1. Riwayat Hidup K.H.Muhammad
Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari
lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang,
Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari
ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd.
Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al
Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[1]
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja
Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim
Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.[2]
Ibunya, Halimah
adalah putri dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi,
ayah Hasyim adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya
karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu
dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai
terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad
ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah,
Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan
pesantren inilah Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima
tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren
Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama
santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri
mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam.
Suasana ini tidak
diragukan lagi mempengaruhi karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin
belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku
pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan
umum.
Pada tahun 1876,
ketika Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah
Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau
untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa
kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam
pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada
pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan
ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia
masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari
umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit
ke dalam kandungannya.[3]
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab
ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13
tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di
pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya
sendiri. Serta di kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya
di berbagai bidang.
Pada usia muda
Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di luar
daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di
Probolinggo, kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan
santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga
pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai
Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama
di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai
akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang
bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama
kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang
dilanjutkan dengan belajar di sana.
Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim memahami
pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena
melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah air.
Rasa haus yang
tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah
suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia
menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di
antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid
Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[4]
Minatnya begitu
tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits dan tasawuf. Hal ini
yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan hadits dan tasawuf.
Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang
lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang
kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun
1899/1900 ia kembali ke Indonesia
dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa
waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari
Kemuning (Kediri)
yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu
mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren
sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6
Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama
berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat
menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sejak masih di
pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri baru. Ketika di Mekkah, ia
juga sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya
seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para
santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah).
Hasyim Asy’ari
meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di
Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini
terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo
bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke
Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta
banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu,
sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[5]
2. Karya K.H. Muhammd Hasyim
Asy'ari
Tidak banyak para ulama
dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan
Hasyim Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain:[6]
1. Adab al Alim wa al Muta’allim fima
Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi
Maqamat Ta’limih.
Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan
pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin
Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh
Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab,
diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab
terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad
al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid
Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan
bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin
Sa’id al-Yamani.
2. Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat
al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah
Nahdhatul Ulama.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara
Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak
pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di
Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
3. Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al
Maulid al Munkarat
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri
dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam
Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren
sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti
bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda
gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama
al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari
15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng,
cetakan pertama tahun 1415 H.
4. Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha
Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. . Risalah Ahl Sunnah Wal
Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat,
serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5. Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al
Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man
Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para
rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati,
meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi
singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat,
ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H.,
terdiri dari 29 bab.
6.
Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam
Zakaria al Ansyari.
7. Al Duur al Muntasirah fi Masail al
Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq
bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan
19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab
sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah
Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara
Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan
kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
8. Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al
Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi tentang tata cara
menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17
halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah
Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
9.
Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah
wa al Jamaah.
10.
Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
11. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf;
penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan
bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi
kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama
dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak
bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta
dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh
syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai
ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
Selain kitab-kitab
tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Muhammad Hasyim
Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1.
Al-Risalah al-Jama’ah
2. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
3. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
4. Manasik Shughra
Di samping
bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri
organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais
Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah
Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda.
Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan
menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia
sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerta.[7]
3. Pemikiran Hasyim Asy’ari
Dalam Bidang Pendidikan
Hasyim Asy’ari
yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak
menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan
pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau
selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya
dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya
monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya
yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi
Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam
penulisan ini kami tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak
mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.
Pembahasan
terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam
pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara
pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan
bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat
kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu :
pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau
menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan
niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran
beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah
sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang
mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut
Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan
manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya
untuk sekedar menghilangkan kebodohan.[8]
Pendidikan
hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi
penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi
oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma
Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab
Murid
1) Etika yang
harus diperhatikan dalam belajar
-
Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
-
Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
- Pandai
mengatur waktu
-
Menyederhanakan makan dan minum
-
Berhati-hati (wara’)
- Menghindari
kemalasan
-
Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
-
Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[9]
Dalam hal ini
terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau
pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan,
khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan
minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah
Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan.
Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika
seorang murid terhadap guru
- Hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan guru
- Memilih guru yang wara’
- Mengikuti jejak guru
- Memuliakan dan memperhatikan
hak guru
- Bersabar terdapat kekerasan
guru
- Berkunjung pada guru pada
tempatnya dan minta izin lebih dulu
- Duduk dengan rapi bila
berhadapan dengan guru
- Berbicara dengan sopan dan
lembut dengan guru
- Dengarkan
segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
- Gunakan
anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.[10]
Etika seperti
tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini,
akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di
tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh
murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya.
Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal
ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional,
memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3) Etika murid
terhadap pelajaran
-
Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
-
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
- Mendiskusikan
dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
- Senantiasa
menganalisa dan menyimak ilmu
- Bila
terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
- Pancangkan
cita-cita yang tinggi
- Kemanapun
pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
- Pelajari
pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
-
Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[11]
Penjelasan
tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang
selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru
satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak
duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran
yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif.
Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat
para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut
senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau meminta umat Islam
untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu
kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan
yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata.
Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak
boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad.[12]
c. Tugas Dan Tanggung Jawab
Guru
1) Etika
seorang guru
- Senantiasa mendekatkan diri
pada Allah
- Takut pada Allah, tawadhu’,
zuhud dan khusu’
- Bersikap tenang dan
senantiasa berhati-hati
- Mengadukan segala persoalan
pada Allah
- Tidak menggunakan ilmunya
untuk meraih dunia
- Tidak selalu memanjakan anak
- Menghindari tempat-tempat
yang kotor dan maksiat
- Mengamalkan sunnah Nabi
- Mengistiqamahkan membaca al-
Qur’an
- Bersikap ramah, ceria dan
suka menabur salam
- Menumbuhkan semangat untuk
menambah ilmu
- Membiasakan
diri menulis, mengarang dan meringkas.[13]
Catatan yang
menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang
ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir,
dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada
masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya
kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya
pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan
beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali
oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan
hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan
diri untuk menulis.
2) Etika guru
dalam mengajar
- Jangan
mengajarkan hal-hal yang syubhat
- Mensucikan
diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
- Berniat
beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
- Biasakan
membaca untuk menambah ilmu
- Menjauhkan
diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
- Jangan
sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
- Usahakan
tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
-
Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang
dimiliki
- Menasihati
dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
- Bersikap
terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
- Memberikan
kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksudkan
- Beri anak
kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.[14]
Terlihat bahwa apa
yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang
ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah
yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri
ini.
Terlihat juga
betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang
guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi
juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran
Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru
bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya
sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan
menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru
bersama murid
- Berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu
- Menghindari ketidak ikhlasan
- Mempergunakan metode yang
mudah dipahami anak
- Memperhatikan kemampuan anak
didik
- Tidak
memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
- Bersikap terbuka, lapang
dada, arif dan tawadhu’
- Membantu memecahkan
masalah-masalah anak didik
- Bila ada anak
yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.[15]
Kalau sebelumnya
terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung
jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau
berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya
tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari
sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan
dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang
bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga
harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara
individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada
minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat
Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi
pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi
di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk
dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d.
Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
Satu hal yang
menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam
ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan.
Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan
seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan
yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi
bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu
diperhatikan.
Di antara etika
tersebut adalah:
-
Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
- Merelakan
dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi
peminjam menjaga barang pinjamannya
- Memeriksa
dahulu bila membeli dan meminjamnya
- Bila
menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalinya dengan basmalah,
sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan
shalawat Nabi.[16]
Kembali tampak
kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk beluk
proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu
proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan,
apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan
atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu
adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih
dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat
dan membawa berkah.
Pemikiran seperti
yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa
sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning”
yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang
biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang
bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat
perhatian.
Demikian sebagian
dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya
pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah
dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa
tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang
dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu
kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu
tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “Tercapainya kemampuan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[17]
Dan senada pula dengan pendapat Ahmad D. Marimba bahwa, “pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[18]
Begitu juga
pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai niat orang orang yang menuntut ilmu dan yang
mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya meluruskan niatnya lebih dahulu, tidak
meng-harapkan hal-hal duniawi semata, tapi harus niat ibadah untuk mencari
ridha Allah. Demikian juga dengan al Ghazali yang berpendapat bahwa tujuan
murid menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan
batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat yang utama. Dan janganlah
menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan, atau untuk
mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan tetapi tujuan utama
adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru al-Ghazali lebih keras,
bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.[19]
Mengenai etika
seorang murid yang dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat
al-Ghazali yang mengatakan “hendaknya murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan
budi dari sifat-sifat tercela, seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati,
takabur, ujub dan sebagainya”.[20]
[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002,) h.152.
[2] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama,
Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h.14.
[3] Ibid, h.16.
[4] Ibid. h.18.
[6] Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 141
[7] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., h.54.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., h.155-157.
[9] Ibid., h.158.
[10] Ibid, h.159.
[11] Ibid., h.161.
[13] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., 162.
[14] Ibid., h. 163-165.
[15] Ibid., h.165-166.
[16] Ibid., h.167-168.
[17] Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi
at Tarbiyah ‘ind
al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan,
(Semarang: Toha Putra, 1975), h.18.
[18] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: al Ma’arif, 1989), h.19.
[19] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam,
(Bandung: Bulan Bintang, 1979), h.167.
[20] Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa, (Yogyakarta: UKIS, 1999). h.135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar