Oleh : Imam Hanafie, S.Ag, M.A,* Pernah suatu ketika, almarhum KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid mantan presiden RI ke-4 mengemukakan bahwa dunia pendidikan di Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi yang “tidak membahagiakan”. Mantan presiden yang memperoleh lima gelar doktor honoris causa dari beberapa perguruan tinggi dan pernah menjabat sebagai rektor Universitas Darul Ulum Jombang itu menyatakan bahwa dunia pendidikan di Indonesia telah banyak menghasilkan profesor, doktor, insinyur, MA (Master of Art) dan sebagainya, yang hebat dan profersional tetapi tidak berdasarkan kepada akhlaqul karimah sehingga pendidikan kita dikatakannya ‘compang-camping’.
Lebih jauh lagi Gus Dur berpendapat, pendidikan di Indonesia seharusnya mendasarkan diri kepada penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada anak didik sehingga hasilnya kelak akan bermanfaat untuk mendukung upaya membangun kehidupan demokrasi di Indonesia (Gatra, 2001)
Jika Gus Dur menyoroti rendahnya mutu pendidikan di negara kita dari segi moralitas pendidikan, maka lain lagi dengan pendapat Profesor Toshiko Kinosita yang lebih menyoroti output dunia pendidikan di negara kita dari sisi rendahnya potensi sumber daya manusia (SDM) yang telah dihasilkan oleh dunia pendidikan kita.
Guru besar Universitas Waseda Jepang itu mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya adalah karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting adalah karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 2002).
Dua pendapat tokoh di atas jika kita cermati ternyata memiliki keterkaitan seandainya kita membuat pertanyaan mengapa mutu pendidikan di negara kita begitu rendah. Pemerintah dalam kenyataannya sejak masa orde baru tidak menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama (meskipun akhir-akhir ini telah dimulai upaya memperbaiki dunia pendidikan di negara kita), sebab seperti dikatakan Profesor Kinosita masyarakat kita mulai dari yang awam, politisi hingga pejabatnya hanya berkecenderungan mengejar keuntungan sendiri-sendiri dan tidak pernah berfikir jauh tentang bagaimana dunia pendidikan kita ke depan.
Mengapa demikian? Barangkali pendapat Gus Dur di atas adalah jawabannya, ialah karena moralitas bangsa kita sejak dahulu tidak pernah dibiasakan berlaku adil dan jujur dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sehingga dunia pendidikan yang seharusnya menjadi lahan untuk membangun kecerdasan bangsa disalahgunakan untuk mengeruk keuntungan sendiri-sendiri (baca : Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).
Akibat dari kesemua itu, wajar saja jika dalam skala internasional mutu pendidikan kita benar-benar memprihatinkan. Bayangkan saja, dari 162 negara di dunia, indeks nasional pendidikan kita jika diukur dengan indeks pendidikan di luar negeri, Indonesia berada pada urutan ke-102 untuk skala dunia dan urutan ke-16 untuk sekala Asia, bahkan secara rata-rata mutu pendidikan di Indonesia masih di bawah Vietnam. Bandingkan dengan Malaysia, negeri jiran yang dulu banyak belajar dari negara kita, banyak mendatangkan guru-guru dan dosen dari kita, sekarang menempati urutan sekitar 50 dari 162 negara. Sementara negara-negara tetangga kita seperti Korea Selatan, Thailand dan Singapura yang dulu sejajar dengan negara kita dan perekonomiannya jatuh terpuruk mampu bangkit dan berhasil menata pendidikannya. Ini lebih karena mereka benar-benar menempatkan pendidikan sebagai sektor utama, dan karena memang mereka benar-benar memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusianya.
Contoh lain rendahnya mutu pendidikan kita adalah bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur setelah Philipina, Thailand, Singapura dan Hongkong. Berdasarkan penelitian, rata-rata nilai tes siswa SD kelas VI untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan IPA dari tahun ke tahun semakin menurun. Anak-anak di Indonesia hanya dapat menguasai 30 persen materi bacaan, bahkan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Termasuk ranking universitas, indeks pengembangan manusia dan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Dari uraian ini kita dapat mengatakan betapa sistem pendidikan kita ini memang ‘kacau’.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika kualitas ekspor sumber daya manusia Indonesia hanya sekelas TKW dan TKI. Sedangkan dari segi sumber daya alamnya, kita hanya mampu menjual kayu-kayu gelondongan dan bahan-bahan mentahnya saja. Ini akibat pembangunan pada masa lalu tidak memberikan perhatian yang besar kepada sektor pendidikan sebagai salah satu sektor yang seharusnya dibangun pada setengah abad yang lalu.
Akhir-akhir ini telah nampak pemerintah akan memberikan prioritas yang besar dalam sektor pendidikan, dan mulai menempatkan pendidikan sebagai investasi masa depan. Salah satu indikator yang dapat kita saksikan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyetujui untuk memberikan prioritas anggaran dalam sektor pendidikan sebesar 20% dari total APBN dan APBD. Dapat dikatakan, pemerintah sekarang telah mulai ‘melek’ akan pentingnya sektor pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR 2002 yang melakukan amandemen terhadap Pasal 31 UUD 1945, terdapat perubahan yang mencolok yaitu pada ayat (4) yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja. Selengkapnya bunyi Pasal 31 ayat (4) adalah, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dengan alokasi anggaran sekitar 20% itu nantinya diharapkan dunia pendidikan di Indonesia mulai bergeliat, berbenah diri dan mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara lain. Namun demikian pengalokasian anggaran yang cukup besar itu tidak berarti tanpa risiko. Ini mungkin saja terjadi pada saat muncul kebocoran atau praktek penyimpangan dalam penggunaannya, terutama bila kita lihat kesiapan daerah-daerah dalam mengelola anggaran yang cukup besar itu. Tekad Bupati Kutim, Awang Farouk (kini gubernur Kaltim) yang mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam APBD Kutim sebagaimana diamanatkan UUD adalah langkah berani dan selangkah lebih maju daripada daerah-daerah lainnya. Namun, bila langkah ini telah diikuti daerah-daerah lain, pertanyaan yang muncul adalah apakah daerah-daerah tersebut telah memiliki kesiapan yang matang untuk mengelola anggaran pendidikan sebesar itu? Akan dikemanakan anggaran sebanyak itu?
Pendidikan yang Membebaskan
Paradigma “pendidikan yang membebaskan” pada dasarnya adalah sebuah cita-cita ideal untuk membangun harkat dan martabat manusia ke arah yang lebih baik, yakni menjadikan manusia-manusia terdidik yang memiliki kemandirian dan jati diri yang utuh, mampu memecahkan berbagai problem hidup yang dihadapinya serta memiliki daya produktifitas tinggi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat dan lingkungannya. Dalam istilah yang lebih sederhana, inti daripada konsep pendidikan yang membebaskan itu adalah terwujudnya sebuah perubahan mendasar pada diri insan terdidik, baik perilaku, tingkat kesejahteraan hidup maupun idealitas pandangan hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan, sesungguhnya pendidikan merupakan sebuah ‘industri jasa perubahan’. Oleh karena pendidikan berfungsi sebagai jasa perubahan, maka seharusnya pendidikan juga dimaknai sebagai sarana ‘investasi’ untuk masa depan.
Mengapa pendidikan harus dimaknai sebagai investasi masa depan? Karena pendidikan itu sendiri adalah alat untuk mengembangkan ekonomi dan bukan sekedar menumbuhkan ekonomi. Dalam praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis dari tataran individual sampai kepada tataran yang lebih luas. Fungsi teknis-ekonomis mengarah kepada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Sebagai contoh misalnya, pendidikan dapat membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan agar manusia dapat survive dan mampu bersaing dalam kehidupan ekonomi yang makin kompetitif.
Kita dapat melihat, pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin baik pula tingkat kehidupan ekonominya. Hal ini bisa saja terjadi, sebab manusia yang lebih terdidik berkecenderungan lebih produktif dibandingkan dengan manusia-manusia yang tidak terdidik. Mengapa mereka yang berpendidikan lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk dapat hidup lebih baik? Sebab mereka memiliki keterampilan teknis yang diperolehnya dari dunia pendidikan. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan adalah pengembangan keterampilan hidup (life skill). Hal ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh para stakeholder pendidikan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Berbasis Karakter yang tengah dikembangkan di Indonesia saat ini.
Menurut data pada tahun 1992, di Amerika seseorang yang berpendidikan doktor berpenghasilan rata-rata 55 juta dollar per tahun, master 40 juta dollar per tahun dan sarjana 33 juta dollar per tahun. Sementara yang berpendidikan setingkat SLTA berpenghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Sementara itu pada tahun yang sama, di Indonesia bagi mereka yang lulusan perguruan tinggi, per tahun berpenghasilan Rp. 3,5 juta rupiah, akademi Rp. 3 juta rupiah, SLTA Rp. 1,9 juta rupiah dan SD hanya Rp. 1.1 juta rupiah per tahunnya.
Menurut Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity-nya, teori Human Capital menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya.
Dengan demikian, berdasarkan teori ini dapat dikatakan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpendidikan akan menjadi modal utama bagi pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Semakin besar suatu bangsa memiliki tenaga-tenaga yang terdidik, semakin baik terwujudnya nilai-nilai demokrasi. Hal Ini karena sumber daya manusianya memiliki keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pandangan hidup yang benar, sehingga pemerintah akan lebih mudah dalam menggerakkannya untuk pencapaian pembangunan nasional. Inilah hakikat sebenarnya dari paradigma pendidikan yang “membebaskan”.
* Wakil Kepala SMAN 1 Long Mesangat Kutai Timur
Lebih jauh lagi Gus Dur berpendapat, pendidikan di Indonesia seharusnya mendasarkan diri kepada penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada anak didik sehingga hasilnya kelak akan bermanfaat untuk mendukung upaya membangun kehidupan demokrasi di Indonesia (Gatra, 2001)
Jika Gus Dur menyoroti rendahnya mutu pendidikan di negara kita dari segi moralitas pendidikan, maka lain lagi dengan pendapat Profesor Toshiko Kinosita yang lebih menyoroti output dunia pendidikan di negara kita dari sisi rendahnya potensi sumber daya manusia (SDM) yang telah dihasilkan oleh dunia pendidikan kita.
Guru besar Universitas Waseda Jepang itu mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya adalah karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting adalah karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 2002).
Dua pendapat tokoh di atas jika kita cermati ternyata memiliki keterkaitan seandainya kita membuat pertanyaan mengapa mutu pendidikan di negara kita begitu rendah. Pemerintah dalam kenyataannya sejak masa orde baru tidak menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama (meskipun akhir-akhir ini telah dimulai upaya memperbaiki dunia pendidikan di negara kita), sebab seperti dikatakan Profesor Kinosita masyarakat kita mulai dari yang awam, politisi hingga pejabatnya hanya berkecenderungan mengejar keuntungan sendiri-sendiri dan tidak pernah berfikir jauh tentang bagaimana dunia pendidikan kita ke depan.
Mengapa demikian? Barangkali pendapat Gus Dur di atas adalah jawabannya, ialah karena moralitas bangsa kita sejak dahulu tidak pernah dibiasakan berlaku adil dan jujur dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sehingga dunia pendidikan yang seharusnya menjadi lahan untuk membangun kecerdasan bangsa disalahgunakan untuk mengeruk keuntungan sendiri-sendiri (baca : Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).
Akibat dari kesemua itu, wajar saja jika dalam skala internasional mutu pendidikan kita benar-benar memprihatinkan. Bayangkan saja, dari 162 negara di dunia, indeks nasional pendidikan kita jika diukur dengan indeks pendidikan di luar negeri, Indonesia berada pada urutan ke-102 untuk skala dunia dan urutan ke-16 untuk sekala Asia, bahkan secara rata-rata mutu pendidikan di Indonesia masih di bawah Vietnam. Bandingkan dengan Malaysia, negeri jiran yang dulu banyak belajar dari negara kita, banyak mendatangkan guru-guru dan dosen dari kita, sekarang menempati urutan sekitar 50 dari 162 negara. Sementara negara-negara tetangga kita seperti Korea Selatan, Thailand dan Singapura yang dulu sejajar dengan negara kita dan perekonomiannya jatuh terpuruk mampu bangkit dan berhasil menata pendidikannya. Ini lebih karena mereka benar-benar menempatkan pendidikan sebagai sektor utama, dan karena memang mereka benar-benar memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusianya.
Contoh lain rendahnya mutu pendidikan kita adalah bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur setelah Philipina, Thailand, Singapura dan Hongkong. Berdasarkan penelitian, rata-rata nilai tes siswa SD kelas VI untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan IPA dari tahun ke tahun semakin menurun. Anak-anak di Indonesia hanya dapat menguasai 30 persen materi bacaan, bahkan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Termasuk ranking universitas, indeks pengembangan manusia dan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Dari uraian ini kita dapat mengatakan betapa sistem pendidikan kita ini memang ‘kacau’.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika kualitas ekspor sumber daya manusia Indonesia hanya sekelas TKW dan TKI. Sedangkan dari segi sumber daya alamnya, kita hanya mampu menjual kayu-kayu gelondongan dan bahan-bahan mentahnya saja. Ini akibat pembangunan pada masa lalu tidak memberikan perhatian yang besar kepada sektor pendidikan sebagai salah satu sektor yang seharusnya dibangun pada setengah abad yang lalu.
Akhir-akhir ini telah nampak pemerintah akan memberikan prioritas yang besar dalam sektor pendidikan, dan mulai menempatkan pendidikan sebagai investasi masa depan. Salah satu indikator yang dapat kita saksikan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyetujui untuk memberikan prioritas anggaran dalam sektor pendidikan sebesar 20% dari total APBN dan APBD. Dapat dikatakan, pemerintah sekarang telah mulai ‘melek’ akan pentingnya sektor pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR 2002 yang melakukan amandemen terhadap Pasal 31 UUD 1945, terdapat perubahan yang mencolok yaitu pada ayat (4) yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja. Selengkapnya bunyi Pasal 31 ayat (4) adalah, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dengan alokasi anggaran sekitar 20% itu nantinya diharapkan dunia pendidikan di Indonesia mulai bergeliat, berbenah diri dan mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara lain. Namun demikian pengalokasian anggaran yang cukup besar itu tidak berarti tanpa risiko. Ini mungkin saja terjadi pada saat muncul kebocoran atau praktek penyimpangan dalam penggunaannya, terutama bila kita lihat kesiapan daerah-daerah dalam mengelola anggaran yang cukup besar itu. Tekad Bupati Kutim, Awang Farouk (kini gubernur Kaltim) yang mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam APBD Kutim sebagaimana diamanatkan UUD adalah langkah berani dan selangkah lebih maju daripada daerah-daerah lainnya. Namun, bila langkah ini telah diikuti daerah-daerah lain, pertanyaan yang muncul adalah apakah daerah-daerah tersebut telah memiliki kesiapan yang matang untuk mengelola anggaran pendidikan sebesar itu? Akan dikemanakan anggaran sebanyak itu?
Pendidikan yang Membebaskan
Paradigma “pendidikan yang membebaskan” pada dasarnya adalah sebuah cita-cita ideal untuk membangun harkat dan martabat manusia ke arah yang lebih baik, yakni menjadikan manusia-manusia terdidik yang memiliki kemandirian dan jati diri yang utuh, mampu memecahkan berbagai problem hidup yang dihadapinya serta memiliki daya produktifitas tinggi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat dan lingkungannya. Dalam istilah yang lebih sederhana, inti daripada konsep pendidikan yang membebaskan itu adalah terwujudnya sebuah perubahan mendasar pada diri insan terdidik, baik perilaku, tingkat kesejahteraan hidup maupun idealitas pandangan hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan, sesungguhnya pendidikan merupakan sebuah ‘industri jasa perubahan’. Oleh karena pendidikan berfungsi sebagai jasa perubahan, maka seharusnya pendidikan juga dimaknai sebagai sarana ‘investasi’ untuk masa depan.
Mengapa pendidikan harus dimaknai sebagai investasi masa depan? Karena pendidikan itu sendiri adalah alat untuk mengembangkan ekonomi dan bukan sekedar menumbuhkan ekonomi. Dalam praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis dari tataran individual sampai kepada tataran yang lebih luas. Fungsi teknis-ekonomis mengarah kepada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Sebagai contoh misalnya, pendidikan dapat membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan agar manusia dapat survive dan mampu bersaing dalam kehidupan ekonomi yang makin kompetitif.
Kita dapat melihat, pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin baik pula tingkat kehidupan ekonominya. Hal ini bisa saja terjadi, sebab manusia yang lebih terdidik berkecenderungan lebih produktif dibandingkan dengan manusia-manusia yang tidak terdidik. Mengapa mereka yang berpendidikan lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk dapat hidup lebih baik? Sebab mereka memiliki keterampilan teknis yang diperolehnya dari dunia pendidikan. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan adalah pengembangan keterampilan hidup (life skill). Hal ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh para stakeholder pendidikan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Berbasis Karakter yang tengah dikembangkan di Indonesia saat ini.
Menurut data pada tahun 1992, di Amerika seseorang yang berpendidikan doktor berpenghasilan rata-rata 55 juta dollar per tahun, master 40 juta dollar per tahun dan sarjana 33 juta dollar per tahun. Sementara yang berpendidikan setingkat SLTA berpenghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Sementara itu pada tahun yang sama, di Indonesia bagi mereka yang lulusan perguruan tinggi, per tahun berpenghasilan Rp. 3,5 juta rupiah, akademi Rp. 3 juta rupiah, SLTA Rp. 1,9 juta rupiah dan SD hanya Rp. 1.1 juta rupiah per tahunnya.
Menurut Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity-nya, teori Human Capital menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya.
Dengan demikian, berdasarkan teori ini dapat dikatakan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpendidikan akan menjadi modal utama bagi pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Semakin besar suatu bangsa memiliki tenaga-tenaga yang terdidik, semakin baik terwujudnya nilai-nilai demokrasi. Hal Ini karena sumber daya manusianya memiliki keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pandangan hidup yang benar, sehingga pemerintah akan lebih mudah dalam menggerakkannya untuk pencapaian pembangunan nasional. Inilah hakikat sebenarnya dari paradigma pendidikan yang “membebaskan”.
* Wakil Kepala SMAN 1 Long Mesangat Kutai Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar