Selasa, 09 Agustus 2011

Ziarah Makam Nabi saw. Dalam Pandangan Wahhâbiyah

Banyak kalangan beranggapan bahwa dalam pandangan mazhab Wahhâbiyah ziarah makam suci Nabi saw. adalah haram hukumnya. Akan tetapi anggapan ini tidak sepenuhnya mewakili pandangan Wahhâbiyah, sebab kenyatannya Ibnu Abdil Wahhâb –pendiri Sekte tersebut- tidak melarangnya secara tegas dan total, seperti akan kita simak dalam fatwanya di bawah nanti.
Akan tetapi sebelumnya mari kita perhatikan dalil dan hujjah kaum Wahhâbiyah dalam melarang perjalanan dengan tujuan berzirah ke makam suci Rasulullah saw.
Ibnu Tamiyah, sebagai rujukan utama sekte Wahhâbiyah mengangkat hadis yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah ra. sebagai hujjah. Hadis itu berbunyi:
لا تُشَدُّ الرحالُ إلاَّ إلىَ ثلاثَةِ مساجدَ: مسجدِي هذاوَالْمسجدِ الحرام وَمسجدِ الأقْصَى.
“Hendaknya kendaran tidak diperjalankan kecuali menuju tiga masjid; masjidku ini, masjid al Haram dan masjid al Aqsha.”[1]
Ibnu Tamiyah menggaris-bawahi hadis di atas dengan mengatakan, “Hadis ini adalah telah disepakati keshahihannya dan beramal di atasnya di antara para imam ahli hadis. Andai ada seorang bernazdar (berikrar di hadapan Allah akan melaksanakan amal tertentu) untuk shalat di masjid atau masyhad (pesarean) atau niat beri’tikaf di dalamnya, atau nadzar melakukan bepergian ke selain tiga masjid tersebut di atas maka tidak wajib baginya menepati nadzar-nya berdasarkan kesepakatan para imam.”[2]
Tentang keshahihan dan kehandalan hadis di atas untuk dijadikan hujjah bukan menjadi sasaran telaah kami kali ini, akan tetapi kajian kami akan dibatasi pada kandungan hadis tersebut.
Teks hadis di atas seperti kita ketahui adalah: “Janganlah kendaran diperjalankan kecuali menuju tiga masjid;…”
Dalam hadis itu digunakan kata illâ/kecuali yang dalam istilah tata bahasa Arab disebut adat istitsnâ’/alat untuk menunjukkan adanya pengecualian dalam sebuah kalimat. Setiap susunan kalimat yang dikemas dengan kemasan istitsnâ’ seperti itu mesti membutuhkan adanya kata yang dikecualikan darinya, mustasnâ minhu dan ia harus ditentukan/dipastikan. Dan karena dalam redaksi hadis di atas ia tidak disebutkan, -dan itu biasa terjadi- maka harus ditaqdirkan/dikira-kirakan keberadaannya.
Di sini kata yang dikecualikan darinya, mustasnâ minhu yang semestinya ada itu tidak akan keluar dari dua kemungkinan:
A)  Kata yang dikira-kirakan mestinya ada itu adalah kata masjid. Sehingga makna hadis itu demikian, “Hendaknya kendaran tidak diperjalankan menuju masjid manapun kecuali menuju tiga masjid;…”
B) Kata yang dikira-kirakan mestinya ada adalah kata tempat. Sehingga makna hadis itu demikian, “Hendaknya kendaran tidak diperjalankan menuju tempat manapun kecuali menuju tiga masjid;…”
Pemahaman yang tepat terhadap makna hadis di atas bergantung kepada salah satu dari dua kata yang ditaqdirkan ini. Apabila kita pilih asumsi pertama, maka makna hadis itu adalah larangan mengadakan bepergian ke masjid manapun selain tiga masjid yang disebut dalam hadis itu. Dan itu artinya ia tidak mencakup larangan untuk mengadakan bepergian ke tempat-tempat apapun walaupun ia bukan masjid!
Ia tidak mencakup larangan mengadakan bepergian ke makam-makam para nabi as. atau para wali dan ulama, misalnya, sebab tema inti hadis itu adalah larangan mengadakan bepergian ke masjid-masjid selain tiga masjid tersebut!
Akan tetapi apabila asumsi kedua yang kita pilih maka makna hadis itu adalah larangan mengadakan bepergian spiritual apapun dan kemanapun selain ke tiga masjid tersebut! Semua perjalanan itu adalah haram hukumnya, baik bertujuan ke masjid atau tempat lainnya, seperti makam nabi atau wali, misalnya.
Dalam menentukan kata apa yang diperkirakan keberadaannya dalam susunan kalimat pada hadis itu, kita tidak dibenarkan berspekulasi. Semuanya harus disertai dengan bukti dan petunjuk.
Di sini, dapat dibutkikan bahwa berbagai bukti dan petunjuk telah mengarahkan kita untuk memilih asumsi pertama, sebab:
1)                 Yang dikecualikan adalah tiga masjid itu, maka akan tepatlah jika yang dikecualikan darinya adalah juga masjid agar susunan kalimat dalam hadis tersebut menjadi serasi. Seperti contoh ketika kita mengatakan, ‘Tidak ada yang datang kecuali Budi.’ Kata yang dikecualikan darinya yang tepat adalah manusia, atau kaum atau semisalnya, dan bukan kata barang, binatang atau semisalnya, sebab jika kemungkinan kedua yang kita pilih maka makna kaliamt itu menjadi demikian, ‘Tidak ada barang/tidak ada binatang yang datang kecuali Budi.’ Ini jelas tidak serasi.
2)                 Dalam Al Qur’an dan Sunnah banyak kita temukan anjurn dan bahkan perintahuntuk mengadakan bepergian ke berbagai tempat dengan tujuan berjihad, menuntut ilmu, bersilarturrahmi dan lain sebagainya. Apakah ini semua diharamkan dengan mengandalkan hadis di atas sebagai hujjah?! 
Karenanya, para pembesar ulama Ahlusunnah demikian memaknai hadis tersebut. Dalam kitab Ihyâ’’Ulûmuddîn, Imam Ghazzali menerangkan, “Bermusafir untuk tujuan ibadah, seperti haji atau jihad. Dan masuk di dalamnya menziarahi kuburan para nabi as., menziarahi kuburan para sahabat, tabi’in dan seluruh ulama dan para wali. Dan setiap sesuatu yang di masa hidupnya dapat diambil keberkahannya, maka ia dapat diambil keberkahannya dengan menziarahinya setelah wafatnya. Maka dibolehkan mengadakan bepergian untuk tujuan tersebut. Dan hadis: “Hendaknya kendaran tidak diperjalankan kecuali menuju tiga masjid; masjidku ini, masjid al Haram daan masjid al Aqsha.” sama sekali tidak mencegahnya, sebab hal itu terkait dengan masjid-masjid, karena tidak ada beda dalam dasar fadhl/keutamannya antara menziarahi kuburan para nabi, para wali dan para ulama walaupun terdapat perbadaan yang besar sesuai dengan perbedaan derajat mereka di sisi Allah.”[3]
Dari sini dapat dimengerti bahwa larangan dalam hadis itu tertuju kepada mengadakan bepergian dengan tujuan mendatangi masjid –selain tiga masjid di atas- dengan anggapan, misalnya bahwa berbibadah di masjid itu memiliki keutamaan tertentu yang tidak dimiliki masjid lain! Jadi dia tidak ada kaitannya dengan larangan mengadakan bepergian ke tempat-tempat lain dengan tujuan kunjungan riligius tertentu.
Selain itu semua, dalam kenyataan sejarah, Nabi saw. dan para sahabat beliau berkali-kali menziarahi masjid  Qubâ’, terkadang dengan berjalan kaki dan sering kali dengan berkendaraan. Di sana Nabi saw. menegakkan shalat dua raka’at. Demikian diriwayatkan para ahli hadis, seperti Imam Muslim dalam Shahihnya.[4]
Kenyataan ini menjadi batu ganjalan bagi mereka yaang berhujjah dengan hadis Lâ Tusyaddu ar Rihâl …, sebab Nabi saw. sendiri telah mengadakaan bepergian ke selain tiga masjid yang beliau sebutkan dalam sabda beliau! Apa itu dapat diartikan bahwa Nabi  saw. melanggar larangannya sendiri?! Wal Iyadzu billlah! Jadi apa makna hadis itu sebenarnya? Atau jangan-jangan, ia tidak bermaakna larangan haram! Atau jangan-jangan ada ketidakberesan dalaam peenukilan sabda Nabi itu?! Allahu A’lam.
Anda berhak bertanya-tanya, bagaimana mengadakan bepergian dan menempuh jarak yang jauh ke sebuah masjid tertentu dengan tujuan untuk mendirikan shalat dengan penuh keikhlasan di dalamnya …  baagaimana bisa dilarang dan haram hukumnya?! Apabila kita sepkati bahwa shalat di dalam masjid itu dimustahabkan, maaka mukaddimah pelaksanaan ibadah sunnah itu juga dimustahabkan?! Bukankah demikian?!
Dari sini kita menyaksikan bahwa ajaran Wahhâbiyah tidak tegas mengharamkan berziarah ke makam suci Rasulullah saw., mereka mengakui disyari’tkannya berziarah, akan tetapi mereka mengaataakan mengadakan bepergian untuk tujuan mendatangi makam Nabi saw. itu yang dilarang. Jadi apabila seorang dari Indonesia misalnya, mengadakaan bepergian ke kota suci Madinah dengan tujuan mengunjungi masjid Nabi saw. lalu setelah sampai di sana ia jugaa menziarahi makam suci baginda Rasulullah saw. maka itu boleh!
Ibnu Abdil Wahhâb berkata, “Disunnahkan menziaraahi Nabi saw., hanya saja tidak boleh mengaddakan perjalanan kecuali dengaan tujuan masjid dan shalat di dalamnya.”[5]
Demikian jugaa dengan Ibnu Taimiyah, ia berkata, “Adapun kuburan para nabi dan kaum shalihin, maka tidak disunnahkan mendataanginya dan shalaat di sisinya serta berdoa di sisi para imam pmuka aagama, bahkan semua itu dilarang dalaam hadis-hadis yang shahih, seperti disebutkan para ulama. Akan tetapi dibolehkan menziaraahi kuburan untuk mendoakan (penghuni)nya, seperti yang dilakukan Nabi saw., beliau menziarahi (para penghuni) pekuburan Baqî’.”[6] 
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah membagi ziarah ke makam suci Nabi saw. dari sisi niat dan motivasi peziarahnya menjadi tiga ketegori:
1.                       Safar, bepergian dengan tujuan mendirikan shalat di masjid Nabi saw. Safar ini dibenarkan syari’at berdasarkan nash dan ijmâ’.
2.                       Safar dengan tujuan ke masjid dan makam suci beliau saw. Safar ini juga dibenarkan syari’at berdasarkan ijmâ’.
3.                       Safar dengan tujuan hanya ke makam suci Nabi saw. Safar dengan tujuan ini diperselisihkan hukumnya, Imam Malik dan kebanyakan ulama mengharamkannya. Dan banyak dari mereka yang mengharamkannya berfatwa tidak dibolehkannya mengqashar shalat. Sementara yang lainnya membolehkannya, tetapi tidak dihukumi mustahab (sunnah), apalagi wajib.[7]

Adz Dzahabi Membantah Ibnu Taimiyah
Azd Dzahabi, seorang ulama yang sering dirujuk dan dibanggakan kaum Wahhâbiyah dan dicatut namanya sebagai ulama Salafi, telah membantah pernyatan Ibnu Taimiyah di atas. Di bawah ini kami sebutkan bantahan tersebut.
“Barang siapa berdiri di hadapan kamar (makam) suci dengan rendah diri, mengucapkan salam dan shalawat atas Nabi-Nya, maka duhai untungnya dia, ia telah bersikap baik dalam berziarah dan berbagus-bagus dalam menampakkan kerendahan dan kecintaan. Ia telah melakukan ibadah tambahan (plus) dibanding orang yang bershalawat di kampungnya atau ketika ia sedang shalat, sebab peziarah mendapatkan pahala berziarah dan pahala bershalawat, sedangkan yang bershalawat dari negeri-negeri jauh hanya mendapatkan pahala bershalawat saja. Dan barang siapa bershalawat sekali, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali.
Akan tetapi orang yang berziarah kepada Nabi saw., lalu bersikap buruk dalam berziarah, atau bersujud ke arah kuburan, atau melakukan yang tidak disyari’atkan, maka orang itu telah melakukan hal baik dan mencampurnya dengan kejelekan. Ia harus diberi pelajaran dengan penuh kelemah-lembutan, birifqin, Allah Maha Pengampun dan Maha Belas Kasih. Demi Allah, kegaduhan, berteriak, mencium dinding makam suci, dan banyak tangisan yang terjadi dari seorang Muslim itu (ketika berziarah), tidak ia lakukan kecuali karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecintaannya itulah yang mesti menjadi tolok ukur penilaian dan membeda antara ahli surga dan ahli neraka.
Berziarah ke makam Nabi saw. adalah paling afdhalnya amal yang mendekatkan diri kepada Allah, dan melakukan perjalanan ke makam para nabi daan para awliyâ’ –andai kita terima ia bukan amalan yang diizinkan berdasarkan keumuman sabda beliau: Lâ Tusyaddu al Rihâl Illâ ilâ Tsalâtsati masâjid- tetapi mengadakan perjalanan ke makam Nabi saw. meniscayakan mengadakan perjalanan ke masjid beliau, -dan ia adalah disyari’atkan tanpa diperselisihkan-, sebab tidak mungkin bisa sampai ke makam suci tanpa memasuki masjid Nabi saw.. Hendaknya ia memulai dengan shalat sunah dua raka’at tahiyyatal masjid, kemudian menyapa penghuni masjid (Nabi saw.-maksudnya). Semoga Allah menganugrahi kita semua berziarah ke makam suci beliau.”[8]
Syeikh Syu’aib al Arnauth mengomentari uraian adz Dzahabi di atas dengan mengatakan, “Penulis (adz Dzahabi) dengan berpanjang-panjang di sini bermaksud untuk membantah gurunya; Ibnu Taimiyah yang mengatakan tidak dibolehhkannya mengadakan perjalanan untuk menziarahi makam suci Nabi saw…. . “[9]

Berziarah Ke Makam Nabi saw. dan Kuburan Lainnya Hukumnya  Boleh Berdasraakan Ijmâ’ Para Ulama Islam
Umat Islam telah bersepakat akan dibolehkannya bahkan disunnahkannya  berziarah ke makam suci Nabi saw., dan juga makan para nabi dan para awliyâ’ dan kaum shâlihîn dan kaum Mukminin. Kesepakatan itu telah mereka terjemahkan dalam praktik dan fatwa para ulama.
As Samhûdi berkata, “(Qadhi) Iyâdh berkata, ‘Menziarahi makam beliau saw. adalah sunnah di kalangan kaum Muslimin, ia telah disepakati dan keutamaan yang sangat dianjurkan.’ “[10]
As Subki berkata, “Para ulama telah bersepakat akan disunnahkannya berziarah kubur bagi orang laki-laki, sebagaimana dikutip an Nawawi. Bahkan sebagian pengikut aliran Dzahiriyah mewajibkannya. Tentang kaum wanita, diperselisihkan. Dan makam mulia Nabi saw. diistimewakan dengan dasar dalil-dalil khusus, karenanya saya berkata, “Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.”[11] 

[1] HR. Muslim dalam Shahih-nya,4/126, Kitab al Hajj, Bab Lâ Tusyaddur Rihâl. Abu Daud juga meriwayatkannya dalam Sunan-nya,1/469, kitab al Hajj.
[2] Ar Radd alâ al Akhnâi:27.
[3] Ihyâ’’Ulûmuddîn, Kitab Âdâb as Safar/tata karma bepergian,2/247.
[4] Shahih Muslim,4/127, baca juga hadis senada dalam Shahih Bukhari,2/76 dan Sunan an Nasa’i (dengan syarah as Suyuthi),2/37.
[5] Risalah kedua dari kumpulan Rasâil al hadiyah as Saniyah; Ibnu Abdil Wahhâb.
[6] Ar Radd alâ al Akhnai, baca Fatâwa al Kubrâ,1/118-122.
[7]Ibid.16.
[8] Siyar A’lâm an Nubalâ’,4/484.
[9] Lebih lanjut masalah ini baca al Bisyârah wa al Ithâf Bimâ Baina Ibni Taimiyah wa al Albâni minal Ikhtilâf; Sayyid Hasan as Seqaf:55.
[10] Asy Syifâ’,2/83.
[11] Syifâ’ as Siqâm:69.
http://abusalafy.wordpress.com/2008/01/29/ziarah-makam-nabi-saw-dalam-pandangan-wahhabiyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar