Dewasa ini muncul kembali golongan yang menganggap semua bid’ah itu sesat meskipun itu baik bagi kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Tulisan-tulisan mereka banyak beredar di internet, stan-stan Islam Book Fair, bahkan di facebook pun mereka memiliki grup “SEMUA BID’AH SESAT”. Tapi kadang mereka kurang konsisten, disatu sisi mereka mengatakan semua bid’ah sesat tanpa kecuali, tapi disisi lain mereka membagi bid’ah menjadi dua, yaitu dalam urusan dunia dan agama. Mereka mungkin tidak pernah melihat sejarah, bahwa pada masa Rasulullah al-Qur’an belum dibukukan, baru disatukan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar yang kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan yang dikenal dengan nama mushaf Utsmani. Ayat-ayat al-Qur’an pada masa Rasulullah dan masa Khulafaurrasyidin belum ada titik (nuqtah), syakal (harakat) seperti sekarang, akan tetapi setelah Islam menyebar ke berbagai bangsa barulah ayat-ayat al-Qur’an diberi titik, harakat supaya orang-orang Non-Arab atau orang Arab yang tidak pernah mendengar dari Rasulullah tidak salah dalam membacanya. Pemberian syakal, titik pada ayat-ayat al-Qur’an dilakukan pada masa khalifah Bani Umaiyah yang bernama Abdul Malik bin Marwan (70 H). Apakah semua itu dikatakan bid’ah sesat karena Rasulullah tidak pernah melakukannya????
Berikut ini adalah pendapat para imam dan muhadditsin tentang bid’ah:
1. Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i rahimahullah(Imam Syafii). Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al-Imam Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017).
Dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al-Muhaddits Al-Hafidh Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid’ah yang Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah Ku pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan Jin dan manusia keseluruhannya”. (QS. As-Sajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh As-Suyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka???, berdasarkan apa pemahaman mereka???, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits???, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar