Sepertinya para Wali Songo menggunakan dasar :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ
لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenag gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah, lalu beliau bersabda: “Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, idhul adha dan idhul fithri”
HR. Ahmad 3/103, Nasai 3/179 dan Abu Dawud 1134
Di Jawa, Hari raya Nyepi (hindu) telah diganti dengan Hari Raya 'Iedul Fitri oleh para Wali Songo sebagai hari perayaan buat orang-orang hindu yang sudah masuk Islam.
Persamaan tradisi Nyepi dengan 'Idul Fitri terlihat pada makanan tradisi yang sama-sama menggunakan janur.
Sesaji dihiasi dengan janur
Hindu terdesak dan akhirnya meningglkan jawa
Perkembangan Islam di Jawa yang dimotori oleh Wali Songo berkembang sangat pesat, banyak penduduk pribumi penganut Hindu beralih keyakinan menjadi Islam.
Bangunan megah seperti candi dan temapat ibadah lainnya ditinggalkan begitu saja oleh kaum hindu militan.Mereka meninggalkan tanah Jawa dan menetap di Bali.
Perang politikpun terjadi, alhirnya kaum hindu militan membuat tradisi baru dengan tujuan untuk mengurangi dampak dakwah Wali Songo tersebut dengan menciptakan tradisi PERANG KETUPAT.
TRADISI LEBARAN
=============
KUPAT
Ketupat yang dalam bahasa aslinya adalah kupat diambil dari kata Ngaku Lepat (Mengaku bersalah), Tradisi ini muncul mulai jaman Wali Songo.Pada awalnya Ketupat dibuat khusus pada saat hari raya Idul Fitri saja, diluar Idul Fitri posisi kupat digatikan oleh Lontong.
Ketupat Idul Fitri sebenarnya dibuat secara khusus dan mempunyai beberapa persyaratan diantaranya adalah menggunakan janur (daun mudanya kelapa), berbentuk segi empat dan terdiri dari 3 lajur anyaman (ganjil), yang akhirnya memberikan kesan kesucian hati.
Pada tradisi jawa kuno ada aturan atau tatacara makan ketupat, ketupat harus diiris (dibelah) dengan pisau, tidak boleh dilepaskan anyamannya.
SUNGKEM
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”.
Tradisi sungkeman diduga dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.Tradisi ini sebenarnya sebagai pengembangan dari tradisi Wali Songo yang menganjurkan untuk melakukan sungkem pada kedua orang tua dan beberapa saudara tua.Sungkeman sudah menjadi tradisi Islam Jawa, dan setiap Lebaran bamyak yang melakukan Mudik ke kampung halaman agar bisa sungkem dengan orang tua dan saudara tua mereka.
Halal bi halal
Tradisi Halal bihalal sudah sejak lama ada, foto ini merupakan rekaman peristiwa halal bi halal yang dilakukan pada jaman pendudukan belanda di Indonesia.
Halal bihalal dengan makna saling memafkan juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama.
Secara pribadi saya merasa bangga dengan mengatakan bahwa halal-bihalal adalah hasil kreativitas Ulama' Jawa.Tradisi tersebut masih berlangsung hingga saat ini, dan ini dapat dilihat dibeberapa kampung sekitar MASJID AGUNG DEMAK. Pelaksanaan Halal bi halal dilakukan di kampung-kampung setelah shalat 'Ied.
=============================================
KAUM WAHABI mengatakan KUPAT DAN OPOR LEBARAN tidak bid'ah, meskipun mereka tidak bisa menemukan dalilnya.
Saya menduga jika kaum Wahabi Indonesia juga ikut merayakan Idul Fitri dengan Opor Ketupat, karena terlanjur ikut makan dan ternyata enak maka mereka bilang tidak Bid'ah,........... hehehehe....
============================================
Rekama hasil debat tentang
KETUPAT DAN OPOR ADALAH BID'AH
Abu Fauzan : Hukum dasar makanan adalah HALAL akan tetapi apabila suatu menu makanan dianggap sbg simbul suatu RITUAL/PERAYAAN maka hukum makanan tersebut berubah jadi HARAM.macam TUMPENG,KUE ULTAH,INGKUNG/BAKAKAK AYAM.kalau sekedar buat konsumsi biasa maka g masalah...tapi klau tradisi macam dikota Malang ada Lebaran ketupat 7 hr setelah iedul fitri itu bid'ah dhalalah.
Selengkapnya bisa dilihat di :
KETUPAT DAN OPOR ADALAH BID'AH
dan
"KETUPAT DAN OPOR IDUL FITRI" TIDAK JADI BID'AH
FATWA Syaikh Abdul ’Aziz bin Abdullah bin Muahmmad dab Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari
Di negeri kami, sebagian orang mengadakan perayaan maulid dan selainnya dari perayaan-perayaan bid’ah. Kemudian mereka mengirim kerumah kami sebagian dari makanan dari perayaan-perayaan tersebut. Apakah boleh kami memakannya?
Jawaban :
Mufti Umum Saudi Arabia, Syaikh Abdul ’Aziz bin Abdullah bin Muahmmad ’Alu Asy-Syaikh pada malam jum’at, 8 Sya’ban 1425 atau bertepatan 29/9/2004, menjawab sebagai berikut:
”Wallahu A’lam, acara-acara yang diselenggarakan untuk perkara-perkara yang bid’ah ,tidaklah boleh makan darinya. Karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak disyari’atkan.”
Dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari pada sore 5 Syawal 1425, bertepatan dengan 17/11/2004, menjawab sebagai berikut:
”Makanan perayaan-perayaan maulid adalah bid’ah dalam agama –menurut yang benarnya—dan menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda sebagai mana dalam kitab Ash-Shohihan (Al-Bukhari dan Muslim): ’Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami, apa yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak.’