Senin, 20 Agustus 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH MOHAMMAD KHALIL BANGKALAN (Guru Besar Ulama’ Tanah Jawa dan Madura abad XIX-XX)

Latar belakang keluarga, masa kecil, dan pendidikannya
Keluarga, lingkungan dan masa kecil
Kiai M Khalil Bangkalan yang dimaksudkan penulis di sini adalah keturunan Sunan Gunung Jati Jawa Barat, yang memiliki keturunan sampai ke bawah, yaitu Kiai Hamim, Kiai Abdul Latif dan sampai kepada KH M Khalil Bangkalan Madura. Ia adalah putra Kiai Abdul Latif, yang dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H/ tahun 1835 M dan wafat pada tahun 1925 M (Mas’ud, 2006: 183).
Khalil Bangkalan, dilahirkan dalam komunitas keluarga yang taat menjalankan syari’at Islam. Ayahnya, kiai Abdul Latif, memiliki nasab yang bersambung dengan sunan Gunung Jati, ulama penyemai Islam di Jawa Barat. Secara geografis, daerah madura adalah daerah yang terdiri dari kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Daerah tersebut oleh Dalier Noer sebagai benteng pertahanan Islam Indonesia (Saifur Rahman, 2001).
Di masa kecilnya, Khalil Bangkalan menerima dasar-dasar pendidikan agama dari keluarganya sendiri. Sebab, keluarga Khalil Bangkalan masih melanjutkan tradisi neenk moyangnya, yaitu sunan Gunung Jati, sebagai penganut dan penyebar agama Islam di tanah Jawa. Khalil mendapatkan pendidikan dari keluarganya. Namun setelah dinilai cukup, ia dikirim oleh ayahnya kepada beberapa guru yang alim dan allamah di sekitar kabupaten Bangkalan. Tuan guru Dawuh dan Tuan Guru Agung. Para guru tersebut bukan hanya alim dalam ilmu lahir, namun sekaligus ilmu bathinnya.
Secara geografis, masyarakat Madura dikenal lebih kerreng atau keras, mungkin saja hampir sama dengan orang-orang berdarah Makasar dan Batak. Madura memang berbeda dengan tanah Jawa, walaupun tempatnya relatif berdekatan. Tanah madura memang gersang dan kering, sehingga hal ini berpengaruh pada masyarakat yang menetap di kepulauan madura tersebut. Daerah paling angker adalah Bangkalan dan Sampang, sementara Pamekasan ‘agak’ halus. Dan masyarakat Sumenep yang paling halus. Karena daerah tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan Sumenep. Yang memiliki struktur bahasa bertingkat semacam dalam bahasa jawa.
Dialah Khalil Bangkalan yang saya maksudkan. Kenapa saya memanggilnya guru besar pesantren? Karena dari didikan beliaulah, banyak terlahir manusia baik, yang mendapatkan gemblengan pendidikan ala kadarnya. Selain itu, Khalil Bangkalan, adalah sosok guru yang hafal Al Qur’an serta menjaga hafalan dan perbuatannya. Yang tidak bisa dilepaskan, beliau adalah sosok guru yang kuat hafalannya, sehingga kitab nadham Alfiah dihafalnya dengan cukup baik (Mohammad Rifa’I, 2001: 13-54). Sehingga, dalam konteks ini, beliau termasuk intelektual nusantara yang memasyarakatkan kitab kuning dalam pembelajaran kepada santri (Affandi Muchtar, 2009: 37).
Kehidupannya sangat sederhana, namun karomah dari Allah sangat banyak menghiasi laku dan perbuatan Khalil Bangkalan. Banyak cerita yang di luar kemampuan akal sehat, sungguh menjadi ciri khas kiai M Khalil Bangkalan dalam mendidik anak-anak bangsa ini. Kalau kita amati, kontribusi beliau cukup besar untuk negeri ini, misalkan lahirnya NU, jelas tidak bisa dilepaskan dari peran pokok kiai Khalil, walaupun secara institusional, beliau tidak terlibat, namun melalui ikatan batin yang dibangun, dialah yang sebenarnya menjadi dalang lahirnya NU dan beberapa pesantren besar di tanah jawa dan Madura (Abdurrahman Mas’ud, 1998), Lihat (Mohammad Rifa’I, 2009: 13-54). Dan lihat Ahmad Idris Marzuki, dkk, (1998). Itulah kenapa saya menyebutnya guru besar pesantren, karena peran dan kontribusinya melebihi yang disumbangkan kampus-kampus besar hari ini.

Silsilah Khalil Bangkalan
1.  Sunan Gunung Jati, 2. Sayyid Sulaiman Sulaiman Mojoagung, Jombang. 3. Kiai Abdullah. 4. Kiai Asror Karomah 5. Kiai Muharrom 6. Kiai Abdul Karim 7. Kiai Hamim 8. Kiai Abdul Latif  9. Kiai Muhammad Khalil Bangkalan (Saifur Rahman, 2001: 07-08).

Masa pendidikan
Semasa belajar, Khalil Bangkalan tidak mengandalkan kekayaan materi milik orang tuanya. Ia lebih memilih hidup sederhana dan apa adanya. Bahkan dalam catatan Saifur Rahman dan Mohammad Rifaí, ia lebih memilih hidup “melarat”. Bahkan Khalil Bangkalan pernah menerima upah dari memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi untuk bisa membiayayi kebutuhan hidupnya di pesantren. Riwayat yang lain, ketika berada di Mekkah, Khalil Bangkalan pernah mengkonsumsi semangka yang telah habis isinya.
Dari beberapa pesantren dan guru yang pernah dihampiri Khalil Bangkalan untuk diserap ilmunya adalah sebagai berikut;
  1. Belajar dasar-dasar ilmu agama dalam lingkungan keluarganya sendiri.
  2. Tuan guru Dawuh, yang dikemudian hari dikenal dengan Bujuk Dawuh, yang bermukim di desa Malajeh Bangkalan. Ia sangat alim berbagai ilmu, dan ia termasuk seorang yang periang. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus dipesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit. Pengalaman ini mengingatkan kita kepada Socrates, yang memberikan pendidikan dengan gaya yang sama. Artinya memberikan pelajaran di alam terbuka sambil berjala-jalan (Saifur Rahman, 2001: 16).
  3. Tuan guru Agung, yang kemudian dikenal dengan bujuk Agung. Guru ini bukan hanya alim dalam ilmu lahir, tapi beliau juga alim dalam ilmu batin. Ketika berguru kepada beliau Khalil Bangkalan sudah mencapai alimun rabbaniyyun wa bi ahkamihi (menguasai ilmu ketuhanan dan ilmu fikih).
  4. KH Mohammad Noer, desa Mandungan, Widang, Tuban. Kiainya wafat tahun 1870 M. Khalil Bangkalan berada di langitan selama 3 tahun. Pesantren ini sampai sekarang dikenal sebagai pesantren yang mendalami ilmu-ilmu alat.
  5. KH Asyik, Cangaan, Bangil Jawa Timur.
  6. Kiai Arif, pesantren Darus Salam, Kebon Candi, Pasuruan.
  7. KH Noer Hasan, Sidogiri Pasuruan, Jawa Timur.
  8. KH Abdul Bashar, Banyuwangi, Jawa Timur. Selama di pesantren ini, Khalil Bangkalan sambil bekerja memanjat pohon kelapa, milik kiai dan masyarakat sekitar. Upah dari memanjat pohon kepala ini, oleh khalil diserahkan kepada kiai, lalu oleh kiainya diserahkan lagi kepada Khalil Bangkalan, dan mendapatkan amanah agar Khalil melanjutkan pendidikannya ke Mekkah Al Mukarromah. Perjalanan dari Bangkalan Madura menuju tanah suci, oleh Khalil Bangkalan digunakan untuk membaca Al Qurán Al Karim dan memperbanyak membaca shalawat kepada nabi.
  9. Syaih Imam Muhammad Nawawi Al Bantani, pertemuan belajarnya berada di kota Mekkah (Saifur Rahman, 2001: 22).
  10. Syaih Umar Khatib Bima (Saifur Rahman, 2001: 22).
  11. Syaih Muhammad Khotib Sambas Bin Abdul Ghafur Al Jawi (Saifur Rahman, 2001: 25).
  12. Syaih Ali Rahbini (Saifur Rahman, 2001: 28).
Sedangkan menurut laporan majalah Ijtihad, majalah 6 bulanan PP SIDOGIRI, pasuruan Jawa Timur, berikut adalah nama-nama guru KH M Khalil Bangkalan; (Majalah Ijtihad, edisi 32/tahun XVII/Rabiul Awwal-Rajab/1431 H., hal: 29-31)
  1. Kiai Sholeh, PP Bunga Gersik
  2. KH Asyik, PP Cangaan Bangil Pasuruan
  3. Kiai Arif, PP Keboncandi Pasuruan
  4. Kiai Abu Dharrin atau mbah Tugu
  5. KH Noer Hasan Bin Nawawi
  6. Kiai Tirmis, Banyuwangi

Kegiatan pendidikan, keagamaan dan politik KH M Khalil
Kegiatan pendidikan, sebagaimana kita lihat di atas, sungguh luar biasa perjalannya mencari ilmu pengetahuan. Untuk kegiatan keagamaan, dapat kita cermati bagaimana Khalil Bangkalan dengan tekunnya membaca Al-Qurán dan shalawat kepada nabi Muhammad SAW.
Paling sederhana, mari kita lihat hasil didikan dari guru pesantren ini, ia telah banyak melahirkan tokoh-tokoh pesantren yang menjadi mazhab bagi masyarakat dimana santrinya itu berada. Misalkan data yang ditulis oleh Saifur Rahman (1999 dan 2001) dan Mohammad Rifa’I (2009). Santrinya yang tergolong memiliki lembaga pesantren adalah; KH Hasyim Asy’ari, KHR As’ad Syamsul A, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH Maksum dan lain sebagainya.
Data-data di atas, di dokumentasikan oleh Saifur Rahman dan Mohammad Rifa’I. Menurut hemast saya, masih berapa kiai lagi yang belum terdata oleh dua orang penulis tersebut? Saya memperkirakan, bahwa mayoritas kiai-kiai di tanah Jawa dan Madura berguru kepada KH M Khalil Bangkalan. Sebab, pada abad 18 pertengahan menjelang akhir itu, pendidikan pesantren merupakan corak pendidikan uggul dibandingkan pendidikan ala Belanda, karena ternyata, masyarakat pribumi memilih pesantren sebagai pilihan pendidikan utama (Zamakhsyari Dhofier, 1984).
Bahkan menurut Nurholis Majid, dalam Mohammad Chotib (2010), “seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren itu. Sehingga perguruan tinggi yang ada sekarang, tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR atau yang lainnya. Tetapi mungkin namanya universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem dan seterusnya”.

Ini menandakan, walaupun pendidikan pesantren tidak mendapatkan respon yang cukup baik dari penjajah Belanda, namun hingga detik ini, pesantren mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat Nusantara. Oleh karena itu, kalau kita amati peran dan sumbangsih M KH Khalil Bangkalan terhadap negeri ini, melebihi kontribusi para guru besar yang ada dikampus-kampus hari ini.
Sosok kiai M Khalil Bangkalan adalah tipe kiai desa yang sederhana, namun kontribusinya cukup besar untuk negeri ini (Menurut laporan Republika yang dikutip oleh majalah Al Falah, disebutkan, NU mengelola 21. 600 pesantren. Sedangkan Dhofier menyebutkan jauh lebih banyak daripada itu). Sementara para guru besar di kampus kita sekarang, kontribusinya tidak sebesar gajinya yang diterima dari uang rakyat. Padahal kiai M Khalil, tidak digaji oleh pemerintah, lalu apa pertanggung jawaban para guru besar hari ini untuk masyarakat Indonesia?
Dalam bayangan saya, seandainya setiap abad, Indonesia memiliki guru besar seperti kiai M Khalil, akan ada berapa juta lagi setiap tahunnya pesantran di nusantara ini? Namun bagi saya, yang terpenting adalah bukan berapa pesantren yang akan dihasilkan. Tapi akan ada berapa banyak orang lagi yang memilili karakter dan kepedulian kepada ummat yang cukup tinggi seperti para kiai hasil pembinaan kiai M Khalil.
Saya sempat merenung dan bertanya, apa sebetulnya yang konslet dari pendidikan di negeri ini? Apakah para gurunya? Kalau memang demikian, marilah kita belajar banyak dari kiai M Khalil Bangkalan. Sosok kiai kampung (baca: Gus Dur), ternyata mampu melahirkan manusia brilian yang bertingkah brilian pula. Atau justru masalah pendidikan di negeri ini memang dari peserta didik atau orang tua? Tapi entahlah, saya berupaya untuk menghadirkan deskripsi tentang kiai M Khalil Bangkalan, agar dapat menjadi kiblat positif dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air.
Politik KH M Khalil Bangkalan, berbeda dengan makna politik yang hari ini kita pahami. Sebab, di masa Khalil Bangkalan masih hidup, beliau bersinggungan langsung dengan penjajah Belanda. Dalam konteks ini, Khalil Bangkalan menolak penjajah dalam berbagai bentuknya. Bahkan karena sikapnya tersebut, ia pernah dipenjara pada masa Belanda. Sikapnya melindungi para pejuang kemerdekaan. Bahkan Ir. Soekarno pernah menemui Khalil Bangkalan dalam rangka meminta petuah dan petunjuk tentang menyongsong kemerdekaan. Sebagaimana diterangkan KH R Asád Syamsul Arifin yang menjadi santri langsung syaikhona Khalil Bangkalan.

Respon KH M Khalil Bangkalan terhadap penjajahan Belanda
Dalier Noor pernah mengatakan, Madura adalah benteng pertahanan Islam Indonesia. Dengan pandangan ini, sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura terdapat seorang ulama yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan agama Islam. Sehingga publik memberikannya julukan Syaikhona. Ialah syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan (Saifur Rahman, 2001: 02-03).
Sebagaimana ditulis Saifur Rahman, Biografi dan Karamah KH M Khalil Bangkalan; Surat Kepada Anjing Hitam (2001) cetakan edisi ke 2;
Kiai Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak perjuangan melawan Belanda. Namun demikian, kiai Khalil tidak langsung terlibat dalam medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai tokoh kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok pesantrennya, bukan hanya sebagai tempat mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering dijadikan tempat untuk mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial Belanda. Bahkan para pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren kiai Khalil sebagai tempat penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI (Saifur Rahman, 2001: 45).
Sebagai ulama dan intelektual nusantara, secara nyata, kiai Khalil menolak bahkan ikut terlibat mendorong masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara.

Metode pengajaran KH M Khalil Bangkalan
Sebagaimana metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata Khalil Bangkalan juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus dipesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun, karena Khalil Bangkalan memiliki lembaga pendidikan pondok pesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem sorogan, bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran Khalil Bangkalan dapat kita amati dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan Mohammad Rifaí, bahkan ketika Khalil Bangkalan terjun dan melihat masyarakat Bangkalan dan sekitarnya, kerap memberikan pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model pembelajarannya lahir dari lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang dilakukan kiai Khalil Bangkalan tidak selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di masjid dan surau. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan nyata yang lebih luas. Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah menjadi penghias model pendidikan ala kiai Khalil Bangkalan.

Peta konsep pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata peta memiliki makna gambar lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan pemikiran dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata penalaran, yang memiliki makna; proses pemikiran secara logis untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di sini adalah, diagram pemikiran logis tentang pendidikan Islam oleh KH M Khalil Bangkalan. Sebagai salah satu tokoh yang tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan proses islamisasi yang terjadi di tanah jawa dan Madura. Tentunya dengan mendirikan pondok pesantren kademangan sebagai tempat penggodokan kader-kader muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Peta Pemikiran kiai M Khalil Bangkalan; bertumpu pada Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya ilmu alat/ ilmu nahwu-sharrof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu ahlak, pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang bersikap kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai bukti imperialisme eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul serta ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang dipeganginya.

Karya tulis KH M Khalil Bangkalan
  1. Kitab silah fi bayannikah
  2. Kitab al Matnus Syarif.
  3. Kitab terjemah Alfiyah
  4. Kitab Asmaul Husna
  5. Shalawat kiai Khalil Bangkalan
  6. Wirid-wirid kiai Khalil Bangkalan
  7. Lembaran berupa do’a-doá dan hizib
Kiai M Khalil Bangkalan inilah yang dikemudian hari, sebagai penerus perjuangan Islam dari kakek moyangnya, yaitu Kanjeng Sunan Gunung Jati. Telah terbukti dari didikan KH M Khalil Bangkalan banyak ulama atau intelektual muslim yang hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai panutan utama. Misalkan KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH As’ad Syamsul Arifin, mereka adalah sedikit dari ulama atau intelektual muslim yang dilahirkan dari sistem pendidikan yang pernah dibina oleh KH M Khalil Bangkalan.
Sehingga, walaupun Kiai Khalil termasuk ulama yang berhasil dalam mendidik anak-anak bangsa, namun masih sedikit sekali yang mengetahui peta pemikiran KH M Khalil Bangkalan tentang pendidikan Islam. Sehingga, dibalik kesuksesan pendidikan yang pernah dibina Kiai Khalil, perlu sekali untuk menyampaikan peta pemikiran Kiai Khalil tentang pendidikan Islam. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat masih belum adanya karya ilmiah tentang Kiai Khalil yang membedah pemikirannya dalam konteks pemikiran pendidikan Islam.
Menurut laporan terbaru, sekitar 26.000 manuskrip kuno Indonesia ada dan tersimpan rapi di perpustakaan Belanda (sumber Head Line News, Metro TV, 14/04/2012-jam 17:04, pengamat Ahmad Dasuki). Jadi kalau kita amati, penjajah bukan serta merta mencuri dan menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia. Namun mereka juga menjarah kekayaan intelektual Islam Nusantara. Yang perlu di ingat, dalam penjajahan nusantara, umat Islamlah yang paling banyak mengalami kerugian. Saya yakin, bahwa di dalam 26.000 manuskrip keilmuan nusantara tersebut, terdapat karya syaikhona Khalil Bangkalan.

PENUTUP
Kiai M Khalil Bangkalan yang dimaksudkan penulis di sini adalah keturunan Sunan Gunung Jati Jawa Barat, yang memiliki keturunan sampai ke bawah, yaitu Kiai Hamim, Kiai Abdul Latif dan sampai kepada KH M Khalil Bangkalan Madura. Ia adalah putra Kiai Abdul Latif, yang dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H/ tahun 1835 M wafat pada tahun 1925 M.
Adapun guru-gurunya dan nama pesantrennya adalah; Belajar dasar-dasar ilmu agama dalam lingkungan keluarganya sendiri. Tuan guru Dawuh, Tuan guru Agung, KH Mohammad Noer, desa Mandungan, Widang, Tuban. KH Asyik, Cangaan, Bangil Jawa Timur. Kiai Arif, pesantren Darus Salam, Kebon Candi, Pasuruan. KH Noer Hasan, Sidogiri Pasuruan, Jawa Timur. KH Abdul Bashar, Banyuwangi, Jawa Timur. Syaih Imam Muhammad Nawawi Al Bantani, Syaih Umar Khatib Bima, Syaih Muhammad Khotib Sambas Bin Abdul Ghafur Al Jawi, Syaih Ali Rahbini.
Karya tulis KH M Khalil Bangkalan; Kitab silah fi bayannikah, Kitab al Matnus Syarif. Kitab terjemah Alfiyah. Kitab Asmaul Husna, Shalawat kiai Khalil Bangkalan, Wirid-wirid kiai Khalil Bangkalan, Lembaran berupa do’a-doá dan hizib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar