Senin, 26 September 2011

Mendamba Kebangkitan Universitas NU

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

“Seandainya Indonesia tidak dijajah kaum kolonial, maka lembaga pendidikan yang akan berdiri di Indonesia adalah Kampus Tebu Ireng, Kampus Lirboyo, Kampus Kajen, dan sebagainya” (Nurcholis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren, 1982).

Anasir yang dikemukakan almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) menjelaskan bahwa sejatinya kampus yang semestinya lahir di Indonesia adalah kampus yang mengakar kuat dengan tradisi keilmuan yang menancap dalam kebudayaan Indonesia. Sebagaimana di Amerika Serikat dan negara Eropa, kampus-kampus bergengsi seperti Harvard, Yale, dan sebagainya merupakan kampus yang berawal dari “kampus kecil” yang dikelola para pendeta/tokoh agama. Kampus itu kemudian dipatenkan negara, karena nilai historisnya memberikan inspirasi dan motivasi bagi para pembelajar di kemudian hari. Terbukti, kampus-kampus di Barat kemudian menjadi “kampus raksasa” yang selalu berada di posisi teratas dalam rangking mutu kampus dunia.

Pernyataan almarhum Cak Nur bukanlah untuk menyesali kampus yang berdiri sekarang. Cak Nur ingin membangunkan warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai pewaris tradisi berpesantren untuk bangkit dalam meningkatkan kualitas keilmuannya. Tak lain karena pesantren merupakan lembaga pendidikan paling genuine, mengakar kuat dalam kebudayaan Indonesia, terbukti mampu mencetak kader yang berperan penting bagi Indonesia, dan saat perjuangan kemerdekaan, pesantren merupakan “penjaga gawang” Indonesia yang menggerakkan para pejuang untuk melawan penjajah. Ingatlah Resolusi Jihad Kiai Hasyim Asy’ari yang mewajibkan umat Islam melawan penjajah, sehingga akhirnya meletus pertempuran 10 November 1945, yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Pemikiran inilah yang harus direfleksikan pengurus dan warga NU menjelang usianya yang hampir seabad. NU mempunyai tanggungjawab sosial untuk menjawab berbagai persoalan mutakhir yang riuh dengan arus teknologi dan informasi global. Pesantren sebagai lembaga pendidikan sebenarnya sudah banyak menjawab persoalan dewasa ini, khususnya terkait masalah moral dan akhlak yang merupakan inti kehidupan berbangsa. Tetapi dalam persoalan yang lainnya, peran pesantren terasa belum maksimal, karena kader-kadernya berperan terpencar. 

Dalam usia jelang seabad, sudah sewajarnya kalau NU harus mempunyai universitas sendiri yang bergengsi dan bertaraf internasional. Kampus-kampus yang berkembang di pesantren selama ini hanya berkisar dalam persoalan agama saja, itupun lingkupnya sederhana sekali. Impian mendirikan universitas harus dipajang dalam diri petinggi NU, sehingga lahir terobosan-terobosan besar untuk membuka kran peradaban NU yang bervisi internasional. Universitas NU merupakan harga mati, sehingga potensi-potensi besar yang ada dalam diri warga NU bisa lahir dan berkembang dalam rahimnya sendiri.

NU sepatutnya boleh “iri” (dalam konteks berlomba meningkatkan kebaikan) dengan Muhammadiyah. Hampir setiap provinsi, Muhammadiyah mempunyai universitas. Bahkan tidak sedikit di berbagai kabupaten juga berdiri universitas Muhammadiyah. Kemegahan universitas-universitas Muhammadiyah bahkan hampir bisa sejajar dengan kampus negeri ternama di Indonesia. Sebutlah misalnya Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh), dan sebagainya. Kampus-kampus bergengsi itu dalam beberapa  perlombaan bisa bersaing sejajar dengan UI, UGM, Unair, Undip dan sebagainya.

Dalam konteks berlomba meningkatkan kebaikan (fastabiqul khairat) sangat tepat bagi NU untuk meniru Muhammadiyah. Ternyata, Muhammadiyah juga meniru dengan mendirikan pesantren di sekitar kampus-kampusnya. Muhammadiyah akhirnya juga merasakan manfaat pesantren bagi kader-kadernya. Berlomba dalam mendirikan sesuatu yang berguna dan bermanfaat merupakan jejak manusiawi yang sudah melekat dalam sejarah panjang manusia. Peradaban Barat bisa maju pesat sekarang ini karena mereka juga meniru apa yang telah dihasilkan peradaban Islam, Romawi, Persia, China dan sebagainya. Mereka tidak malu melakukan inovasi dan pembaharuan, justru itulah ruh yang menjadikan Barat tampil gemilang dalam pengetahuan dan teknologi.

Ada beberapa hal yang membuat NU sulit mendirikan universitas. Pertama, pengelolaan organisasi NU sendiri masih belum tertata rapi. Kedua, para kiai sendiri lebih dominan dalam memikiran pesantrennya, sehingga yang berdiri adalah sekolah tinggi berbasis di pesantren. Ketiga, kurangnya persatuan pemimpin NU sendiri untuk mendirikan universitas. Banyak pemimpin NU yang hebat, tetapi ketika disatukan dalam satu visi dan gerakan, seringkali “gagal”. Keempat, banyak yang lalai bahkan tidak sadar bahwa pesantren merupakan universitas pertama yang berdiri di Indonesia. Yang terakhir merupakan sinyalemen yang diuraikan Cak Nur di atas.

Dari problem inilah, menarik yang dilakukan Prof Kiai Yudian W. Asmin yang mendirikan pesantren Pasca Sarjana Nawesea di Yogyakarta. Kiai Yudian menajamkan santrinya tidak hanya berbahasa Arab, tetapi juga berbahasa Inggris. Kiai Yudian berharap santrinya bisa melakukan jihad ilmiah dengan menaklukkan kampus-kampus bergengsi dunia. Kiai Yudian menjadikan spirit Iqra! (membaca) dan menulis sebagai pendobrak awal untuk memulai sebuah petualangan intelektual. Spirit Iqra! pula yang telah dibuktikan Yudian melakukan pengembaraan intelektual dengan mengkhutbahkan Islam di berbagai penjuru benua, mulai Eropa, Australia. Afrika, dan Asia. Iqra!, sekali lagi, merupakan “pengantar” menuju pencerahan bagi peradaban umat manusia.   

Jihad ilmiah dengan menegakkan peradaban ilmu dan mendirikan universitas bertaraf internasional merupakan tantangan paling riil pimpinan dan warga NU sekarang ini. Sejarah NU hari ini bisa dicatat dalam lembaran sejarah dunia kalau NU mampu mendirikan bermutu internasional, sehingga manfaatnya benar-benar bisa mengubah jarum jam peradaban umat manusia. Bukanlah kurikulum pesantren yang sudah diajarkan para pendiri NU merupakan kurikulum bertaraf internasional dengan berkiblat kepada Timur Tengah, mengapa generasi penerus tidak melanjutkan internasionalisasi tersebut?

*Alumnus Pesantren Ali Maksum Yogyakarta, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar