Senin, 26 September 2011

Tambatkan Hatimu pada Allah

Baru saja masyarakat Muslim melewati Idul Fitri setelah sebulan menjalani ibadah puasa. Momentum keagamaan secara semarak dirayakan di mana-mana, di desa di kota, di masjid, rumah-rumah, hingga di jalanan. Anak kecil, remaja hingga orang tua semua merasakan hari raya yang dalam bahasa Jawa disebut Bada. Bada berasalah dari bahasa Arab, ba’da yang berarti setelah. Idul fitri juga disebut dengan Lebaran, dari bahasa Jawa, lebar, artinya selesai.
Nah, apa yang dirasakan anak-anak hingga orang tua di saat lebaran? Apa yang ‘selesai’ setelah berpuasa sebulan penuh? Apa pula makna yang ingin dicapai Idul Fitri?
Hari Senin, 19 September 2011, Kontributor NU Online Magelang Sholahuddin al-Ahmed telah mewawancarai KH Yusuf Chudlori atau masyhur dikenal dengan Gus Yusuf Pengasuh Pondok Pesantren A.P.I Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana Gus Yusuf memandang fenomena bulan puasa hingga tiba Idul Fitri?
Semua seperti balas dendam dan melampiaskannya pada hari Lebaran. Selama sebulan penuh umat Islam menjalani ujian menahan diri, nafsu makan amarah dan sebagainya. Pertanyaanya sekarang, ketika masuk Lebaran yakni hari lulus ujian itu, justru yang menjadi set back. Lebaran dimaknai sebagai hari kebebasan, dan hari balas dendam. Inilah yang membuat orang justru tidak berpikir prosesnya tetapi buru-buru kepingin Lebaran.
Seperti yang terjadi saat pertengahan Ramadhan. Seharusnya ini saat untuk tekun beribadah karena ada lailatul qadar, nuzulul quran dan sebagainya. Tetapi justru masyarakat justru sudah mikir kebutuhan Lebaran. Sudah mulai ribut ngurusi baju baru dan berbagai pernak-pernik lainnya, untuk keluarga. Bagi masyarakat yang tinggal di ibu kota seperti Jakarta apalagi berpenghasilan besar, tentu lebih heboh lagi mempersiapkan pulang kampung membawa segudang oleh-oleh untuk keluarga dan tetangganya. Jika dirinci satu bulan penuh waktunya habis untuk mempersiapan parcel, baju, angpau dan hidangan. Kemudian kapan beribadahnya?
Sebetulnya bagaimana kaitan Ramadhan dengan Idul Fitri?
Yang dinamakan Id dalam Idul Fitri itu kembali kepada kemenangan. Laisal ied liman labisal jadid. Tidaklah dikatakan Idul Fitri bagi orang orang yang hanya berpakaian baru. Wa la kinnal ied liman taqwahu yazid, tapi orang-orang yang bisa meningkatkan ketaatannya kepada Allah.
Efek puasa seharusnya membuat manusia semakin istiqomah dalam ibadah, dan jujur. Ketika puasa kita harus jujur kepada Allah. Puasa tidak puasa anak istrimu tidak akan tahu, tapi Allah akan tahu.
Kejujuran nilai spiritual yang terbangun selama bulan suci, membekas di bulan Syawal dan satu tahun mendatang. Baik itu kejujur pada Allah, dirinya sendiri, dan masyarakat. Setelah berpuasa orang juga diharapkan lebih manusiawi. Lebih punya empati kepada sesama. Karena puasa itu melatih merasakan lapar dahaga. Luwih nduwe perasaan, memanusiakan manusia. Sebelum melangkah atau bersikap, kita mesti berpikir, apakah perbuatan atau sikap itu merugikan orang lain.
Tapi sekarang kayanya terbalik, saat Lebaran justru manusia memikirkan dirinya sendiri. Sing penting iso tuku klambi anyar, sing penting pangananku enak-enak, sementara kanan kiri masih banyak orang yang susah. Itu berarti orang yang tidak lulus ujian.
Apa sih Gus, makna Syawal?
Rasulullah tanggal satu  Syawal shalat Id kemudian pulang, makan seadanya. Setelah itu tutup semua pintu. Tanggal dua syawal mulai puasa lagi sampai enam hari. Setelah itu baru dikatakan selesai penuh. Jadi ibaratnya, motong kambingnya di sana itu ya  tanggal 7 syawal.
Nah di tanggal dua Syawal hingga tanggal tujuh itu masih puasa, meski ya sunah. Karena sesungguhnya Rasulullah memberi penyadaran, saat Ramadhan iblis dan setan dibelenggu. Lalu tanggal satu Syawal pintu neraka dibuka kembali. Di situ, setan sedang semangat-semangatnya. Lagi nafsu-nafsunya setelah cuti satu bulan menggoda manusia. Bagi Rasulullah ini bahaya. Maka jangan berhenti kamu puasa. Jika kita tetap puasa tanggal dua Syawal setan-setan yang menggoda akan kecele.
Bukan orang Indonesia kalau tidak gemebyar dalam menyambut Syawal dengan sederet acara. Silahturahim itu memang baik itu forum untuk saling memaafkan, tapi dengan hidangan berlebihan dan menggelar pesta yang mewah. Jadi ada paradoks.  Kemudian Lebaran juga dijadikan momentum masyarakat mengunjungi tempat wisata. Hampir semua objek wisata selama libur Lebaran tak pernah sepi pengunjung, nilai lebaran telah bergeser ke ranah suka-suka.
Indonesia punya tradisi halal bi halal dan macam-macam upacara pasca Lebaran. Ini tradisi apa?
Indonesia memang unik, seperti saat Lebaran kita punya tradisi halal bi halal. Konsep halal bi halal itu memang bagus, karena puasa hanya menghapuskan dosa manusia kepada Allah. Sementara dosa-dosa terhadap manusia ini tidak akan dihapuskan oleh Allah manakala belum ada iqror, atau komunikasi saling memaafkan.
Esensi dari halal bi halal kan di situ sebenarnya. Tetapi ketika harus dipaksakan halal bi halal di restoran, hotel atau tempat tempat mewah, atau pamer, itu mengingkari makna dari halal bi halal itu sendiri. Berapa rupiah yang dihabiskan untuk hanya sebuah acara halal bi halal, padahal di sekeliling kita masih banyak orang miskin. Halal bi halal itu tujuannya untuk kembali suci, kembali bersih, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
Bagaimanakah tradisi bermaaf-maafan zaman Rasullulah?
Sebenarnya kalau ajaran Rasulullah, untuk meminta maaf itu tidak harus menunggu Ramadhan. Begitu salah harus minta maaf. Bahkan sebelum masuk Ramadhan kita disunahkan untuk saling memaafkan. Tapi okelah tidak ada yang salah dengan halal bi halal, itu menyempurnakan puasa kita. Tapi sekarang tradisi itu kian bergeser. Zaman saya kecil, tanggal satu sampai tujuh Syawal itu tidak boleh main. Saya dikasih daftar, tanggal satu sowan mbahmu, tanggal dua sowan pak likmu Grabag, Muntilan, tanggal tiga sowan kyai A B C. Dikasih daftar absen. Baru setelah tanggal 7 Syawal selesai, kita bebas mau main ke mana.
Sekarang salaman cukup di masjid, tanggal 2 sudah sampai tempat wisata. Seiring dengan arus global dalam hal ini media juga ikut andil. Lebaran, puasa itu menjadi industri. Semua memanfaatkan momentum itu. Bagaimana semua berlomba-lomba memanfaatkan momentum itu untuk mendapatkan keuntungan material. Momen keagamaan dikapitalkan menjadi industri, ditata sedemikian rupa menawarkan produk untuk menjerat konsumen.
Pada awal puasa, di televisi para dai mempromosikan keagungan bulan Ramadhan, tetapi muncul selingan iklan dalam acara bersamaan menawarkan minum suplemen, obat maag, obat ini itu, semua lah, momen keagamaan bisa mereka pakai. Bagaimana masyarakat menyikapi semua ini agar tak terjebak pada pola hiduk konsumerisme. Menambatkan hati pada Allah sebagai penawar gebyarnya dunia.
Dunia industri masuk jauh ke ranah ibadah. Komentar Anda?
Komersialisasi momen Ramadhan dan Lebaran luar biasa, dan sudah bersaing ketat dengan ketaatan ibadah. Di akhir-akhir Ramadhan ini kan perang itu semakin tampak. Rasullulah sudah mengingatkan bahwa dalam Ramadahan ada lailatul qadar, yakni bulan yang lebih suci daripada seribu bulan. Qiyamul lail, di malam hari terjaga kamu akan mendapatkan pahala sebagaimana kamu ibadah selama seribu taun. Maka banyak-banyaklah beribadah malam.
Nah ini perang dengan diskon yang ditawarkan departement store. Paket Lebaran ini itu. Nah ini tinggal kita, mau tertarik tawaran promosinya Rasulullah atau promosinya pasar? Gitu kan? Terbukti kalau tengah Ramadhan ke atas itu kan masjid-masjid mulai maju. Maju shafnya maksudnya. Kemanakah mereka?
Mereka mulai thawaf ke mall, itikafnya ke pusat perbelanjaan. Ritual-ritual konsumerisme yang disambut suka cita. Dan sekarang pengelola mall juga pintar. Ada night sale, itu kan nyaingi lailatul qadar. Buka sampai jam 24.00-01.00, dan kalau mau belanja malam dikasih diskon yang lebih besar. Sama saja menyaingi ajaran Rasulullah, kalau kamu tengah malam ke masjid pahalamu bertambah. Sekarang kalau ada begini ini orang mau ke masjid jam berapa? Tarikan pasar itu luar biasa.
Jadi Ramadhan kita lebih marak secara badani ketimbang rohani?
Kita harus ingat catatan bahwa selama Ramadhan setan dan iblis dibelenggu. Kalau manusia lebih memilih ke mall daripada ke masjid itu bukan salah setan. Itu pribadi Anda sendiri, jangan salahkan setan. Maka Ramadhan dikatakan sebagai ajang untuk melihat sifat dan karakter asli manusia. Kalau Anda suka hedonis ya begitulah, kalau suka ibadah ya begitulah.
Maka satu bulan Ramadhan ini menjadi penentu dari satu bulan yang ada. Kalau satu bulan Ramadhan baik maka 11 bulan ke depan akan baik.
Sebaliknya, kalau sebulan ini rusak yo pancen aslimu kaya ngono kuwi. Puasa-puasa masih korupsi, masih selingkuh, ya memang itu aslimu. Maka orang sering bertanya kenapa kok Ramadhan masih ada kemaksiatan? Ya memang aslinya manusia begitu.
Apa yang harus dilakukan santri menghadapi peristiwa keagamaan macam ini?

Menjaga tradisi silaturahim masyarakat. Kita jaga agar tidak lepas ke tempat hiburan-hiburan itu. Kalau di Tegalrejo kita punya satu Syawal. Saat itu masyarakat pulang dari masjid terus kumpul di pendapha setelah itu kita muter. Silaturahim dari rumah ke rumah, ada 140 rumah. Mulai dari pagi sampai sore. Dari orang kaya sampai orang miskin kita masuki. Maksudnya mengeratkan dan mendekatkan sesama. Dengan hidangan dan minuman pedesaan, ala kadarnya. Tak ada yang mewah seperti orang kota. Justru inilah sebagai satu pembelajaran bagi kita. Betapa sederhananya orang desa, apapun yang dipunya diberikan kepada tamunya.
***
Orang-orang kota perlu belajar dari orang desa, soal kesederhanaan dan kejujurannya. Jika di meja makan ada ayam opor, pastilah tamu yang datang itu makan sama seperti yang di makan tuan rumah, tak ada yang ditutupi dan disembunyikan. Itulah keramahan desa dalam menyambut lebaran dengan penuh kesederhaan.
Gus Yusuf lahir di Magelang pada 9 Juli 1973. Ia putra dari KH Chudlori (W 1977) pendiri pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang yang didirikan pada tahun 1944. Saat ini, selain menjadi salah satu pengasuh lebih dari 3500 santri, ia aktif di masyarakat, memberikan pengajian pergi ke kampung-kampung atau lewat radio yang didirikannya, Fast FM.
Gus Yus dikenal sebagai pribadi yang bersahaja dan punya pededulian yang tinggi pada masyarakat dan segenap kebudayaannya. Tegalrejo, tiap tahunnya menjadi arena para seniman berkreasi, jadi Tegalrejo bukan hanya tempat santri mengaji.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar