Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL ISLAM. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2012

UMAT ISLAM TIDAK MENYEMBAH KA'BAH


Ada beberapa kalangan di luar Islam yang mereka tidak faham, tidak mengerti tentang Islam, mereka berkata : “Lihatlah orang-orang Islam, mereka menyembah ka’bah !”
Hadits Umar bin Khathab Mengenai batu hitam, hajar aswad,
Umar bin Khathab berkata, “Aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tidak dapat mendatangkan mudarat maupun manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari)
Ka’bah hanyalah benda mati, ia hanya dijadikan oleh Allah Jalla wa ‘Ala sebagai kiblat umat muslim dalam ibadah khususnya sholat dan haji.Perkataan atau ucapan mereka ini didasari atas mereka melihat kaum muslimin ketika sholat menghadap ke arah ka’bah, lalu mereka berkesimpulan : orang Islam menyembah ka’bah.
Terhadap ucapan jelek mereka ini kita jawab : Sesungguhnya orang-orang Islam hanya menjadikan Ka’bah sebagai arah hadap dalam menyembah Allah, bukan menyembah ka’bah. Sebagaimana firman Allah Subhanallah Ta’ala :
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ
“Hendaklah mereka menyembah kepada Tuhan, Allah ta’ala, Tuhan Yang memiliki Rumah ini, Yang memiliki Ka’bah.”
(Kitab Suci Alqur’an. Quraisy : 3)
Ayat diatas bermakna dan mempunyai pengertian bahwa baitullah (ka’bah) adalah benda milik Allah Subhanallah Ta’ala, dan Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyembah pemilik ka’bah !!
Ka’bah sendiri berarti kubus persegi empat yang dalamnya kosong, tidak ada apa-apanya. Adapun Hajar Aswad ada di pojokan luar ka’bah, bukan ditengah-tengah ka’bah. Kemudian fungsi Ka’bah hanyalah sebagai arah hadap, karena Qiblat artinya arah hadap
Dapat dibayangkan andaikata umat Islam tidak punya arah qiblat, maka bagaimana sholat jama’ah mereka ? Imamnya ingin ke utara, makmumnya mungkin ada yang ingin ke selatan, ada yang ingin ke barat, bisa berantakan sholat jama’ahnya. Supaya orang Islam berada di dalam satu kesatuan dengan persatuan yang kuat ketika mereka menyembah Allah Subhanallah Ta’ala, maka Allah Subhanallah Ta’ala menetapkan arah qiblat. Dan ini bukan berarti orang Islam menyembah Ka’bah. Walaupun mereka menghadap ka’bah tetapi ini bukan berarti orang Islam menyembah ka’bah. Kenapa ? Karena orang Islam hanya menjadikan ka’bah sebagai pematok arah. Karena yang namanya pematok arah tidak akan sempurna kalau tidak terlihat. Maka dibangunlah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ka’bah sebagai pematok arah supaya orang melihat : ke arah sana, ke arah ka’bah hendaknya kaum muslimin seluruh dunia menyatukan arah.
Tidak mungkin ! Maka kaum muslimin diperintahkan menghadap ke arah yang sama dengan satu patok yang sama, yaitu ka’bah. Bukti kalau orang Islam tidak menyembah ka’bah yaitu sebelum orang Islam menyembah Allah Subhanallah Ta’ala dengan menghadap ke arah ka’bah, lebih dahulu Allah Subhanallah Ta’ala memerintahkan mereka menghadap ke arah Baitul Maqdis. Jadi kita, pada awal-awal Islam, kita diperintahkan menyembah Allah Subhanallah Ta’ala dengan menghadap kearah Baitul Maqdis yang ada di Palestina. Ini pada awal-awal Islam. Sampai kemudian turun ayat akibat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dicemooh oleh orang-orang Yahudi : Lihatlah orang-orang Islam, mereka mengikuti qiblat kami !” kata orang-orang Yahudi. Karena orang Islam ketika awal-awal Islam mereka sholat dengan menghadap ke Yerussalem, menghadap ke Baitul-Maqdisdi Palestina. Maka ini mengundang cemoohan orang-orang Yahudi. Ini membuat Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam selalu meminta kepada Alloh berkali-kali : Ya Allah, Ya Allah. Meminta agar dipalingkan, dikembalikan qiblatnya, arah hadapnya ke Baitulloh, ke Ka’bah, ke Masjidil-Haram.
Andaikata orang Islam, Rasululloh dan kaum muslimin menyembah ka’bah, tidak perlu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam minta ijin meminta kepada Alloh, bahkan berkali-kali agar dapat dihadapkan kembali ke MasjidilHaram, sebagaimana pada zaman Nabi Ibrohim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas-salaam. Sampai akhirnya Allah Subhanallah Ta’ala turunkan ayat :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِيالسَّمَاءِ
“Kami sering melihatmu, kata Allah Subhanallah Ta’ala : Kami sering melihatmu membolak-balikkan wajahmu ke langit, ” Apa artinya ? Kami sering melihatmu hai Muhammad – shollallohu ‘alaihi wa sallam – membolak-balikkan wajahmu ke langit,yaitu memohon kepada Allah. Ini, Rasul harus memohon berkali-kali agar bisa dihadapkan kembali ke MasjidilHaram. Andaikata Rasul menyembah ka’bah, orang Islam menyembah ka’bah, tidak perlu memohon kepada Allah Subhanallah Ta’ala agar dipindahkan arah qiblatnya ke Baitullah.
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
“Maka sekarang hadapkanlah wajahmu ke arah mana, qiblat mana yang kamu ridhoi.”
Allah kabulkan permohonan Nabi setelah Nabi berulang-ulang memohon kepada Allah
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِالْحَرَامِ
“Maka sekarang hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Allah Subhanallah Ta’ala memerintahkan kaum muslim untuk menghadapkan diri dalam beribadah kearah Masjidil Haram, dan Ingat bahwa Allah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyembah Ka’bah, hanya menghadap. Hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Jadi terbukti bahwa Ka’bah hanya sebagai arah hadap kaum muslim untuk menyembah Allah Subhanallah Ta’ala. Bukti lain bahwa Ka’bah hanya sebagai arah hadap kaum muslim dalam beribadah ialah bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya pernah melakukan ibadah sholat didalam Ka’bah.
Dicontohkan oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam : Rasul masuk ke dalam Ka’bah, lalu menjadikan pintu Ka’bah di belakang punggungnya, yang artinya, berarti Hajar Aswad ada pula di belakang sebelah kiri beliau. Lalu beliau sholat di dalam Ka’bah dengan menghadap ke arah mana beliau menghadap, yaitu ke arah depan, yaitu sejarak 3 hasta dari depan, 3 hasta dari tembok depan, kemudian Rasulullah shollallohu’alaihi wa sallam berhenti dan sholat di situ. Demikian pula para shahabat Nabi, mereka sholat di beberapa pojokan-pojokan Ka’bah. Dan ini tidak menjadi masalah. Ke arah mana pun mereka menghadap ketika mereka di dalam Ka’bah, mereka ada di arah qiblat. Sehingga ke mana pun mereka menghadap, tidak masalah.
Ka’bah adalah ruang kosong, sehingga sholat didalam Ka’bah berarti ia sholat persis di arah Ka’bah, atau di arah qiblat. Ini menjadi dalil bahwasannya kaum muslimin tidakmenyembah Ka’bah, karena boleh saja orang Islam sholat di dalam Ka’bah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dan shahabatnya.
Andaikata kita, Nabi, Kaum Muslimin menyembah Ka’bah, tidak boleh mereka sholat di dalam Ka’bah.
Begitu pula Rasulullah SAW melarang para shahabat Nabi bersumpah dengan mengatakan : WAL-KA’BAH “Demi Ka’bah.” Rasul melarang. Rasul mengganti dengan WA ROBBIL-KA’BAH “Demi Tuhan Yang memiliki Ka’bah !” Karena tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah Subhanallah Ta’ala.
Ka’bah adalah qiblat, yaitu arah kaum muslimin menghadap dalam shalat mereka. Perlu dicatat bahwa walaupun kaum muslimin menghadap Ka’bah dalam sholat, mereka tidak menyembah Ka’bah. Kaum muslimin hanya menyembah dan bersujud kepada Allah. Ketika mereka melakukan thawaf di Ka’bah atau mencium Hajar Aswad, itu semua dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Allah-lah yang memerintahkan kami kaum muslim untuk menyembah-Nya dengan cara seperti itu.
Islam menghendaki persatuan,
Ketika kaum muslimin hendak menunaikan sholat, bisa jadi ada sebagian orang yang ingin menghadap ke utara, sedangkan yang lainnya ingin menghadap ke selatan.Untuk menyatukan kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah maka kaum muslimin dimana pun berada diperintahkan hanya menghadap ke satu arah, yaitu Ka’bah. Kaum muslimin yang tinggal di sebelah barat Ka’bah, mereka sholat menghadap timur. Begitu pula yang tinggal di sebelah timur Ka’bah, mereka menghadap barat.
Ka’bah adalah pusat peta dunia,
Kaum muslimin adalah umat pertama yang menggambar peta dunia. Mereka menggambar peta dengan selatan menunjuk ke atas dan utara ke bawah. Ka’bah berada di pusatnya. Kemudian, para kartografer Barat membuat peta terbalik dengan utara menghadap ke atas dan selatan ke bawah. Meski begitu, alhamdulillah, Ka’bah terletak di tengah-tengah peta.
Tawaf keliling Ka’bah untuk menunjukkan keesaan Allah,
Ketika kaum muslimin pergi ke Masjidil Haram di Mekah, mereka melakukan tawaf atau berkeliling Ka’bah. Perbuatan ini melambangkan keimanan dan peribadahan kepada satu Tuhan. Sama persis dengan lingkaran yang hanya punya satu pusat maka hanya Allah saja yang berhak disembah.
 Orang berdiri di atas Ka’bah dan mengumandangkan azan Pada zaman Nabi,
orang bahkan berdiri di atas Ka’bah dan mengumandangkan azan. Bisa ditanyakan kepada mereka yang menuduh kaum muslimin menyembah Ka’bah; penyembah berhala mana yang berdiri di atas berhala sesembahannya?
Berikut hadis pendukung bahwa Ka’bah hanya berfungsi sebagai arah kiblat dan pemersatu umat Islam :
  1. Al-Barra’ mengatakan bahwa ketika Nabi SAW. pertama kali tiba di Madinah, beliau singgah pada kakek-kakeknya atau paman-pamannya dari kaum Anshar. Beliau melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Tetapi, beliau senang kalau kiblatnya menghadap ke Baitullah. (Dan dalam satu riwayat disebutkan: dan beliau ingin menghadap ke Ka’bah 1/104). Shalat yang pertama kali beliau lakukan ialah shalat ashar, dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Maka, keluarlah seorang laki-laki yang telah selesai shalat bersama beliau, lalu melewati orang-orang di masjid [dari kalangan Anshar masih shalat ashar dengan menghadap Baitul Maqdis] dan ketika itu mereka sedang ruku. Lalu laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi demi Allah, sesungguhnya aku telah selesai melakukan shalat bersama Rasulullah saw dengan menghadap ke Mekah.” Maka, berputarlah mereka sebagaimana adanya itu menghadap ke arah Baitullah [sambil ruku 8/134], [sehingga mereka semua menghadap ke arah Baitullah]. Orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab suka kalau Rasulullah saw. shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka, ketika beliau menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, mereka mengingkari hal itu, [lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat 144 surat al-Baqarah, "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit." Lalu, beliau menghadap ke arah Ka'bah. Maka, berkatalah orang-orang yang bodoh, yaitu orang-orang Yahudi, "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allahlah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." 7/104]. [Dan orang-orang yang telah meninggal dunia dan terbunuh dengan masih menghadap kiblat sebelum dipindahkannya kiblat itu, maka kami tidak tahu apa yang harus kami katakan tentang mereka, lalu Allah menurunkan ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (Surat al-Baqarah - 143)].
  2. Abdullah bin Umar berkata, “Pada waktu orang-orang sedang melakukan shalat subuh di Quba’, tiba-tiba mereka didatangi seseorang (untuk menyampaikan berita). Orang itu berkata, ‘Sesungguhnya, malam tadi telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Al-Qur’an (yakni wahyu). Beliau diperintahkan shalat menghadap ke Kabah. [Maka ingatlah, menghadaplah kalian ke Kabah! 5/152].’ Mereka lalu menghadap ke Ka’bah, padahal waktu itu wajah mereka sedang menghadap ke Syam. Mereka lalu menghadapkan wajahnya ke Ka’bah.

Selasa, 27 September 2011

نبذة تاريخية عن مجيئ الإسلام إلى إندونيسيا

المقدمـة
قال الله تعالى في كتابه العزيز:
"إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا." صدق الله العلي العظيم.

إندونيسيا هي دولة كبيرة وجميلة، تقع في جنوب شرق آسيا مع الدول المجاورة حولها كـ سنغافورا، ماليزيا، بروني دار السلام، تيلاند
يليبيند، أوستراليا، وتيمور ليستي. مع العلم أنه في الزمن القديم كانت كل هذه الدول باستثناء أوستراليا (التي كانت تحت سيطرة المملكة الهندوقية الجبارة "ماجا باهيت" التي أخذت عاصمتها في جاوى الشرقية) اشتهرت بـاسم "نوسانتارا". إذن، لو يوجد في كتب التواريخ الإندونيسية أو تراث قدماء البلد لفظ "نوسانتارا"، فالمراد به إندونيسيا وتلك الدول المجاورة حولها سوى أوستراليا، نظرا إلى عهدها القديم.
وما أخضر هذه الدولة!، حيث يقال إنها لؤلؤ الخط الإستوائي الذي لديه فصلان فقط؛ فصل المطر وفصل الصيف. وتتكوّن هذه الدولة من عدة جزُر ومناطق واسعة -من جزيرة سابنج إلى جزيرة بابووا وجزيرة ميراهوكي-، تعددت فيها التقاليد والعادات والأساطير والأديان المختلفة وغيرها. وهذا أمر واقعي خص بها الله تبارك وتعالى سكان البلد، إذن، فلا بد أن يكون هناك شئ مهم جدا يوحّد بين أبناء البلد المختلفين، وهو إيجاد وإنتاج بلدة طيبة ورب غفور.
الأمراء القدامى المؤسسون للجمهورية الإندونيسية ابتدعوا وانتشروا بشعار اشتهر بـ "بينيكا تونجال إيكا" (Bhineka Tunggal Ika) بمعنى نحن –المجتمع الإندونيسي- على عدة مختلفات وتفريقات ولكننا نتجه إلى مقصَد واحد وهو "جماه ريفه لوه جيناوي تاتا تنترم كرتا راهارجا" (gemah ripah loh jinawe tata tentrem kerta raharja) بمعنى بلد سلام ووئام وأمن وعدالة ورفاهية للجميع. هذا السعار مأخوذ من جوهرة القيم الأساسية لمبادئ الجمهورية الإندونيسية الخمسة، وهي:
1. الألوهية المنفردة. 2. الإنسانية العدالة المهذّبة.
3. وحدة إندونيسيا 4. الشعبية
5. الرفاهية والعدالة الاجتماعية.
هذه المبادئ الخمسة مكتوبة في بانساسيلا (Pancasila) الذي هو المبدأ الأول الأساسي الذي اتفق عليه جميع سكان البلد الإندونيسيين حينما وُلدت هذه الجمهورية الإندونيسية في 17 أغوسطس 1945 ملادية، لكي يوحّد الاختلافات والتفريقات فيما بينهم .
وانطلاقا من هذه الاختلافات والتفريقات في التقاليد والعادات والأديان وغيرها لدى سكان البلد اشتهر سكانه بمجتمع "بلوراليس" (pluralis) أي أنهم يحترمون ويعظّمون الأخرين، وإن كانوا جاءوا بعدة اختلافات من ثقافة وحضارة أخرى. وخير دليل على ذلك أن الحكومة الإندونيسية تبيح وتؤيد الأديان الخمسة الرسمية لدى مجتمعها، وهي: الإسلام، المسيحي الكاتوليكي، المسيحي البروتيستاني، الهندوقي، والبوذي.
وأضف إلى ذلك، إن المسلمين في إندونيسيا هم أكبر وأكثر عددا في العالم، حيث حوالي 85,2 % (أو 199.959.285 مسلما) من مجموعة سكان البلد 234.693.977 نسمة. وإن كان كذلك، لا يعني أن إندونيسيا بلد إسلامي مع كون القرآن والسنة دستورين أساسيين في تحكيم وتنظيم هذا البلد، بل سكانه اتفقوا على تطبيق نظام ديموقراطي جمهوري، حتى يسمى اليوم بجمهورية إندونيسيا، نظرا إلى تعدد الثقافات والتقاليد والأديان في مجتمعه.

حول نظريات تاريخية تبحث في مجيئ الإسلام إلى إندونيسيا
وبالنسية إلى كون سكان بلد إندونيسيا هم أكبر عدادا في العالم، هناك قصص تاريخية طويلة جدا جدا، حيث لا يمكن التكلم عن تلك القصص في مدتنا المحدودة هنا. واختصارا منها، حسب الباحثين والدارسين المتخصصين في التاريخ الإندونيسي كان هناك نظريات تاريخية حول دخول الإسلام إلى إندونيسيا ترتكز على ثلاث أسئلة أساسية التي اهتم بها المؤرخون، وهي: أين المكان الذي أخذه الإسلام عندما وصل في أول مرة إلى إندونيسيا؟ ومَن الذي جاء بالإسلام أول مرة إلى إندونيسيا؟ ومتى وصل الإسلام إلى إندونيسيا أول مرة؟
وانطلاقا من هذه الأسئلة الثلاث، من الجدير أن المؤرخين لايزالون يختلفون عن المكان الذي جاء فيه الإسلام أول مرة، حيث اختصر المؤرخ الإندونيسي أ.د/ أحمد منصور سوريا نيجارا أجوبة تلك الأسئلة الثلاث إلى ثلاث نظريات تاريخية، وهي:
النظرية الأولى: "جوجارات بالهند"، يعني أن الإسلام يعتقد بأنه جاء إلي إندونيسيا من جوجارات بالهند، عن طريق تجار مسلمي الهند في القرن 13 ميلادية.
النظرية الثانية: "الفرس"، يعني أنه جاء من الفرس عن طريق تجار مسلمي الفرس الذين تمتعوا مكانا في جوجارات بالهند قبل ذهابهم إلى نوسانتارا في القرن 13 ميلادية.
النظرية الثالثة: "مكة"، يعني أنه جاء مباشرة من مكة (الشرق الأوسط) عن طريق تجار العرب المسلمين في القرن 7 ميلادية.
ولكل واحد من هذه النظريات أدلة عقلية تاريخية (أركيولوجية) ترجح وتفضل نظرية عن بعضها، حيث لا يمكن التحدث هنا عن ترجيح وتفضيل إحداهن عن الأخرى، نظرا إلى عدم طاقاتنا في الدراسة التاريخية الأكاديمية المخضة. ولذلك نفضل هنا نظرية "مكة"، لا لكونها أفضل من الأخرى-حسب رأينا التاريخي-، وإنما لكى يكون هذا البحث موجزا ومركزا على موضوع معين، ولكون مكة مركز ومنبع ظهور شمس الإسلام تنور بقاع العالم كله.
إذن، انظلاقا من نظرية "مكة" نقول:

وصول الإسلام إلى إندونيسيا
في عام 30 هجرية أو حوالى 651 ميلادية، ليس ببعيد عن السنة التي توفي فيها رسول الله صلى الله عليه وسلم، مجرد عشرين سنة تقريبا من وفاته عليه الصلاة والسلام، كان سيدنا عثمان بن عفان رضي الله عنه قد أرسل نفودا إلى الصين للدعوة الإسلامية عموما وبالخصوص التعريف بكونه رئيسا للخلافة الإسلامية بعد وفاة سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه. ومن خلال بعثتهم إلى الصين التي استغرقت أربع سنوات حيث كانوا بالفعل أخذوا مكانا في إحدى جزر في نوسانتارا، وتعاملوا وتعايشوا مع سكانها ودرّسوا الإسلام فيها خلال مدة قصيرة، نظرا إلى الواجبات الدولية التي أمربها أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه. حتى اعتقد بعض شعب جزيرة "أتجية" في سومطرة الغربية بأن في منطقتهم ضريحين لبعض أصحاب رسول الله.
ثم مر الزمان حتى تولى على الدولة الإسلامية الأموييون رحمهم الله. وفي عام 674 ميلادية قررت الحكومة الأموية بأن يُـبنى على أرض جزيرة سومطرة الغربية مناء تجاري، حيث يكون طريقا لتجار العرب في بيع بضائعهم وشراء منتجات الصناعات اليدوية والمنتوجات الزراعية لدى شعب سومطرة. هذا هو أول التعارف والتعامل والتعايش السلمي بين المسلمين العرب والشعب الإندونيسي. وبعد ذلك الحين اشتهر اسم جزيرة سومطرة بكرم شعبها وسلوكهم الحسن وجمالية أراضيها وبحارها، حتى تجذب العرب وأبناؤهم – سواء كانوا تجارهم أو بـَحَّارتهم- إلى زياراتها والتعايش بسلام ووئام مع شعبها الكرماء، مع دون إغفالهم على واجبات الدعوة الإسلامية بالحكمة والموعظة الحسنة. وهذه الحالة التي حدثت مع مرور القرون بالقرون، حتى دخل إلى الإسلام فرد بفرد -قليلا فقليلا- من غير دم مهرق و لا سلاح.
وكما ذكر في المثل العربي: "قطرة قطرة يصير بحرا" هكذا دخول شعب نوسانتارا إلى الإسلام لم يكن أفواجا. وليعلم أن "أتجيه" الذي يقع في أقصى الغرب من الجزر الإندونيسية هي أول الجزيرة التي كان شعبها أكثر عددا أسلموا، حتى أقيمت عليها المملكة الإسلامية الأولى في إندونيسيا، التي اشتهر باسمها مملكة " "سامودرا فاسَاهي(Samudra Pasai) ". وذلك حسب ما سجله تسجيلا تاريخيا الرحال الكبير ماركوبولو "Marcopolo" الذي قد جاء إلى هذه الجزيرة راويا بأن في عام 692 هجرية أو 1292 ميلادية قد كثر عدد العرب الذين قاموا بالدعوة إلى الإسلام في هذه الجزيرة، واستقبلها أهلها بإخلاص واطمئنان قلوبهم. وتأكيدا لما قاله ماركوبولو قد حكى الرحال المغربي ابن بطوطة في كتابه "تحفة النظار في غرائب الأمصار وعجائب الأسفار" عن نفسه بأنه قد جاء إلى المملكة الإسلامية المسماة بـ "سامودرا فاساهي" -الذي يُعرف الآن باسم "أتـجيه" (Aceh)، التي تنتمي بجزيرة سومطرة الغربية-، وذلك حدث في عام 746 هجرية أو 1345 ميلادية، دون إغفال بأنه قد تعرّف هناك على أُناس قريبين منه أكثر مما هم بعيدين عنه بالمسافة، فقد وجدهم أُناسا متديّنين بالإسلام يمتزِج لهم ما هو تقليدي بما هو شرعي –أي اشتهر لدى هذا المجتمع شعار "adat bersendi syariat dan syariat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah " ، متخذين من المذهب الشافعي سندَهم الأساسي في العبادة والمعاملة. وأما بالنسبة لعادات هذا الشعب –كـ لباس، حفلات، سلوكيات، وغيرها – فهي قريبة إلى عادات الشعب الهندي.
وأما بالنسبة إلى البيّنة الأركيولوجية التاريخية فقد وجد المؤرخون في جريسيك (Gresik) جاوى الشرقية ضريحا قديما للمرأة المسلمة المسماة فاطمة بنت ميمون، الذي يكتب عليه عام 475 هجرية / 1028 ميلادية. وذلك العام المذكور عليه هو موافق لعهد المملكة الهندوقية "سيعاساري" (Singasari). وهذا أيضا دليل على وجود العلاقة الوثيقة بين المجتمع الإندونيسي والمسلمين العرب.
حتى في القرن 8 الهجري / 14 الميلادي، مازال سكان نوسانتارا أسلموا فرادى فرادى. ثم في القرن 9 الهجري أو 14 الميلادي هم أسلموا أفواجا أفواجا. وقد رأى المؤرخون بأن دخولهم إلى الإسلام جماعة جماعة هو ما أدى إلى ظهور القوة السياسية والاجتماعية لدى المسلمين، وخير دليل على ذلك هو إقامة الممالك الإسلامية كـ المملكة الإسلامية "أتجيه دار السلام" في سومطرة الغربية، المملكة الإسلامية "مالاكا" (ماليزيا حاليا)، المملكة الإسلامية "دماك بينطارا" في أرض الجاوه، المملكة الإسلامية "جيربون" في أرض الجاوه أيضا، و المملكة الإسلامية "تيرناتي" في شرق جزيرة نوسانتارا. وحيث كان معظم ملوكها هجينين بين سلالة ملوك الشعب الإندونيسي قبل مجيئ الإسلام وسلالة علماء العرب المهاجرين إلى نوسانتارا.
واضف إلى ذلك، أن القرن 14 و 15 ميلادية يعتبر عصرا ذهبيا للدعوة الإسلامية في إندونيسيا، مع كونه عصرا انخطاطيا للممالك الهندوقية والبوذية، سياسيا كان أم اجتماعيا. وقد قال أرنولد طوماس Arnold Thomas في كتابه The Preaching of Islam بأن الإسلام جاء إلى إندونيسيا بسلام وليس بسلاح كما قد فعلت الحكومة الأسبانية والبرتغالية، الإسلام جاء إلى شرق آسيا بوئام، من غير سلاح، ولا عن طريق اغتصاب القوة السياسية، حقا إن الإسلام جاء إلى نوسانتارا عن طريق ظهور الأخلاق الإسلامية مع احترام التقاليد المحلية والأديان الوضعية، وهذا موافق على أنه رحمة للعالمين.
ومع كون اشتغال الشعب الإندونيسي في تعلم الإسلام وإقامة الممالك الإسلامية بتمزيج ما هو فكر ديني بما هو فكر وضعي إندونيسي، كثير جدا من التجار المسلمين من بقاع العالم الإسلامي جاءوا إلى إندونيسيا حيث كانت علاقتهم بالمجتمع الإندونيسي وثيقة كـعلاقة أخوية بين المهاجرين من مكة و الأنصار في المدينة المنورة. وتاريخيا، كان أكثر المهاجرين العرب إلى إندونيسيا هم الحضرميون باليمن، وحسب كتاب تاريخ حضر موت هذه الهجرة تعتبر أكبر هجرة في التاريخ الحضرمي.

صورة الدعوة الإسلامية في إندونيسيا...الأولياء التسعة نموذجا
ومعروف لدى المؤرخين أن الدعوة الإسلامية في عهدها المبكر في نوسانتارا قام بها الصوفيون، حيث معروف لدى الشعب الإندونيسي أحدهم الشيخ مولانا مالك إبراهيم المغربي الذي تعلم على يده علماء المسلمين الإندونيسيين المشهورون بـ الأولياء التسعة (Wali Songo)، هم مولانا مالك إبراهيم المغربي (الشيخ الأكبر)، سونن بونانج، سونن أنـمبيل، سونن دراجة، سونن جيري، سونن قدس، سونن كالي جاكا، سونن موريا، وسونن جونونج جاتي. وجدير أيضا أن من يد هؤلاء الأولياء التسعة كانت المملكة الإسلامية "دماك بينطارا" في أرض الجاوه أقوى مملكة في نوسانتارا سلاحيا وعسكريا، مع كون عاصمتها بـدماك جاوى الوسطى مركزا للدعوة الإسلامية وانتشار العلوم الإسلامية.
وأما طرق دعوتهم الإسلامية فمعروفة حتى الآن، وهي بإنتاج الغناء والأشعار والنظم والخطب الدينية المسماة بـ "سرات" Serat ، وكذلك بانتاج القصص الإسلامية المجسدة بالدمى. وليس لديهم أي مؤلَّف ككتاب، لأن حينئذ لم تكن الدعوة صالحة بالكتاب، مع انشغالهم في تقوية المملكة الإسلامية دستوريا وعسكريا.
وقد جاءت دعوتهم الإسلامية على أساس احترام التقاليد المحلية والعقائد الوضعية، وإن كانوا من عظماء المملكة. وخير دليل على ذلك هو وجود مسجد "الأقصى" في مدينة "قدس" جاوى الوسطى، الذي بُـني على أساس التعاون الوثيق بين المسلمين والهندوقيين، ولذلك شكلُ هذا المسجد شبه المعبد لدى الهندوقيين. وانطلاقا من قوة الاحترام بين أبناء الأديان المختلفة أفتى الفقيه الشيخ جعفر صادق المعروف باسم "سونن قدس" أحد الأولياء التسعة على سكان مدينة "قدس" بتحريم أكل لحوم البقرة، احتراما على الهندوقيين الذين يقدّسونها حسب معتقداتهم، إذن حتى الآن أهل مدينة "قدس" لا يأكلون البقرة.
وإضافة إلى ذلك، كان رادين شهيد أو سونن كالي جاكا أحد الأولياء التسعة أدخل القيم الإسلامية في التقاليد المحلية، مثلا: تقاليد "ميتو، ياتوس و ييوو" أى حفلات للموتى مع إحراق البخور الجاوية، التي أدخل فيها "رادين شهيد" القيم الإسلامية؛ وهي إهداء ثواب قراءة القرآن للميت والذكر جماعة وسماع القصص والنصيحة الدينية من حضرة رادين شهيد.
ومن حيث المسائل الدينية كان هؤلاء الفقهاء لا يفتون بذكر الأيات القرآنية و الأحاديث النبوية حتى أقوال العلماء المعتبرة، وهم ابتعدوا عن قول "الحرام"، "البدعة"، "الشرك" أو "الكفر"، بل عرضوا إجابتهم الفقهية بالمثل الجاوي أو بالمنطق، عملا لقوله عليه الصلاة والسلام "يسِّروا ولا تعسِّروا" و قوله أيضا "تكلموا الناس على قدر عقولهم".
مثلا: الدعوة إلى فرضية ذبخ الحيوان في يوم عيد الأضحى، فقد قال رادين شهيد:"من أراد دخول الجنة راكبا على غنمه أو جاموسه فـعليه أن يذبخه في يوم عيد الأضحى –لمن استطاع على ذلك"، ثم سئل: يا شيخي، عندي جاموس واحد فهل يمكن في الأخرة أن يرتكب عليها ستة أشخاص و طفل صغير من أسرتي جماعيا؟؟ (في الفقه الشافعي أن الجاموس الواحد يكفي لستة أشخاص فقط) فأجاب رادين شهيد: عليك أن تذبخ غنما واحدا لأن الطفل الصغير يحتاج إلى سُلاّم لكي يستطيع أن يرتكب مع اسرتك على الجاموس.
أضف إلى ذلك، وقد أثّرت حينذاك على تدين المسلمين بأرض الجاوة الثقافة الفارسية، وهي انتشار عقيدة الحلاج الفارسي المسماة بـالوحدة المطلقة أو باللغة المحلية “Manunggaling Kawulo Gusthi”، حيث أنه يُحكم على شيخ هذه العقيدة الشيخ سيتي جنار أو الشيخ ليماه أبانج القتلُ حسب إجماع الأولياء التسعة وموافقة ملك المملكة الإسلامية "دماك بينطارا" رادين فـتَّاح.
وسوى هذه العقيدة المؤثرة من الثقافة الفارسية هناك حفلات محلية تسمى بـ "الشورى" المأخوذ من لفظ "عاشوراء" –أي الحفلات التي تقام كل العشرة الأولى من شهر المحرم وأقصى هذه الحفلات يوجد في يوم العاشر من شهر المحرم، حيث ادعى زعماء الشيعة حاليا على أن تلك الحفلات خير دليل على وجود تأثر الثقافات الفارسية المعروضة تحت الموضوع "ذكرى موقعة كربلا". ولكن، "الشورى" في إندونيسيا لا يقام لأجل أيِّ ذكرى أو عيد معين، وإنما هذه الحفلات هي من التقاليد المحلية، ثم أدخل فيها الأولياء التسعة برنامج مجلس العلم والذكر معا.
ومن سبب دعوة هؤلاء العلماء الكرام وُلد كثير من العلماء الإندونيسيين، وبعضهم قد وصل على المستوى الدولي؛ كـ الشيخ النواوي البنتني المشهور بمفتي الشافعية في البلد الحرام الذي ألّف عدة كتب منها التفسير المنير أو تفسير مراح لبيد، قامع الطغيان، نصائح العباد وغيرها، والشيخ ياسين الفاداني المعروف بمسند الدنيا في الحديث وعلومه، والشيخ محفوظ الترماسي الذي يكون كتابه منهج ذوي النظر مقررا لطلاب ماستر في الحديث في الأزهار الشريف بالقاهرة، وغيرهم كثير.

الخلاصة
وهذا هو ما فضله الله عز وجل على الشعب الإندونيسي. وانطلاقا من البحث سالف الذكر يمكننا أن نلاحظ عدة نقط تالية:
1) الإسلام جاء إلى إندونيسيا عن طريق التجار المسلمين العرب.
2) الشعب الإندونيسي أسلموا بإخلاص وسكينة قلوبهم.
3) الممالك الإسلامية في إندونيسيا تقام على أساس إختيار واتفاق جُلّ المجتمع الإندونيسي، دون دم مهرق ولا اغتصاب القوة السياسية.
4) الدعوة الإسلامية جاءت بتدخلها في التقاليد المحلية والحفلات الوضعية، واختلاط علمائها بالشعب كلهم، دون تفصيلهم بما هو ثري أو فقير، جاوي أو صيني.
هكذا، لقد كانت الدراسة التاريخية عن الإسلام في إندونيسيا تحتاج إلى فهم عميق ووقت طويل، ولذلك هذا البحث الذي قمنا به لا يكون إلا من ناحية نظرات كاتب هذا البحث -طبعا حسب طاقته هو-، وهذا لا يخلو عن الأخطاء والمغالطات، حيث لابد هناك الاقتراحات والنقاد البناء. وأخيرا، نسأل المولى الكريم أن ينفع علومنا. آمين

Senin, 26 September 2011

Formalisasi Syariat, Mungkinkah?

  Oleh Ahmad Hadidul Fahmi
Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zaman sebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan. 

Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahal tempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam Syafi’i yang mempunyai Qawl Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal dengan Qawl Jadid (pendapat baru).

Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Furu’ anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganut madzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ‘ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul Nasyr al-Arfi fi Bina’ Ba’dl al-Ahkam ‘ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, “kebanyakan hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara’ yang didasarkan pada keringanan dan kemudahan”.

Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).

Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam—sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim, ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa’. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ membujuk Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Ja’far al-Manshur mengupayakan hal serupa—walau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak mengarah ke sana—dengan meminta kitab al-Muwatha’ sebagai acuan hakim ketika memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Ja’far membujuk yang kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa, akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak merubah pendapatnya.

Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami’ Bayan al-Ilm mengutip tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki-laki. Kemudian ia berkata, “apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut berkata, “Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini”. Kemudian Umar berkata, “jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda dengan keputusan yang pertama)”.

Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syari’ah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan baku—terkecuali masa di mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zur’ah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz dengan ungkapan, “Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, “bahwasanya di setiap pelosok daerah ada shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan shahabat Nabi”. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.

Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.

Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang; ketiga,aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.

* Koordinator Lakpesdam Mesir
Sumber: www.nu.or.id

Tradisi Lebaran dan Halal Bihalal

Oleh : Moh. Safrudin, S. Ag, M.Pdi

Setelah menjalankan puasa pada bulan Ramadhan semua kaum muslimin merayakan hari raya Idul Fitri atau yang lebih akrap dengan istilah Lebaran di samping itu pesan moral agama Islam kita dianjurkan dengan memperbanyak minta ampun pada Tuhan tidak akan sempurna kalau tidak diteruskan saling memaafkan sesama manusia, khususnya dengan keluarga, tetangga, dan kerabat.

Maka setelah salat, dilanjutkan saling berkunjung untuk silaturahmi, minta maaf, dimulai dari permohonan maaf dan doa dari anak kepada orang tua, dilanjutkan pada sanak saudara yang dianggap lebih tua.

Di kampung, setiap keluarga menyediakan makanan beraneka ragam untuk menjamu tamu-tamu yang datang, tua-muda, besar-kecil, layaknya sebuah warung gratis. Yang membuat Lebaran di kampung menjadi semakin meriah adalah keterlibatan anak-anak yang ikut bertamu ke rumah-rumah untuk menikmati makanan yang terhidang.

Mereka berpakaian baru karena dalam tradisi kampung saat yang paling tepat membelikan pakaian anak-anaknya adalah untuk ber-Lebaran. Ketika bertamu, ada kerabat yang suka membagi uang untuk anak-anak. Ketika waktu dhuhur tiba, anak-anak berkumpul di masjid. Mereka saling tukar cerita makanan yang enak-enak.

Kenangan ini melekat sampai tua, indah dikenang dan menjadi daya tarik untuk pulang mudik, menapak tilas. Fenomena pulang mudik Lebaran akan tetap bertahan selama fenomena urbanisasi berlangsung. Beberapa orang tua yang tinggal di kota besar sengaja mengajak anak-anaknya pulang mudik agar mengenal suasana desa dan asal-usul leluhurnya.

Bahkan hitung-hitung rekreasi. Jadi, sesungguhnya pesta Lebaran memiliki banyak dimensi, ada dimensi religi, kultural, dan rekreasi. Kalau saja pemerintah mampu memberi fasilitas yang bagus, sesungguhnya peristiwa mudik Lebaran sangat positif untuk pemerataan ekonomi.Lebih bagus lagi kalau setiap warga desa yang telah sukses memanfaatkan pulang mudik untuk ramai-ramai memajukan lembaga pendidikan di desanya.

Misalnya saja memperbaiki perpustakaan sekolah dan desa serta memperbanyak koleksi buku-bukunya. Jadi, kalau tidak dikelola dengan cerdas, pesta mudik bisa saja dianggap sebagai beban pemerintah. Padahal sesungguhnya sebuah aset budaya yang sangat positif konstruktif bagi kohesi dan pembangunan bangsa.

Kapan pesta mudik semakin populer? Mungkin berkaitan dengan laju urbanisasi ketika anak-anak desa mulai memilih bekerja di kota, berkat pendidikan yang mereka miliki, dan iming-iming kota besar yang menggiurkan.Kalau itu sebagai patokan, memasuki dekade 80- an fenomena mudik ini mengemuka.

Banyak warga desa yang hijrah ke kota dan mereka ramai-ramai memilih berlebaran di kampung halaman. Mereka yang memiliki darah perantau, mudik juga menjadi peluang untuk menggembirakan orang tua, menunjukkan bahwa dirinya sukses. Mereka datang dengan kendaraan bagus dan membawa uang untuk dibagi-bagi sebagai rasa syukur.Tapi, ada saja orang-orang yang berperilaku kekanak-kanakan.

Pulang mudik Lebaran dijadikan kesempatan untuk pamer kekayaan dan keberhasilan di hadapan warga kampung.Malahan ada yang memaksakan diri dengan cara berutang agar kelihatan berhasil di mata tetangganya. Tentu ini bertentangan dengan semangat Idul Fitri. Mereka sengaja membawa mobil bagus, bahkan ada yang sengaja menyewa kendaraan khusus untuk bergaya sewaktu Lebaran.

Begitu pun remajanya, datang ke kampung dengan membawa gaya hidup kota besar yang hanya menyakitkan dan menimbulkan iri anak-anak desa yang miskin dan kurang berpendidikan. Yang menarik setiap pulang mudik adalah suasana meriah bercampur damai. Kriminalitas relatif kecil. Di perjalanan semua saling tersenyum bertegur sapa.

Bahkan dewasa ini, ada tradisi halal bihalal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bihalal. Asal-usul tradisi halal bihalal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “sembah sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.

Halal bihalal merupakan istilah yang sudah sangat dikenal di negeri ini. Sebagian besar masyarakat kita menganggap kata-kata ini berasal dari bahasa Arab. Nikolaos Van Dam, seorang ahli sastra Arab pun mengira demikian. Ketika ia bertugas sebagai duta besar di Indonesia tahun 2005 lalu, baru mengenal istilah itu. Sebelumnya ia hanya mengenal kata halal. Ia mencari-cari dalam kamus bahasa Arab , tapi tidak menemukannya. Kata halal bihalal tentu tidak akan kita temukan di dalam kamus , juga dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits, karena bukan bahasa Arab.

Halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata halal, kata penghubung ba ( dibaca bi ) dan kata halal lagi. Halal berarti “boleh”, “diizinkan”, atau “tidak dilarang”. Bi berarti “dengan”. Ketiga kata itu berasal dari bahasa Arab. Tapi penggabungan tiga kata ini tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Arab. Halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain.

Halal bihalal dimaksudkan sebagai suatu acara bermaaf-maafan setelah selesai melaksanakan puasa Ramadhan atau pada hari raya dan sesudahnya. Istilah ini memang khas Indonesia, sehingga bagi yang bukan orang Indonesia pengertiannya akan kabur, walaupun ia mengerti bahasa Arab, seperti dubes Belanda itu.

Secara etimologis kata halal berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Menurut Quraish Shihab, makna-makna tersebut antara lain adalah”menyelesaikan problem atau kesulitan”; ”meluruskan benang kusut”; mencairkan yang membeku”, atau “melepaskan ikatan yang membelenggu”.

Dengan demikian bisa kita pahami kata halal bihalal ini dimaksudkan sebagai keinginan adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas.

Walau pun istilah halal bihalal itu khas Indonesia dan tidak ada pada zaman Nabi saw, namun bukan berarti pada masa itu tidak ada ungkapan silaturahim. Hanya pada waktu itu tidak ada acara seremonial yang khusus untuk silaturahim.

Watsilah, seorang sahabat Nabi, menuturkan, ketika ia bertemu Nabi saw pada hari raya, ia berkata,”Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima ibadah kami dan anda ). Nabi saw kemudian menjawab,”Na’am, taqabbalallahu minna wa minka” ( Ya, semoga Allah menerima ibadah kami dan anda ). Ucapan ini merupakan salah satu bentuk ungkapan silaturahim, karena saling mendoakan.

Para sahabat Nabi pada hari raya apabila bertemu juga mengucapkan kata-kata itu. Kata minka (dari anda) merupakan bentuk tunggal, sedang bentuk jamaknya adalah minkum. Dalam bahasa Arab bentuk jamak sering digunakan sebagai penghormatan kepada lawan bicara, seperti ucapan Assalamu’laikum, walaupun diucapkan hanya kepada satu orang.

Kata silaturahim merupakan kata majemuk yang berasal dari kata-kata Arab, shilat dan rahim. Shilat berarti “menyambung”, ”menjalin” atau “menghimpun”. Sedangkan kata rahim berarti “kasih sayang”, kemudian pengertian kata ini berkembang sehingga berarti “kandungan”, karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

Dengan demikian silaturahim ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk sikap atau perilaku yang bisa menjalin dan mempererat rasa kasih sayang di antara kita.

* Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Sultra Peneliti Sangia institute

Selasa, 20 September 2011

Tumpas Rasa Malas

“Seandainya”, kalimat ini begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, sebagian besar orang boleh jadi biasa mengucapkannya, “Seandainya aku melakukan ini, tentunya begini dan begini, tidak justru begini.” Ungkapan ini berkonotasi sebagai angan-angan semu dan sesuatu yang tidak akan terjadi.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sangat tidak menyukai umatnya mengumbar kata-kata “seandainya”. Beliau mewanti-wantikan kepada mereka bahwa kalimat “lau” (seandainya) adalah tipu daya setan. Orang yang selalu mengumbar kata ini adalah pemalas yang hanya bisa berhasrat tapi tak bersemangat.
Jika kita sudah benar-benar dijangkiti rasa malas, maka cepat-cepatlah berusaha melawan dan membuangnya jauh-jauh. Malas adalah sifat buruk yang wajib dihindari oleh semua muslim. Malas adalah ciri-ciri orang munafik. Firman Allah dalam al-Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS an-Nisa’ [4]: 142)
Jika kita mulai kedatangan tamu yang bernama ‘malas’ dan kita ingin mengusirnya, berikut ini beberapa tips yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

1) Perbanyak Doa
Doa adalah senjata orang mukmin, begitulah Nabi menegaskan. Ibnu Qayyim dalam karyanya al-Jawâb al-Kâfî li Man Sa’ala ‘anid-Dawâ’ asy-Syâfi, menjelaskan bahwa obat mujarab untuk menyembuhkan jiwa orang mukmin yang sudah terjangkiti berbagai penyakit adalah berdoa dan bersungguh-sungguh dalam doa. Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menanggulangi rasa malas adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ والْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ. رواه أبو داود
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesusahan, dan aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan sifat malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan pengecut, dan aku berlindung pada-Mu dari hutang yang tak mampu ditanggung serta kesewenangan orang yang tak mampu dilawan.” (HR Abu Dawud)

2) Lawanlah Setan dan Nafsu
Malas sebenarnya berasal dari setan. Setan akan terus berusaha mengusik dan membujuk nafsu manusia untuk malas, baik dalam menunaikan ibadah maupun dalam aktivitas yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Setan mengikatkan tiga ikatan di belakang kepala salah seorang dari kalian ketika tidur. Pada setiap ikatan setan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah.” Apabila salah seorang dari kalian terjaga dari tidur, lalu menyebut nama Allah, maka akan terlerai satu ikatan. Jika ia mengambil wudu, maka terlerai satu ikatan lagi. Dan jika ia salat, maka terlerailah semua ikatan. Jika demikian, maka ia akan bangun di waktu pagi dalam keadaan rajin serta lapang hatinya. Jika ia tidak (melakukannya), maka ia bangun pagi dalam keadaan buruk jiwanya dan diliputi rasa malas.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibn Hibban, dan lainnya)
Hadis ini menunjukkan bahwa malas berasal dari setan dan kita harus berusaha terus melawannya dengan tidak menuruti apapun yang dibisikkan olehnya. Jika setan sudah bisa dikalahkan, maka malaspun akan hilang.

3) Menimba Ilmu
Timbalah ilmu sebanyak mungkin. Dengan ilmulah seseorang akan menjadi orang yang rajin dan cekatan dalam hidupnya. Mengapa ilmu? Apa hubungan antara ilmu dengan rajin? Gambaran sederhananya begini: ketika seseorang sudah mengetahui (memiliki ilmu) tentang fadilah dan keutamaan ibadah tertentu, maka pastinya akan menyebabkan ia rajin melakukan ibadah tersebut. Hal itu apabila dia memiliki keyakinan yang kuat tentang apa yang dipelajari. Orang yang memiliki ilmu mengenai keutamaan salat jamaah, ia akan terdorong untuk rajin mengerjakan salat jamaah. Begitupun ketika seseorang tahu bahwa malas berasal dari setan dan merupakan sifat orang munafik, dia akan memiliki dorongan untuk mengusirnya.
Sejalan dengan hal tersebut, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isyak dan salat Subuh. Seandainya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan datang untuk salat walaupun harus merangkak.” (HR an-Nasa’i, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi)
Sabda tersebut menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan mengenai hakikat sesuatu. Ilmu menyebabkan semangat dan sikap seseorang terhadap sebuah amal berubah 180 derajat. Ilmu akan menuntun seseorang untuk rajin dan cekatan dalam mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.

Sumber: Buletin SIDOGIRI

Senin, 19 September 2011

Arti dan Makna Bulan Hijriyah

Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah.

Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 – 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata’ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah(9):36).

Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah di tahun gajah.

Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).

Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw.

Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab.

Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya. Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:

MUHARRAM, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.

SHAFAR, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

RABI’ULAWAL, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

RABIU’ULAKHIR, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

JUMADILAWAL nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.

JUMADILAKHIR, artinya: musim kemarau yang penghabisan.

RAJAB, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.

SYA’BAN, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

RAMADHAN, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa peting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.

SYAWWAL, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.

DZULQAIDAH, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.

DZULHIJJAH artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.

Jumat, 16 September 2011

Kisah Perjalanan Panjang Hajar Aswad, Permata Dari Surga


Hajar Aswad (Batu Hitam/Black Stone) diyakini sebagai batu surga. Oleh karena itu tidak heran jika jemaah haji dari seluruh pelosok penjuru dunia selalu merindukannya, bahkan saling berebut hanya karena ingin menciumnya.

Batu hitam itu terletak di sudut Selatan Ka’bah pada ketinggian 1,10 meter dari lantai Masjidil Haram berukuran panjang 25 cm dan lebar 17 cm. Sekarang ini, Hajar Aswad pecah menjadi 8 bongkah dan kedelapan bongkahan itu masih tersusun rapi pada tempatnya seperti sekarang.

Pecahnya batu itu terjadi pada zaman Qaramithah, yaitu sekte dari Syi’ah Al-Bathiniyyah dari pengikut Abu Thahir Al-Qaramathi yang mencabut Hajar Aswad dan membawanya ke Ihsa’ pada tahun 319 Hijriyah. Tetapi batu itu dikembalikan lagi pada tahun 339 Hijriah.

Gugusan yang terbesar berukuran sebuah kurma yang tertanam di batu besar lain dan dikelilingi oleh ikatan perak. Inilah batu yang senantiasa dirindui setiap Muslim dan berusaha untuk dapat menciumnya atau ber-ihtilam (menyalaminya atau mencium tangan ketika tawaf). Batu yang terletak dalam lingkaran perak itulah yang diusahakan jemaah haji untuk dapat menciumnya, artinya bukan batu yang berada di sekitarnya.

Hajar Aswad pernah mengalami renovasi pada zaman Raja Fahd, yaitu pada bulan Rabi’ulawal 1422 Hijriyah. Setiap tahun menjelang musim haji, batu ini dibersihkan sekaligus dilakukan pencucian Ka’bah yang kadang-kadang memberi kesempatan kepada tamu-tamu kerajaan menyaksikan pencucian Ka’bah ini sekaligus mencium Hajar Aswad.

Kisah mengenai Hajar Aswad sebagai berikut:

Ketika Nabi Ibrahim as. bersama anaknya membangun Ka’bah, banyak kekurangan yang dialaminya. Pada awal mulanya dulu, Ka’bah tidak memiliki pintu masuk. Nabi Ibrahim as. bersama Nabi Ismail as. berikhtiar untuk membuatnya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung. Dalam sebuah kisah disebutkan pada waktu pembangunan Ka’bah hampir selesai, ternyata Nabi Ibrahim as. masih merasakan kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Ka’bah. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Nabi Ismail as., “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”

Kemudian Nabi Ismail as. pun pergi dari satu bukit kebukit yang lain untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail as. sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril as. memberikan sebuah batu yang cantik. Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim as. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali.

Kemudian Nabi Ibrahim as. bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?” Nabi Ismail as. menjawab, “Batu ini kuterima dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).” Nabi Ibrahim as. mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail as. Sampai sekarang Hajar Aswad itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah. Siapa saja yang bertawaf di Ka’bah disunnahkan mencium Hajar Aswad. Beratus ribu kaum muslimin berebut ingin mencium Hajar Aswad itu, yang tidak mencium cukuplah dengan memberikan isyarat lambaian tangan saja dari jauh.

Ada riwayat menyatakan bahwa dulunya batu Hajar Aswad itu berwarna putih bersih, tetapi akibat dicium oleh setiap orang yang datang menziarahi Ka’bah, akhirnya menjadi hitam seperti terdapat sekarang.

Ingatlah kata-kata Khalifah Umar bin Al-Khattab ketika beliau mencium batu itu (Hajar Aswad), “Aku tahu, sesungguhnya engkau hanyalah batu biasa. Andaikan aku tidak melihat Rasulullah mengecupmu, sudah barang tentu aku tidak akan melakukan (mengecup Hajar Aswad).”



Riwayat Panjang Hajar Aswad

  1. Yang pertama kali meletakkan Hajar Aswad adalah Nabi Ibrahim as. dan batu itu adalah permata yang berasal dari Surga.
  2. Ketika Bani Bakar bin Abdi Manaf bin Kinanah bin Ghaisyan bin Khaza'ah mengusir keturunan Jurhum dari Mekah, Amr bin Harits bin Madhadh Al Jurhumi keluar membawa dua patung emas kepala rusa dan Hajar Aswad dipendam di sumur Zamzam, seterusnya mereka berangkat menuju Yaman.
  3. Pemendaman Hajar Aswad di dalam sumur Ka’bah tidak bertahan lama karena seorang wanita dari Khaza`ah memberitahukan kepada kaumnya bahwa dia melihat orang Jurhum memendam Hajar Aswad di sumur Zamzam. Kemudian mereka meletakkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya. Hal ini terjadi sebelum pembangunan oleh Qushay bin Kilab.
  4. Setelah Mekah dikuasai oleh suku Qaramitah di bawah pimpinan Abu Tahir Al Qarmuthi, mereka membantai 1700 orang di Mesjidilharam, sebagian bergelantungan di Ka’bah kemudian mereka memenuhi sumur Zamzam dengan mayat-mayat. Mereka merampas harta orang-orang dan perhiasan Ka’bah, merobek-robek kiswah penutup Ka’bah dan membagikannya kepada kawan-kawannya, merampok benda-benda berharga dalam Ka’bah, melepas pintu Ka’bah dan memerintahkan pula untuk mengambil talang emasnya. Pada tanggal 7 Zulhijah tahun 317 H, Abu Tahir Al Qarmuthi menduduki kota Mekah dan mencopot Hajar Aswad dari tempatnya secara paksa. Abu Tahir memerintahkan Jakfar bin Ilaj untuk mencopot Hajar Aswad dan membawanya pada tanggal 7 Zulhijah 317 H. Setelah dia melakukan kebiadaban dengan membunuh orang-orang yang sedang tawaf, iktikaf dan salat. Mereka membawa Hajar Aswad ke negerinya. Setelah itu tempat Hajar Aswad kosong. Orang-orang yang tawaf hanya meletakkan tangannya di tempatnya saja untuk mendapatkan berkahnya. Akhirnya Hajar Aswad dikembalikan ke tempatnya pada hari Selasa tanggal 10 Zulhijah tahun 339 H. setelah 22 tahun Ka’bah kosong dari Hajar Aswad.
  5. Pada tahun 363 H. datang seorang laki-laki dari Romawi. Saat ia mendekati Hajar Aswad, ia mengambil cangkul dan memukulkannya dengan kuat ke pojok tempat Hajar Aswad hingga berbekas. Ketika ia akan mengulangi perbuatannya, seorang Yaman datang dan menikamnya sampai roboh.
  6. Pada tahun 413 H. Bani Fatimiyah mengirim sebagian pengikutnya dari Mesir di bawah pimpinan Hakim Al Abidi, di antaranya ada seorang laki-laki yang berkulit merah dan berambut pirang serta berbadan tinggi besar, sebelah tangannya menghunus pedang sedang yang sebelah memegang pahat, lalu dipukulkannya ke Hajar Aswad sebanyak tiga kali hingga pecah dan berjatuhan, sambil berkata, "Sampai kapan Batu hitam ini disembah, sekarang tidak ada Muhammad atau Ali yang dapat melarangku dari perbuatanku, kini aku ingin menghancurkan Kakbah." Kemudian pasukan berkumpul untuk membunuh dia dan berikut para pembantunya.
  7. Pada tahun 990 H. datang seorang laki-laki asing (bukan orang Arab) membawa sejenis kampak dan dipukulkannya ke Hajar Aswad, Pangeran Nashir menikamnya dengan belati hingga mati.
  8. Di akhir bulan Muharram tahun 1351 H. datang seorang laki-laki dari Afghanistan. Ia mencungkil pecahan Hajar Aswad dan mencuri potongan kain Kiswah serta sepotong perak pada tangga Ka’bah. Penjaga masjid mengetahui perbuatan itu kemudian menangkapnya, diapun dihukum mati. Pada tanggal 28 Rabiul Akhir tahun 1351 H, datang Raja Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al Faisal As Saud ke Mesjidharam dalam rangka perekatan pecahan Hajar Aswad akibat perbuatan tentara terkutuk tadi. Perekatan tersebut dilakukan setelah diadakan penelitian oleh para ahli untuk menentukan bahan khusus yang digunakan untuk merekat batu pecahan Hajar Aswad yaitu berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar.
MISTERI LAIN TENTANG HAJAR ASWAD DAN KA'BAH

Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, di berkata : “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?.”
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada asalan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.

Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.

Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka’Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam. ( Jami al-Tirmidzi al-Hajj (877)