ALI WAFI
Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri ? Atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariyah dan free will yang diwakili Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan. Apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk ?
1. PERBUATAN TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu'tazilah
Aliran Mu'tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk, karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.[1] Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu'tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah QS. Al-Anbiya ayat 23,[2] dan QS. Ar-Rahman ayat 8.[3]
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu'tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang balls dan Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. la menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu ?[4] Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andai kata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa la menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.[5]
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu'tazilah untuk berpendapnt bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia.[6] Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu'tazilah memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini.
a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau la memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.[7]
b. Kewajiban mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu'tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib. Mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus, diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia -ngan cars mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.[8]
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu'tazilah. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.[9]
2. Aliran Asy'ariyah
Menurut aliran Asy'ariyah faham kewajiban Tuhan berbuat baik bagi manusia (ush-shalah wa al-ashlah), aliran Asy'ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana dikatakan Al Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Menurut faham Asy'ariyah perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia. Ditinjau dari sudut faham ini pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy'ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tidak terbatas.
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits. Disini timbul persoalan bagi Asy'ariyah karena Al-Qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang bebrbuat jahat akan masuk neraka.
Untuk mengatasi hal ini, kata “man, alladzina” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Asy'ariyah “bukan semua orang tetapi sebagian." Dengan demikian kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”, mengandung arti bukan seluruh., tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy'ariyah mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.[10]
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.[11]
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy'ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji dan ancaman-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[12]
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidivah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata. Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy'ariyah. Pengiriman rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu'tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul.[13]
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran Asy'ariyah. Menurut mereka, tidak mungkin Tuhnn melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang, berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampunan kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke dalam surga, dan jika la berkehendak untuk memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada seseorang tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.[14]
Uraian Al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan, mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa "Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy'ariyah, sebagaimana diketahui Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Sebaliknya, menurut Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.
2. PERBUATAN MANUSIA
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh Tuhan ? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?
1. Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.[15]
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi ayat 29:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (الكهف: 29(
Artinya: Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. (QS. Al-Kahfi : 29)
Dalam surat Ar-Ra’d ayat 11 disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد : 11)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q S. Ar-Ra’d : 11)
3. Aliran Mu'tazilah
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu'tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu'tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan. Dengan faham ini, aliran Mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi unluk mengubah bentuknya.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya antara penganut Qodariyah murni.
Untuk membela fahamnya aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat sebagai berikut:
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ ÇÐÈ
Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya. (QS. As-Sajadah : 7)
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.[16] Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan itu adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
Disamping argumentasi nagliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini.
a. Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para Nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi dengan kebebasan pilihan.
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu'tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada due macam. Pertama, adalah al-ajal ath-thabi'i, ajal inilah yang dipandang Mu'tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun ajal yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy'ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk meljelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri aliran Asy'ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan itu. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[17]
Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk meljelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri aliran Asy'ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan itu. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[17]
Argumen yang yang diajukan oleh Al-Asy'ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya: Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. (Q.S. Ash-Shaffat : 90)
Wama ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian ayat inio mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Pada prinsipnya, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptkan Allah, sedan gkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Jadi perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusi dibarengi oleh daya kehendaknya dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dcngan faham Maturidiyah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand ialah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinyalebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
[2] لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya).
[3] مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ (Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar).
[6] Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut ash-shalah wa al-ashlah. Term ini dalam golongan teologi Islam dikenal dengan term Mu'tazilah, dan yang dimaksud adalah kewajibanTuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu kewajiban yang penting bagi aliran Mu'tazilah.
[7] Harun Nasution. Op.cit hlm. 129.
[9] Ibid, hlm. 132-133
[10] Harun Nasution. op.cit , hlm. 133
[11] Yusuf, op.cit. hlm.91.
[12] Ibid,, op.cit. hlm.128.
[13] Harun Nasution. hlm. 132
[14] Ibid, hlm. 133
[15] Yusuf, op. cit,. hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar