan bersabda, “Seandainya kalian tahu apa yang akan kalian dapatkan di sisi Allah SWT (karena lapar kalian), niscaya kalian akan menambah (lapar kalian).”
Ibn Abbas RA meriwayatkan: Rasulullah SAW suatu hari menjenguk seorang laki-laki Anshar yang sedang sakit. Beliau bertanya, “Apakah kamu menginginkan sesuatu?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya, roti gandum.”
Beliau berkata, “Siapa yang memilikinya, bawalah kemari.”
Seorang laki-laki pulang dan kembali lagi sambil membawa sepotong roti, lalu diberikannya kepada laki-laki yang sedang sakit itu.
Rasulallah SAW bersabda kepada Abu Dzarr, “Sedikitlah makan dan sedikitlah bicara, kamu akan bersamaku di surga seperti dua jari ini (Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah).”
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dekat tempatnya denganku di antara kalian pada hari Kiamat adalah orang yang lapar, dahaga, dan kesedihannya panjang di dunia.”
Abu Hurairah RA dan Ibn Mas’ud bersama tiga sahabat lain pada suatu hari menemui Rasulullah SAW. Mereka semua dalam keadaan lapar. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, adakah sedikit roti? Kami lapar.”
Rasulullah SAW tidak memiliki makanan untuk mereka selain bubur gandum.
Mereka pun memakannya, tetapi tidak merasa kenyang. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, sampai kapankah kami dalam kelaparan?”
Beliau bersabda, “Kalian tidak akan menjadi suci dalam kelaparan, tetapi bertaqwalah kepada Allah SWT dan teruslah bersyukur. Sesungguhnya aku tidak menemukan suatu kaum yang masuk surga tanpa dihisab kecuali orang-orang yang sabar.”
Bukanlah lapar itu sendiri yang membuat seseorang suci, melainkan faktor yang mengikutinya, berupa sabar dan taqwa. Itulah yang membersihkan dan menyucikan jiwa.
Ketiga, mengurangi kenikmatan duniawi dalam diri. Rasulullah SAW  bersabda, “Akan datang kepada manusia suatu zaman yang saat itu tameng mereka yang paling kuat adalah lapar, ilmu mereka yang paling baik adalah diam, dan ibadah mereka yang paling utama adalah tidur.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Barang siapa rela dengan rizqi yang sedikit dari Allah SWT, Allah rela terhadapnya dengan amal yang sedikit.”
Al-Makki mengutip wejangan Hatim Al-Ashamm: Tinggalkan nafsu syahwat, kamu tidak akan menjadi pelayan para pemburu dunia! Tinggalkanlah kesenangan dunia, kamu akan selamat dari dosa! Tinggalkan ketamakan, kamu akan terhindar dari kesedihan! Semakin gencar seseorang memanjakan perutnya dengan melahap apa saja yang dia sukai, semakin giat dia mengejar dunia. Semakin sering seseorang melaparkan perutnya, semakin jarang ia mencari dunia.
Keempat, mendapatkan ketenangan dan rasa kenyang di akhirat. Satu hari pada hari Kiamat lamanya sama dengan 50 ribu tahun di dunia, dan di sana tidak ada makanan, minuman, istirahat, dan kententeraman. Rasulullah SAW bersabda, “Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan lapar dan dahaga, dan sesungguhnya orang-orang yang lapar di dunia akan menjadi orang-orang yang kenyang di akhirat.”
“Jika kau mampu, ketika maut menjemputmu, perutmu dalam keadaan lapar dan kerongkonganmu merasa dahaga, lakukanlah. Dengan begitu, kamu akan memperoleh kedudukan yang paling mulia, digabungkan bersama para nabi, dan para malaikat akan gembira dengan kedatangan ruhmu kepada mereka.”
“Yang paling aku khawatirkan atas diri kalian adalah nafsu syahwat yang ada pada perut dan kemaluan kalian.”
Kelima, mempersedikit bolak-balik ke WC. Dengan begitu, diharapkan ia memperoleh derajat orang yang benar dan malu.
Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Malulah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara kami malu kepada Allah SWT?”
Beliau bersabda, “Orang yang benar-benar malu kepada Allah SWT hendaknya menjaga perut dan apa yang dimakannya, menjaga kepala dan apa yang dikandungnya, serta mengingat mati dan akhirat.”
Menjaga perut adalah membuatnya lapar karena Allah SWT dan mempersedikit makanan yang dimasukkan ke dalamnya supaya sedikit pula yang keluar darinya.
Malik bin Dinar berujar, “Aku merasa malu kepada Tuhanku karena seringnya aku keluar-masuk WC. Aku begitu malu sampai-sampai aku berangan-angan, sekiranya Allah menjadikan rizqiku berupa butiran-butiran pasir, sehingga aku dapat menahannya hingga maut menjemputku.”
Ketika menggambarkan para sahabat Nabi SAW, Hasan Al-Bashri bertutur, “Di antara mereka ada yang setelah makan berangang-angan, andai saja apa yang telah dimakannya tetap berada dalam perutnya seperti diamnya batu di dalam air, sehingga ia tidak perlu lagi mencari makanan.”
Keenam, menghindarkan diri dari kemurkaan Allah SWT dan menjauhi yang dibenci-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah SWT daripada perut yang terisi penuh walaupun dengan yang halal....”
Dalam sebuah riwayat dikabarkan, bumi menjerit kepada Allah SWT atas tiga orang: orangtua yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjejali perutnya dengan makanan dan minuman.
Orang yang kenyangnya ada di antara dua lapar, ia telah mengikuti jejak para sahabat Nabi SAW. Jika seseorang berpuasa seumur hidupnya dengan berbuka pada malam hari dan berpuasa lagi keesokan harinya, ia berada di antara dua lapar. Lapar orang seperti ini lebih banyak dari kenyangnya.
Ketujuh, melatih dan memelihara kepekaan kepada orang yang akrab dengan lapar, penderitaan, dan kesulitan hidup lainnya. Nabi Yusuf AS, sewaktu menjadi bendahara kerajaan di Mesir, ditanya mengapa ia tidak pernah mengenyangkan diri dengan makanan. Beliau menjawab, “Aku takut jika aku kenyang aku lupa kepada orang yang lapar.”
Dikabarkan, Hatim Al-Tha’i mempunyai seorang ayah yang banyak harta. Ia menyuruh Hatim supaya tidak banyak memberi, tetapi Hatim malah tidak berhenti memberi.
Ada yang memberi saran kepada ayah Hatim, “Jika Tuan ingin Hatim berhenti, Tuan harus mengurungnya di dalam rumah selama beberapa hari. Selepas itu, ia tidak akan memberi lagi.”
Ayah Hatim pun melaksanakan nasihat itu. Ia mengurung Hatim di dalam rumah.
Setelah sebulan dikurung, barulah Hatim dilepaskan.
Si ayah yakin bahwa, setelah dikurung, Hatim tidak akan mengulangi kebiasannya lagi. Karena itu, ia memberi Hatim dua ratus unta.
Apakah yang selanjutnya terjadi?
Hatim memanggil penduduk kampung seraya berkata, “Barang siapa mengambil unta di antara unta-unta ini dengan tali, unta itu menjadi miliknya.”
Mereka pun berbondong-bondong mengambil unta, dan habislah semua unta di tangan Hatim.
Sepulangnya ke rumah, Hatim menceritakan hal itu kepada ayahnya.
Si ayah bertanya, mengapa ia masih berbuat seperti itu.
Hatim menjawab, “Rasa lapar telah mendorongku untuk tidak kikir dengan apa yang aku miliki.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar