- TENTANG KH WAHID HASYIM
KH
Wahid Hasyim Adalah salah salah satu putra dari pengasuh pondok
pesantren tebuireng atau pendiri organisasi terbesar di Indonesia
(nahdlatul ulama), al maghfurlah hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Selain
mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, KH Wahid Hasyim juga belajar
di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun,
setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan
anak-anak seusianya. Sebagai anak tokoh, KH Wahid Hasyim tidak pernah
mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Selain
ketidakminatanya, melainkan juga soal kenggananya untuk mengabdi pada
belanda yang telah membakar pesantren ayahnya pada tahun 1913[1] serta membodohkan masyarakat Indonesia melalui kebijakan politisnya.
.
Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri
kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. KH Wahid Hasyim mendalami
syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai
maknanya dengan baik. Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan,
Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Sepulang dari Lirboyo, KH
Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi
memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya, pilihan tinggal di rumah
dibiarkan saja, karena KH Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri
bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat
belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak.
Kegemaran dalam dunia pendidikan, pada usia 10 tahun, beliau sudah
berkelana dari satu pesantren kepesantren lainya. Karena ghirah intelektualnya, pada usia 17 tahun beliau bertolak ke mekkah[2].
Pada dasarnya, cerminan kecintaan pada dunia pendidikan tidak lepas
peran lingkungan pesantren yang di asuh ayahnya, karena pesantren
tebuireng menjadi basis perintis pendidikan islam di Jawa Timur[3].
Sehingga kecintaan KH Wahid Hasyim dalam memproduksi pola pikir yang
kontruktif mulai di tampakan disaat awal mula kecintaan beliau pada
pendidikan sampai beliau pulang dari mekah dengan mencoba
menkolaborasikan kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan umum
dengan mendirikan madrasah salafiyah yang dipimpin oleh KH Ilyas dengan
mengkolabosarikan kurikulum umum. Diantaranya.
1. Membaca menulis huruf latin
2. Bahasa Indonesia
3. Mempelajari ilmu bintang dan falak
4. Ilmu bumi dan sejarah Indonesia.[4]
Sehingga
kurikulum yang ditampilkan dalam system pendidikan di pesantren
tebuireng pada saat itu menggunakan sistemasisai kurikulum zaman romawi[5]yang dapat menguatkan aspek-aspek fitrah keagamaan kemampuan actual yang mengarah pada suatu kebaikan[6]
- FALSAFAH PENDIDIKAN
Filsafat adalah ushul dari ilmu, berupa kolektifitas keajaiban hidup yang tidak terbayangkan oleh imajinasi dan akal[7], karena filsafat berupa kebijaksanaan tatanan kehidupan yang ideal dalam kehidupan manusia[8], keterapan dalam keadilan kemaslhatan
bersama. Sehingga keberadaan filsafat menjadi titik temu arus disiplin
ilmu yang saling bersinggungan di setiap system tata kehidupan yang
teoritis ke ranah aplikatifnya.
Pendidikan
adalah fitrah dalam mendewasakan intelektual, spiritual
humanis-illahiyah dalam kehidupan di dunia, sehingga dalam pendidikan
itu sendiri mampu menyadarkan setiap insane dalam mewujudkan khalifah
pribadi yang santun dengan alam (habluminal ‘alam), humanis (habluminanas), ketaqwaan vertikal (habluminalloh), serta etika life long education (habluminall ‘ilmi).
Sehingga Filosofis pendidikan islam mewujudkan nilai-nilai idealisme
aplikatif dalam mewujudkan Pendidikan nasional yang berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak[9]
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab[10].
Secara hakekat epistemologi-paradigma sistemik, menurut imam
al-ghozali. Bahwa pendidikan, seharusnya pencapaian sebuah keilmuan
dengan tujuan mendekatkan diri kepada ALLOH SWT. Disisi lain, juga
perlunya Pendidikan yang lebih menekankan pada internalisasi afeksi,
dengan mempertebal keyakinan dan memberikan bekal life skill
dalam menjalani kehidupan didunia. Sehingga unsuritas pendidikan dapat
di aplikatifkan secara tepat guna sesuai dengan ketrampilan masing
masing. Hal ini, tentunya tidak lepas dari paradigma setiap individu
dalam memberikan deskriptif-analisis makna pendidikan itu sendiri,
sehingga lebih populer bahwa pendidikan adalah kebijksanaan.
Namun,
Filosofisitas pendidikan masih dalam kadar harapan sacral untuk dicapai
yang telah dikontruksikan sebuah rumusanya dalam mimpi bersama
tersuratkan dalam hukum yuridis. Pencapaian nilai-nilai yang aplikatif,
pada dasarnya masih menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan
menimbulkan dualisme pembelajaran.
- PENDIDIKAN DI PESANTREN
Pesantren adalah subkultur[11]
lembaga pendidikan islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahaanan umat islam, pusat dakwah serta pusat pengembangan
masyarakat muslim di Indonesia. Istilah pondok pesantren pertama kali
dikenal dijawa, di aceh dikenal dengan rangkah dan dayah, di Sumatra
barat dengan surau[12].
Pada dasarnya keberadaan pesantren sebagai cerminan basis pendidikan
masyarakat yang mengacu pada aktualisasi cultural yang humanis-kultural
dengan menampakan eksistensi tradisi keislaman disetiap wilayahnya
masing-masing, sehingga sifat religiusitas pesantren tidak
ke-arab-araban, melainkan menyesuaikan dengan kultur budaya dengan
masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pesantren lebih dikenal sebagai
pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Sidney johns menyatakan bahwa
“pesantren were also the first schools to provide education to the indigenous population with no acces to western-type schools[13].”
Dengan
jelas sekali Sidney johns memberikan statement bahwa pesantren salah
satu pendidikan yang diberikan kepada masyarakat asli tanpa akses
sekolah-sekolah barat. Secara operasionalnya, dalam penelitian ini,
pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang memberikan sebuah
khasanah keislaman sesuai dengan adaptasi tradisi masyarakat asli dimana
pesantren itu berada. Sehingga cerminan kemandirian, kegotong royongan,
humanisasi dari pesantren tetap melekat pada setiap insane untuk mampu
mewujudkan masyarakat madani.
- PERAN KH WAHID HASYIM DALAM PENDIDIKAN
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa KH wahid hasyim selain sebagai salah satu ulama dan putra ulama al-maghfurlah hadratus syaikh
KH Hasyim Asy’ari serta kecintaanya dalam dunia pendidikan, beliau juga
dikenal sebagai seorang tradisionalis nahdlatul ulama yang reformis,
populis, modernis serta progresif[14]
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kecintaan Beliau juga tidak
sekedar pada ilmu yang bersifat personal, melainkan aplikatifnya
disetiap otoritas-otoritasnya. Sebelum, maupun saat menjabat menjadi
menteri agama. Sehingga melalui otoritasnya, mampu mengangkat pendidikan
pesantren yang selalu di anak tirikan dari pendidikan umum, sehingga
kesan dikotomi-dualisme pendidikan sesaat mulai di patahkan melalui
kebijakan-kebijakanya.
- OTORITAS SEBELUM MENJADI KAMENAG RI
Sebelum
menjabat menjadi kepala menteri agama RI, KH Wachid Hasyim terkenal
dengan kharismatiknya dalam keilmuanya. Di antara kebijakanya:
1) KH
Wahicd Hasyim selalu mengusulkan dan berusaha merevisi kurikulum
pesantren tebuireng, yang pada saat itu masih dipimpin ayahnya. Dalam
merevisi dengan memadukan serta mengkolaborasikanya, bukan semata
memudarkan melainkan melengkapi suatu keilmuan antara ilmu umum dan ilmu
agama sehingga KH wahid hasyim mempunyai harapan, keilmuan ini mampu di
komplementerkan, sehingga khasanah keislaman mampu di terapkan dalam
ranah aplikatif dalam menjalankan dan mengkomando ilmu-ilmu umum.
2) Selain
mengusulkan sebuah reformasi kurikulum, KH Wahid Hasyim juga
mengusulkan perlunya pengajaran yang ada di pesantren tidak sebatas pada
system klasikal. Namun perlunya dekontruksi-rekontruksi ulang untuk
meningkatkan mutu kualitas output dari pesantren menggunakan sistematika
pelajaran secara tutorial.
3) Pada
tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga
mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih
dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga berlangganan majalah
seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul
Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain
sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren
manapun di Indonesia.
4) Saat
pemimpin Masyumi, Ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif
membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia
ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang dipimpin oleh
KH wahid hasyim[15].
5) Pada
tahun 1935, KH Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nidzamiyah, dimana 70
persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, dan akhirnya di ridhoi
oleh sang ayah.
6) Pada
saat KH wahid hasyim menjabat ketua MIAI, beliau melakukan tuntutan
kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie
tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama
GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai
Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite
Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
F. OTORITAS SAAT MENJABAT MENTERI AGAMA RI
Kebijakan
KH wahid hasyim dalam memajukan dan mengintegrasikan pendidikan di
Indoensia sebelum menjadi menteri agama, masih banyak sekali yang perlu
kita renungkan. Kita analisis, untuk kembali mengeavaluasi sebuah
kurikulum antara pendidikan islam dan pendidikan umum. Selain
otoritasnya yang begitu brilliant, otoritas yuridis pada saat menjabat
menteri agama juga membuat pengaruh signifikansi sekali pada pendidikan
yang ada di Indonesia. Di antaranya:
1) Mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan
pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri
maupun swasta.
2) Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3) Mendirikan
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh,
Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan
Salatiga.
4) Pada
tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia
Haji Indonesia (PHI). Kyai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden
Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
Statmen
otoritas di atas baru sebatas yang nampak dalam bentuk formaalitasnya.
Kebijakan yang sudah bertahun-tahun mengendap serta mengakar bumi
pertiwi mulai hilang. Sehingga perlunya dikembhalikam saebuah tatannan
formulasi kehidupan dalam cerminann pendidikan yang satu padu dalam satu
system yang seimbang. Jika kita tarik garis besarnya, deskriptif
analisis kebijakan dari KH Wahid hasyim mengacu kepada dua garis
besarnya, di antaranya planning melalui kurikulum dan proses
melalui metode. Kebijakan tidak berangkat dari kegelisahan, atas sebuah
realitas untuk lebih dikomplementarkan maupun substitusikan melalui
otoritas yang lebih tepat dan bijaksana.
- ANALISIS KURIKULUM, PEMIKIRAN KH WAHID HASYIM.
kurikulum ditinjau dari makna leksikalnya, berarti “currrere” yang berarti jarak tempuh lari yang berasal dari bahasa yunani[16].secara
aksiologiny, kurikulum bukan sebatas pada sempitnya makna dalam cabang
olahraga. Makna kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai framework, planning yang tersurat jelas dengan berisi komponen-komponen sebagaiamana standar-standar dalam mencapai pendidikan yang diharapkan.
Pada dasarnya, kurikulum memiliki dua dimensi pokok, dimensi vision dan strucuture (wiles,1989).
Vision dalam kurikulum adalah hasil dugaan manusia yang meletakan dunia
dalam konsep yang nyata. Artinya menginterprestasikan urgensi
pendidikan dengan kenyataan-kenyataan yang mudah di persepsikan oleh
peserta didik karena banyaknya konsep mengenai urgensi pendidikan yang
beragam. Sehingga dalam hal inimakna vision secara
aplikatif-kontekstual. Secara makna strutture tersendiri, kurikulum
adalah mengorganisir secara sistematis berbagai komponen kurikulum
kedalam pengalaman-pengalaman belajar, sehingga dengan mudah dapat di
implementasikan dan di evaluasi hasilnya[17].
Sehingga pencapaian kurikulum secara visions maupun structure tidak
lepas dari rangkuman rencana dasar dalam pendidikan, baik rencana
tersurat dalam sistemasisasi structure dalam standar proses[18], standar isi[19], Standar pengelolaan[20] ,Standar pembiayaan[21], Standar penilaian pendidikan[22].dan tidak lupa rencana visions kurikulum dalam dunia pendidikan, berupa Standar pendidik dan tenaga kependidikan[23], Standar sarana dan prasarana[24] serta standar kompetensi lulusan[25].
Secara tidak langsung, bentuk standarisasi pada kurikulum KTSP,
kesemuanya telah di aplikasikan melalui otoritas pendidikan yang
tawarkan oleh KH wahid hasyim, diantaranya pada kebijakan pra muapun
saat menjabat menjadi menteri agama RI. Yaitu:
Pertama,
tentang usulah KH Wahid hasyim atas perombakan kurikulum pesantren
tebuireng dengan menyisipkan pendidikan umum, selain sisi sebagai
memenuhi standarisasi lulusan bagi para santri yang cakap dan mandiri,
juga sebagai bentuk aktualisasi kebijakan KH wahid hasyim dalam
standarisasi isi dalam dunia pendidikan, sehingga terciptanya
keseimbangan (tawazun) ilmu-ilmu naqli’ah dan ‘aqliyah.
Kedua,
tentang kebijakan beliau tentang system transformasi pembelajaran yang
beliau ajukan dengan melengkapi system pembelajaran klasikal dengan
tutorial. Walau belum menjabat sebagai menteri agama, beliau mampu
menerapkan system tutorial disamping berjalanya system klasikal dalam
pembelejaran khususnya di pesantren tebu ireng, sehingga secara tidak
langsung sistematika standard proses yang sering kita sebut sebagai
metode (kaifiyah), dapat di aplikasikan secara konstektul pada saat itu.
Ketiga,
peran serta beliau dalam dunia pendidikan juga turut andil dalam
pendirian universitas, maupun sekolah guru agama di Malang, Banda-Aceh,
Bandung, Bukittinggi, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin,
Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, Salatiga.dan Yogyakarta, serta
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi
IAIN/UIN/STAIN. Karena saat itu beliau menyadari bahwa letak
keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak terlepas pada kuantitas berupa
bangunan fisik, namun yang lebih utama terletak apda kualitas, melalui
peningkatan-peningkatan keilmuan.sehingga mampu mengaktualisasikan
prinsip standarisasi kualifikasi pendidikan dan kompetensi guru.
Keempat,
tentang kebijakan beliau dalam Mengeluarkan Peraturan Pemerintah
tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran
agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Secara
tidak langsung, sisitematika perencanaan, yang mampu dimaknai secara
holistic dengan kaitanya pada standarisasi sarana prasana menjadi simpul
ke pastian kebijakanya. Karena tentunya, pada setiap kebijakan yang di
ambil, tidak semata mata tanpa perencenaan dan pemberian akomodatif
dalam bidang pendidikan.
Dari
cerminan kurikulum diatas dapat kita analisis, bahwa setiap otoritas
yang di deklarasikan beliau. Baik sebelum maupun seaat menjadi menteri
agama. Segala, acuan otoritasnya dalam dunia pendidikan tidak lepas
dari sistemasisasi kebijakan pendidikan yang masih di pegang pemerintah
berupa komponen-komponen dalam mengoperasionalkan pendidikan di
Indonesia. Karena pengaruh politk, kebijkan yang ditempuh beliau,sesaat
kabur setelah beliau tidak menjabat sebagai menteri agama, karena
labilnya politik kebijakan yang mudah di anulir. Tentunya, sistematika
dalam setiap kebijakan beliau dalam mengintegrasikan kurikulum
pendidikan pesantren dan umum. Pada dasarnya aplikasi penerapan
kurikulum yang berbeda visionya, sehingga mampu bersifat komplementer,
contoh kecil dalam pendidikan pesantren,structure kurikulum secara
universal mengacu pada
a) activity curriculum yang acuanya didasarkan pada empat impuls kemanusiaan[26]
b) Core curriculum yang menekankan pendekatan kurikulum kepada social centered[27].
c) Kurikulum
muatan local, yang menekankan program kurikulum aplikatif pada
lingkungan alam, social, kultur budaya pembangunan daerah, sebagaimana
yang tertuang didalam SK mendikbud No. 0412/ U / 1987[28].
Sedangkan pada pendidikan umum, penekanan structure kurikulum terletak pada :
a) Subject matter curriculum yang menekankan pada teoritis normative dari idealisme mata pelajaran yang diberikan secara terpisah[29] satu sama lainya, sehingga tiada relevansinya.
b) Correleated curriculum yang menekankan pada teoritis normative dari idealisme yang saling berhubungan dua atau tiga mata pelajaran[30], atau di relevansikan disetiap pembelajaran, dengan kata lain lintas kurikulum.
c) Broad field curriculum,
kurikulum yang dipelopori oleh Thomas Huxley pada tahun 1969. kurikulum
ini menekankan pada teoritis normative dari idealisme mata pelajaran
yang sejenis[31]
Dari
berbagai jenis pengorganisasian kurikulum di atas, pada hakekatnya
telah di integrasikan secara universal oleh beliau KH wahicd hasyim,
melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat pasti melalui kebijakan
yuridis disaat menjabat menteri agama, maupun kebijakan mikro-penfasiran
sesaat sebelum menjabat menjadi menteri agama. Sehingga, dengan
penilaian pendidikan yang aplikatif pada KH wahicd hasyim mampu
meningkatkan dan mendekatkan nilai-nilai filosofis pendidikan yang
terintegrasi antara pendidikan islam dan umum. Bukit konkretnya,
terletak pada kekaguman pada rekan-rekanya KH Wahid Hasyim, di
antaranya: chaerul saleh, isa anhsari (aktivis persis), R mustajab
soemowiligdo( walikota Surabaya waktu itu), murtadijah (wakil ketua PB
muslimat NU) dan tamar jaja yang merasa iri, karena kekagumanya,
walaupun beliau tidak mengenyam pendidikan sekolah belanda. Namun secara
kualitas mampu di atas para pelajar sekolah belanda.
- ANALISIS METODE PENDIDIKAN KH WAHID HASYIM
Metode
adalah cara, strategi yang bersifat aplikatif sesuai kultur budaya
yang ada disekitar atau lebih familiarnya, metode dapat di kategorikan
sebagai tatacara dalam menilai dan memahami pola pendidikan. Metode pada
hakekatnya tidak bisa lepas dengan kurikulum, tanpa kurikulum isi dari
metode tidak ada yang perlu di aplikasikan, jika kita analogikan,
sebagaimana seorang memanah, anak panah sebagai kurikulum, busur panah
sebagai sarana prasarana dan metode adalah cara maupun gaya memanah
sesuai “kesukaan” pemanah (peserta didik), untuk mencapai suatu sasaran
(cita-cita) yang diharapkan si pemanah. Berbicara tentang metode yang
tidak lain dengan analogi diatas (anak panah), gaya dalam pembelajaran
yang ditawarkan KH wahid hasyim bersifat integratef antara gaya klasikal
(pesantren) dengan gaya pendidikan umum (tutorial). Inilah salah satu
kebijakan beliau tentang metode yang tersurat menjadi kebijakan awal
dalam menawarkan konsep metode pendidikan di pesantren ayahnya
(tebuireng).
Jika
kita analisa menggunakan paradigma deduktif, tutorial adalah metode
yang sering teraplikasikan di sekolah umum saat itu, lepas dari
pengatasnamakan bahwa metode ini milik sekolah umum. Secara hakekatnya
metode ini memiliki kelebihan serta kekuranganya, diantaranya:
Bahwa
metode tutorial adalah metode penguasaan, pemahaman dan analisa dari
setiap mata pelajaran, sehingga kelebihan metode adalah keaktifan
peserta didik sangat menentukan signifkansi keilmuan dan perkembangan
intelektual dari peserta didik, sehingga dalam metode ini lebih
menekankan pada system diskusi. Namun titik kelemahanya bahwa tidak
sepenuhnya metode ini dapat di aplikatifkan jika metode pembelajaran
masih pada traf doktrnisme ketauhidan pada peserta didik yang masih di
bawah umur, yang erat menggunakan metode pedagogic, sehingga seharusnya
metode yang diaplikatifkan adalah metode klasikal. Sehingga dari sini
dapat kita analisis, bahwa metode yang menjadi konsep tawaran KH wahid
Hasyim adalah bersifat komplementer-mutualisme , bukan substitusi
–parasitisme maupun komensalisme. Sehingga dengan kecerdasan
qalbu-spiritual dan ‘aql- rasional beliau mampu menerapkan otoritas
komplementer dari setiap metode yang di tawarkan di pesantren tebu
ireng, yang tidak lain milik ayahnya al maghfurlah hadratus KH Hasyim
as’ayari (pendiri NU).
[1]
Akarhanaf, kyai Hasyim Asy’ari hal. 47 ; Sukadri, KH Hasyim Asya’ari,
hal 66 ; syihab, hadrratussyaikh, hal 18-22. tidak kondisi yang terjadi
pada tahun 1913 akibat pembakaran pesantren yang dilakukan belanda
karena keengganan KH hasyim asy’ari yang non kooperasi dengan pemerintah
colonial belanda dengan menempatkan basisnya pendidikan anti colonial
di daerah pelosok sebagaimana yang disadur pada bukunya Lathiful khuluq, fajar Kebangkitan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari, (Cet IV, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara ,2008), Hal 96-97.
[2] ibid, loc.cit
[3] Mustofa dan abdulloh aly, sejarah pendidikan islam di Indonesia,(Cet 2, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal 77/
[4] Mustofa dan abdulloh aly, op.cit. hal 77
[5]
Kurikulum yang mendasari pada perjuangan basis pendidikan informal
sebagai mempertahankan nilai-nilai yang ada di tanah air, lihat Ahmad
dkk, Pengembangan kurikulum, (Cet 1, Bandung: Pustaka Setia, 1998), Hal 83
[6]
Kata fitrah terdapat pada QS Ar-rum Ayat (30) ditafsirkan agama,
kerena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama . Departemen Agama
Al-qur’an dan tafsirnya (semarang:affhar offset,1993), hal 571 dan dalam
bukunya qurasihab disebutkan bahwa manusia sejak pertama lahir membawa
potensi agama yang lurus lihat juga quraisihab, wawasan al-qur’an,
tafsir maudlu’I dan berbagai perosalan umat (bandung: Mizan,1997),hal
283-285. semua konsep petikan fitrah dalam pendidikan juga disadur dari
Rahmat Raharjo, inovasi Kurikulum pendidikan agama islam, (Cet 1, Yogyakarta: Magnum pustaka, 2010), hal 68
[7] Teguh wangsa gandhi HW, filsafat pendidikan, (cet 1, yogyakarta: arruz media, 2011), hal 79.
[8] Rizal mustansyir dan misnal munir, filsafat ilmu, (cetVII, yogkarta: pustaka pelajar, 2008), hal 1
[9]
Pembentukan watak mengarah pada karakterisasi pendidikan sebagaiamana
yang sedang di galakan oleh pemerintah sebagaimana seminar yang
dilaksanakan oleh pusat kurikulum balitbang pendidikan nasional yang
bertema pengembangan pendidikan karakter bangsa dan budaya bangsa
pedoman untuk sekolah.
[10] Republik Indonesia, UU No 20 tahun 2003, Bab II tentang dasar, fungsi dan tujuanya, pasal 3
[11] Abdurrahman wahid, menggerakan tradisi, ( cet 1. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001), Bab 1 Hal 1
[12]
Istilah ini di definisikan oleh haidar putra daulay yang disadur ulang
oleh Anin Nurhayati, Kurikulum inovasi telaah terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan pesantren, (Cet 1, Yogyakarta: Teras, 2010), hal 47
[13] Sidney johns, “the javanes pesantren: between elite and peasantry”,
in charles F keyes, reshaping local worlds: formal education and
cultural change in rural southeast asia (new heaven : yale center for
international and area studies-southeast asia studies, 1991),p.21
[14] Mohammad rifai, wachid hasyim, ( cet 1, yogyakarta: Ar-ruz media, 2009), hal 9
[15] Mustofa dan abdulloh aly, op.cit. hal 102
[16] Ahmad dkk, Pengembangan kurikulum, (cet 1, bandung: pustaka setia, 1998), hal 9
[17] Muhaimin dkk, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi islam, (cet 1, yogyakarta: pustaka pelajar,2005), hal 6
[18] Republik Indonesia, permendiknas no 41 tahun 2007
tentang standar proses, pengelompokan ini tidak lepas structure
kurikulum yang memuat juklak dan jukni pelaksanaan pada standar proses.
[19] Republik Indonesia, permendiknas no 22 tahun 2006 tentang standar isi.
[20] Republik Indonesia, permendiknas no 19 tahun 2007 tentang standar pengelolaan
[21] Republik Indonesia, permendiknas no 48 tahun 2008 tentang standar pendanaan
[22] Republik Indonesia, permendiknas no 20 tahun 2007 tentang standar penilaian
[23] Republik Indonesia, permendiknas
no 16 tahun 2007 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan atau
standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
[24] Republik Indonesia, permendiknas no 24 tahun 2007 tentang sarana dan prasarana.
[25] Republik Indonesia, permendiknas no 23 tahun 2006 tentang komptensi lulusan
[26] Ahmad dkk, op.cit., hal 133
[27] Ahmad dkk, op.cit., hal 139
[28] Ahmad dkk, op.cit., hal 145
[29] Ahmad dkk, op.cit., hal 125
[30] Ahmad dkk, op.cit., hal 131
[31] Ahmad dkk, op.cit., hal 132
[1] Republik Indonesia, UU sisdiknas No 20 tahun 2003, Bab 1, pasal 1, ayat 1.
[2]
Timbal balik resiprokal, adalah kesimpulan integrasi antara pendidikan
dalam budaya masyarakat, hal ini di kemukakan oleh pakar sosiologi
pendidikan yang tersurat dalam dokumentasi karya ngainun nangim,pendidikan multikulturalisme, (cet 1, yogyakarta, arruz-media, 2008), hal 13
[3] Republik Indonesia, PP No 19 tahun 2005 tentang standar kompetensi lulusan
tentang criteria atau cakupan standar kompetensi lulusan pada ketentuan
pasal umum Bab 1, ayat ke empat. Kemudian di perjelas lagi cakupanya
tentang standar kompetensi lulusanya pada Bab V tentang standar
komptensi lulusan pada pasal 25. sehingga dapat diperjelas dan dipahami
bahwa criteria dari semua mata pelajaran termasuk dalam tiga penilaian
teoritis pada sikap, ketrampilan dan pengetahuan.
[4] Republik Indonesia, Permendiknas No 23 tahun 2006
tentang standar kompetensi lulusan, Permenag RI No 2 tahun 2008 tentang
standar kompetensi lulusan dan standar isi, serta di lengkapi dengan
sistemasisasi dan procedural tata pelaknaanya standar komptensi lulusan
dan pada permendiknas No 24 tahun 20006
[5] Abdurrahman Mas’ud, antologi studi agama dan pendidikan, (cet 1, Semarang :CV aneka ilmu,2004), hal 119.
[6] Tim penulis, Intelektualisme pesantren, ( cet ke-2, Jakarta: diva pustaka, 2004), hal 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar