Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan institusi pendidikan Islam, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.[1] Pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional.
Madrasah merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai madrasah seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan madrasah sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran madrasah itu sendiri.[2]
Madrasah dalam arti formal adalah MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Kesemuanya ini merupakan lembaga sekolah yang sudah mengalami pengembangan sehingga berbeda dengan Madrasah Diniyah atau Sekolah Keagamaan yang cenderung seperti lembaga pengajian yang jauh dari kemajuan dan kejelasan manajemennya.[3]
Kemunculan madrasah dipandang oleh para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Argumen yang bisa dikemukakan adalah bahwa secara historis, awal kemunculan madrasah dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia-Belanda.[4] Dengan demikian, kehadiran madrasah mengandung dimensi "kritik” karena ia adalah bagian dari upaya pembaruan untuk menjembatani sistem tradisional yang diselenggarakan oleh pesantren dengan sistem pendidikan modern. Selain itu, kehadiran madrasah juga merupakan upaya penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memeroleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum. Sementara itu, apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan modern Barat kolonial, kehadiran madrasah mengandung dimensi "akulturatif" karena ia merupakan manifestasi dan realisasi pembaruan sistem pendidikan Islam yangdiinginkan oleh sebagian umat Islam yang tengah menganggap positif sistern pendidikan Barat[5]
Tumbuhnya madrasah di tanah air adalah hasil dari tarik-menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan Barat (modern) di sisi yang lain."' Setidaknya, terdapat dua kecenderungan yang dapat diidentifikasi dari kemunculan format madrasah: pertama, madrasah-madrasah Diniyyah-Salafiyah yang terns tumbuh dan. berkembang dengan peningkatan jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga tqfaqquhfztd-din (lembaga yang semata-mata berorientast mendalami agama), dan kedua, madrasah-madrasah yang selain mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, juga memasukkan beberapa materi yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda.[6]
Dalam sejarahnya, perkembangan madrasah dan lembaga pendidikan Islam lain boleh dikatakan termarjinalkan oleh kebijakan umum sistem pendidikan nasional, meskipun akhir-akhir ini telah ada upaya yang cukup signifikan untuk menempatkan pendidikan Islam sebagai pendidikan alternatif yang menjadi rujukan dan model bagi pendidikan lain di Nusantara.[7]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh Kementerian Agama, selama ini masih dipandang rendah kualitasnya oleh sebagian masyarakat. Bahkan rentang waktu perjalanan madrasah di Indonesia sangat panjang, dapat dikatakan hampir sama dengan irama dinamika dunia pendidikan di Indonesia . Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi, maka upaya-upaya yang ditujukan untuk mengembangkan kualitas agar citra madrasah tidak selalu menjadi nomor dua, setelah sekolah umum yang lain, banyak hal yang bisa dilakukan oleh stakeholder madrasah.[8]
Kondisi dan citra madrasah yang berkembang di masyarakat tentunya sangat dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah. Pembahasan mengenai masalah kebijakan pendidikan nasional tentunya tidak akan pernah terlepas dari pembahasan mengenai dimensi politik yang mengonstruknya. Dapat dikatakan bahwa segala kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik.[9]
Baru pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).
Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.
[1]Soeroyo, “Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, 1 (1991), 77
[2] Sri Haningsih, ”Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia”, Jurnal Pendidikan Islam el-Tarbawi , 1. VOL. 1, ( 2008), 27
[3]Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: Lkis, 2009), 134
[6] Mahmud Arif 200-201
[7]Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, 134
[8]Haningsih, Peran Strategis, 28
[9]Dedi Supriadi dan Ireene Hoogenboom, “Guru di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, Dalam Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi, ed. Dedi Supriadi ( Jakarta: Depdikbud, 2003 ),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar