Kelompok Wahaby (Jama’ah Takfiri) yang menyandarkan pendapatnya pada fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik dan membeo oleh semua ulama Wahaby, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahaby lainnya. Selain itu, mereka berdalih dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin.
Sekarang kita akan lihat, betapa yang diomongkan oleh Ibnu Taimiyah dan antek-anteknya dari kelompok Wahaby tersebut merupakan kebatilan dan tidak berlandaskan al-Quran dan hadis sahih maupun prilaku Salaf Saleh. Dalil mereka yang disandarkan pada ayat 84 dari surat at-Taubah, dimana Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya”. Kaum Wahaby menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt. Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 halaman 416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 halaman 155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir. Lantas bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah beserta kelompok Wahabi memutlakkannya yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, hatta mencakup kuburan wali Allah? Apakah Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Ibnu Taimiyah saja yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Jelas ini sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby telah menvonis kaum muslimin selainnya sebagai orang kafir yang sesat.
Kemudian akan kita lanjutkan argumentasi kita dengan menggunakan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab hadis disebutkan bahwa Nabi bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat. Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akherat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat dengan Tuhannya. Dalam kitab Sahih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz (Jenazah) yang diriwayatkan dari Buraidah al-Aslami dimana dia mengatakan bahwa Rasul pernah bersabda: “Dahulu aku melarang kalian untuk menziarahi kubur, namun (Allah) telah memberi izin kepada Muhammad untuk melakukannya sehingga dapat menziarahi kubur ibunya. Berziarah-kuburlah kalian karena hal itu akan menjadikan kalian mengingat akherat! ”. Dari hadis ini jelaslah bahwa Nabi pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas). Jadi jelas bahwa ziarah kubur merupakan sesuatu yang syar’i (legal). Lantas apakah orang seperti Ibnu Taimiyah akan meragukan kesahihan Sahih Muslim sehingga ia mengatakan bahwa legalitas ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kubur muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat lantas apa alasan Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan dan diharamkan?
Kita kembali akan mengecek kebenaran klaim Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby yang mengaku sebagai orang-orang yang ingin menghidupkan ajaran Salaf Saleh. Dalam masalah ziarah kubur ternyata para sahabat yang termasuk jajaran utama Salaf Saleh telah melakukannya. Dalam kitab Mustadrak alas shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadis ke-1392 dinyatakan dari Ibnu Abi Malikah bahwa suatu hari ia pernah mendapati ummul mukminin Aisyah memasuki tempat pemakaman, lantas ia (Ibnu Abi Malikah) bertanya: “Kenapa engkau memasuki pekuburan?” Ummul mukminin Aisyah menjawab: “Karena untuk menziarahi kubur saudaraku, Abdurrahman”. Lantas kukatakan: “Bukankah Nabi pernah melarang untuk menziarahi kubur?” Aisyah menjawab: “Ya, dahulu beliau melarangnya namun setelah itu beliau memerintahkannya”. Bukan hanya al-Hakim an-Naisaburi, ternyata Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitab-nya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa; suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua Ahlusunah) bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: “Ia telah meninggal dunia”. Perawi berkata: “Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”. Sekarang, beranikah orang seperti Ibnu Taimiyah menvonis Umar bin Khatab yang shalat dan menangis di depan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik? Beranikah Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah dan Umar bin Khattab telah melakukan hal illegal yang tanpa dasar (bid’ah)? Beranikah Ibnu Taimiyah dan antek-anteknya dari kelompok Wahaby mengatakan bahwa shalat, berdoa dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Saleh yang konon ajarannya akan dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah, lantas kenapa Ibnu Taimiyah berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua? Jika benar bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Saleh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksanakan shalat di sisi kuburan dan atau menangis di samping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khatab (khalifah kedua)!
Tidak cukup dengan sabda Rasul dan prilaku Salaf Saleh (Sahabat Nabi), di sini akan kita sebutkan beberapa fatwa para Imam mazhab fikih Ahlusunah wal Jamaah yang membuktikan bahwa ziarah kubur diperbolehkan, sebagai penguat dalil kita. Tentu mereka semua menfatwakan atas dasar al-Quran dan al-Hadis, bukan atas dasar kecenderungan hawa nafsu mereka. Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Ibnu Idris as-Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa. Namun sewaktu menziarahi kubur hendaknya tidak mengatakan hal-hal yang menyababkan murka Allah”. Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531, Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur), dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunah”. Lantas masihkah orang seperti Ibnu Tamiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibnu Qayyim al-Jauzi, Aali as-Syeikh, Ibnu Baz dan gerombolan Wahaby lain yang mengaku Salafy itu mengatasnamakan dirinya sebagai penghidup ajaran Salaf Saleh dan pengikut Ahlusunah wal Jamaah padahal pernyataan mereka sama sekali tidak sesuai dengan al-Quran, sunah Nabi, prilaku Salaf Saleh dan ulama Ahlusunah wal Jamaah sendiri? Tidak malukah mereka mengaku sebagai Salafy dan Ahlusunah? Semoga Allah swt membuka aib-aib para kelompok Wahaby di dunia sebelum kehidupan di akherat kelak, terkhusus jika praktik pengkafiran kelompok lain –selain Wahaby- masih terus mereka lancarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar