RIWAYAT HIDUP
Abdurrahman Wahid
atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Darah
biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu
Wataala berupa kecerdasan luar biasa.Dia anak seorang tokoh besar umat Islam,
khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi Islam terbesar di Indonesia,
bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan
tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun
pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang
sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan
tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender islam yakni
tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah
7 september[1] . Dilahirkan
di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman
ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah
seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2].Sulung
dari enam bersaudara.
Ibunya, Hajjah
Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Syamsuri.Ayahnya menjadi
menteri agama pertama Indonesia.
Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang
menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah
kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan
hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di
pesantren.
Panggilan Gus
merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak
kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti Kang atau Ning.
Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur.
Dia diajar mengaji
dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Kiai Haji Hasyim sy'ari, di Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jatim.Ia mendapat pendidikan disekolah dari ayahnya, tetapi
sebagaimana pelajar madrasah lainya, ia pertama-tama belajar membaca dan
menulis dalam tulisan Arab, Kiai Haji Wahid Hasyim lantas mengajarinya membaca
huruf latin serta bahasa yang merupakan alat percakapan orang Belanda dan orang
Indonesia yaitu bahasa Melayu lokal.
Kiai Haji Wahid
Hasyim yang juga merupakan ayah Gus Dur
adalah seorang nasionalis terkemuka, beliau banyak berjuang untuk kemerdekaan
bahkan untuk kebangkitan bangsa Indonesia, ini terbukti dari keterlibatan
beliau dalam berbagai organisasi seperti MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia),
kemudian beliau juga turut andil besar dalm proses pembentukan Hizbullah
yang merupakan sayap militer MIAI.
Pada tahun 1944,
berdasarkan kesepakatan dengan sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim bersama keluarga
pindah ke Jakarta
untuk menjadi kuasa beliau mengurusi Shumubu yang pada akhirnya nanti
berganti nama menjadi Masyumi. Tinggal di daerah menteng menjadikan Gus
Dur kecil banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar dari berbagai kalangan, sebut saja Tan Malaka,
pemimpin komunis yang terkenal itu.
Pada saat Jepang
menyerah, tahun 1945, Gus Dur dan keluarga pindah ke Jombang, namun tidak lama
setelah itu, tepatnya tahun 1949, keluarga ini harus kembali lagi ke Jakarta,
karena sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim terlibat kegiatan pemerintahan.
Pendidikanya dimulai
dari Sekolah Dasar KRIS di Jakarta pusat, tapi setelah memasuki kelas empat dia
pindah sekolah yang berada didekat rumah tinggalnya, yang kedua-duanya adalah
sekolah biasa untuk ukuran seorang putra menteri. Pada tahap ini pendidikan Gus
Dur sepenuhnya bersifat sekuler, namun tentunya dia sudah pernah belajar bahasa
Arab dan membaca Al Qur’an ketika masih kecil. Dirumahnya, terdapat
perpustakaan pribadi yang besar dan terdapat beberapa surat kabar, bahkan ada beberapa diantaranya
merupakan terbitan orang katholik atau orang non muslim lainya.
Dari sini, Gus Dur
kecil kaya akan khasanah pengetahuan dan luas akan cakrawala berpikirnya, dan
ini adalah cita-cita dari sang ayah.
Ayahnya meninggal
dalam sebuah kecelakaan, tahun 1953, ketika dia berumur 12 tahun. Setahun
kemudian dia lulus sekolah dasar untuk kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama (SMEP), karena perasaan sedih saat ditinggal sang ayah masih
terasa, ia sempat mengulang pada saat kelas satu, namun sebenarnya dia pandai,
namun pada saat yang sama dia cenderung malas-malasan. Waktunya dihabiskan
untuk mambaca buku dan menonton sepak bola, karena dirasa pelajaran di sekolah
kurang menantang.
Setelah menamatkan di
SMEP, tahun 1957, Gus Dur mengikuti pelajaran pesantren penuh di pesantren
Tegalrejo, Magelang yang terletak di sebelah utara kota
Yogyakarta yang diasuh Kiai Khudori. Pada saat
yang sama dia juga belajar paro waktu di pesantren Denanyar Jombang yang di
asuh oleh kakeknya sendiri, Kiai Bisri Syamsuri. Gus Dur hanya butuh waktu dua
tahun untuk menyelesaikan pelajaranya, dua tahun lebih cepat dari yang
semestinya, bahkan sebagian besar waktunya dihabiskan diluar kelas untuk
membaca buku-buku Barat.
Ketika tinggal di Yogyakarta, dia mulai menyukai film secara serius. Meski
demikian, sebagai seorang remaja yang sangat menggandrungi film, apresiasi Gus
dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh teman
sebayanya. Di Yogyakarta Gus Dur juga mulai menyukai wayang kulit yang
merupakan pertunjukan wayang tradisional. Di kota inilah dia juga banyak menghabiskan
waktu untuk membaca karya sastra, termasuk cerita-cerita silat yang
menceritakan pendekar-pendekar silat Cina yang kaya akan falsafah itu.
Pada tahun 1959, Gus
Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di pesatren Tambak beras di bawah
asuhan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar sampai tahun1963, pada saat bersamaan
dia selalu menjalin komunikasi dengan Kiai Bisri Syamsuri. Pada tahun yang
sama, dia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir karena
mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu
dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang dilaluinya selama tujuh
tahun.
Namun karena terlalu aktif berorganisasi, ia
tidak berhasil menyelesaikan kuliah. Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi
sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran
tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim.
Dalam
masyarakat ditemukan berbagai
individu atau kelompok
yang berasal dari budaya
berbeda, demikian pula
dalam pendidikan, diversitas
tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas
budaya itu bisa
ditemukan di kalangan
peserta didik maupun
para guru yang terlibat
-secara langsung atau
tidak- dalam satu
proses pendidikan. Diversitas itu juga
bisa ditemukan melalui
pengkayaan budaya-budaya lain
yang ada dan berkembang dalam
konstelasi budaya, lokal,
nasional dan global.
Diversitas budaya ini
akan mungkin tercapai dalam
pendidikan jika pendidikan
itu sendiri mengakui
keragaman yang ada, bersikap
terbuka (openess) dan
memberi ruang kepada
setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses
pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks
menjelaskan lima dimensi
yang harus ada
yaitu, pertama,
adanya integrasi pendidikan
dalam kurikulum (content
integration) yang didalamnya
melibatkan keragaman dalam
satu kultur pendidikan
yang tujuan utamanya adalah menghapus
prasangka. Kedua, konstruksi
ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang
diwujudkan dengan mengetahui
dan memahami secara
komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan
prasangka (prejudice reduction) yang
lahir dari interaksi antar
keragaman dalam kultur
pendidikan. Keempat, pedagogik
kesetaraan manusia (equity pedagogy)
yang memberi ruang
dan kesempatan yang
sama kepada setiap elemen
yang beragam. Kelima, pemberdayaan
kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah
tujuan dari pendidikan
multikultur yaitu agar
sekolah menjadi elemen
pengentas sosial (transformasi sosial)
dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan[3].
Dalam sebuah dialog
tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut
(Lebanon)
tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer
Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal
ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus
terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah
mengajarkan ajaran formal tentang Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan
Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang
menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah
ada.[4].
Penyelenggaraan
pendidikan Islam di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam
ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan
juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia.
Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya lebih banyak
dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.
Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan
hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan
modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup
dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan
Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam,
tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan
modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam
pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati Gus Dur, karena
ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut:
Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari
perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak
perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas
tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan
pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan
Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan
sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan
sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan
formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi
pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan
Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari
pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu
sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam,
kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan
Islam.
Senada dengan apa
yang disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama,
diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya,
pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan
perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan itu
adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang
keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”[5].
Oleh karena itu.
pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan
berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hanya pendidikan yang megemban tugas ganda
secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki.
Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan
pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan
jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau
perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Menurut Gus Dur,
sistem pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab
sistem pendidikan kita sekarang hanya formal. Orang tidak punya ijazah tidak
dipakai, padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki
kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi
tidak pernah dihargai, paparnya.[6].
Bukti sejarah mengatakan, di tengah
pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan keberadaannya
sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa dalam
menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah
satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat
perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong
utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional,
kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin,
Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi
tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren
yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan,
tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai bidang[7].
Gus Dur melihat
pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga
kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen
pembaharuan yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural
development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of
community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti
lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi
inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan
pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang
kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir
al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok
pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren
juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara
penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara
rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam
dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin
diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan,
yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin
lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di
suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas
PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan
tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri
Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di
Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah
tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan
kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s)[8].
PENDIDIKAN
ISLAM DALAM KONTEK KELEMBAGAAN YANG
MANDIRI
Dari perspektif
kelembagaan, pesantren merupakan lembaga kulturil tersendiri, karena keberadaanya ditengah-tangah masyarakat
dengan tatanan system dan tata nilai yang sudah mapan terlebih dahulu, maka ia merupakan
subkultur, sebuah istilah yang
sebenarnya belum merata dikenal oleh semua pesantren, karena penggunaan istilah
itu adalah upaya pengenalan identitas
kulturil yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukan oleh kalangan
pesantren sendiri. Penggunaan istilah itu didorong oleh ketiadaan istilah lain
yang lebih tepat dalam hasil pengolahan data empiris yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah[9].
Pesantren adalah
sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran
lahiriahnya :
a.
Komplek dengan
lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitar. Dalam lingkungan fisik
seperti ini diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri
tersendiri, mulai dari jadwal kegiatan yang menyimpang dari pengertian rutin
kegiatan masyarakat disekitarnya yang mengikuti jadwal sholat rowatib, lamanya
waktu belajar mengajar sampai masa belajar di pesantren itu sendiri.
b.
Struktur atau
sistematika pengajaran yang diberikan. Dijumpai jenjang pelajaran yang berulang
ulang dari tingkat ketingkat tanpa terlihat kesudahanya.
c.
Cara pemberian
pelajaranya dan dalam penggunaan materi. Pengajian diberikan dalam bentuk
seperti kuliah terbuka dimana sang kiai membaca, menerjemahkan dan kemudian
menerangkan persolan-persolan yang disebutkan dalam teks, kemudian santri
membaca ulang teks itu dihadapan kiai atau setelah kembali ke biliknya, ataupun
dalam pengajian ulang antara sesama teman setingkat pengajianya[10].
Dengan gambaran
sepintas lalu tentang beberapa aspek pesantren yang memiliki keunikan sendiri
tersebut telah memberikan gambaran konkrit tentang pengertian subkultur yang
terdapat dalam kehidupan pesantren. Karena sesuatau itu dapat dikatakan sebagai
subkultur minimal harus memiliki keunikanya sendiri dalam aspek-aspek berikut :
cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta
hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Dan ketiga
persyaratan minimal itu terdapat dalam kehidupan dipesantren[11]
Adapun ciri-ciri
khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, serta
membedakanya dengan lembaga pendidikan lainya adalah :
1.
Pondok. Yaitu
tempat kiai dan santri tinggal.
2.
Masjid. Dalam
kontek ini masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar.
3.
Santri. Yang
terbagi dalam kelompok, yaitu santri mukim yang berasal dari jauh dan santri
kalong yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak
menetap dipesantren.
4.
Kiai
5.
Kitab-kitab islam
klasik atau yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning, yang dikarang oleh
ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama islam dan
bahasa arab[12].
Ciri khas yang lain
secara kultur yang dimiliki oleh pesantren adalah watak mandiri, kemandirian
tersebut dapat dilihat dari dua sudut, yaitu fungsi kemasyarakatan pesantren
secara umum dan pola pendidikan yang dikembangkan.
Dilihat dari sudut
fungsi kemasyarakatanya, secara umum pesantren adalah sebuah alternatif ideal
bagi perkembangan keadaan yang terjadi diluarnya. Sepintas lalu pesantren
memainkan peranan sebagai subkultur bagi kehidupan masyarakat secara umum,
namun harus diberikan batasan lain pada pesantren tersebut. Memang benar,
pesantren memiliki perwatakan subkultural, namun ia justru tidak merupakan
bagian dari sesuatu atas kultur apapun. Pesantren memiliki kelengkapan nilai,
bangunan sosial, dan tujuan-tujuanya sendiri sehingga ia lebih merupakan sebuah
dunia tersendiri yang terpisah dari dunia lain diluarnya.
Sebagai suatu
lembaga pendidikan Islam dari sudut historis cultural, pesantren dapat
dikatakan sebagai training center yang otomatis menjadi cultural
central Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat,
setidak-tidaknya oleh masyarakat islam sendiri yang secara defacto tidak
dapat diabaikan oleh pemerintah[13].
Transformasi kultural
yang ingin dilakukanya, sebagai ketundukan pada perintah beribadah menegakkan
kebenaran, membawa pesantren pada kedudukan mengoreksi jalanya kehidupan
masyarakat secara terus menerus. Dalam keadaan sebuah pesantren tidak mampu
melaksanakan tugas transformasi kultural total ini, ia justru akan di
transformasikan oleh keadaan diluarnya. Proses saling menggeser (cancelling
interaction) ini menunjukkan betapa tidak suplementernya kedua cara hidup
ini, yang menunjukkan pula keterbatasan watak subkultural itu dari pesantren
itu sendiri[14].
Dari sudut
pengelolaan pendidikan didalamnya, watak mandiri pesantren dapat dilihat, baik
dalam sistem pendidikan dan strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang
ditimbulkannya dalam diri santri. Struktur pendidikan di pesantren berwatak
populis dan memiliki kelenturan yang
sangat besar. Semua orang, dari strata sosial manapun diterima dengan terbuka
di pesantren, tanpa hambatan administratif atau finansial apapun. Penerimaan
siswa tanpa seleksi ini memaksa pesantren untuk melenturkan struktur
pendidikanya. Tidak ada ketentuan berapa lama seorang santri harus tinggal di
pesantren, bisa dua puluh tahun, bisa juga sebulan. Tidak didapati perbedaan
besar dalam perlakuan antara santri dari berbagai tingkatan pendidikan, kecuali
beberapa orang yang telah dianggap mencapai derajat guru, juga merupakan
karakter watak mandiri dari pesantren.
Sistem pengajaran
yang bermula dari sorogan dimana seorang kiai mengajar santrinya yang
masih berjumlah sedikit secara bergilir santri persantri, pendidikan di
pesantren kemudian berkembang menjadi sistem komplek. Pengajian sorogan ini
diikuti oleh pengajian weton, dimana seorang kiai duduk dilantai masjid
atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan
dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraianya[15].
Dari gugusan
pengajaran sorogan dan weton ini kemudian muncullah sistem pendidikan yang
lengkap, dimana secara kolektif pesantren menawarkan pengajaran dalam unit-unit
yang terpisah satu dari yang lain dan berdiri sendiri. Seorang santri dapat
memilih unit-unit mana saja yang diikutinya, biasanya setelah konsultasi dengan
kiai dan gurunya sehingga tersusunlah kurikulum indivdual yang sangat fleksibel
dan sesuai dengan kebutuhan pribadi seorang santri sendiri. Dalam menentukan
kurikulum dan pelayanan individual kepada santri inilah muncul watak elitis
dari pesantren, yaitu dalam pemberian prioritas kepada sejumlah santri yang
diistimewakan. Dasar pembedaan pelayanan ini, dalam bentuk pemberian
pelajaran tersendiri oleh kiai, adalah
potensi kecerdasan yang tinggi atau hubungan sosial yang intensif antara orang
tua santri dan kiai. Anak-anak sesama kiai tentu saja mempeoleh perhatian
tersendiri, begitu pula anak-anak yang sudah tampak kecerdasanya yang tinggi
pada usia dini. Elitisme yang terjadi dalam sistem pendidikan pesantren
ini justru merupakan bagian dari watak kemandirianya karena ia dilandaskan pada
kemampuan melakukan seleksi ketat atas materi anak didik sehingga dapat dijamin
ketinggian mutu produk santri yang dihasilkan nanti
Dengan masuknya
sistem sekolah atau madrasah, sedikit demi sedikit banyak watak mandiri diatas
tergoyahkan. Seleksi dalam penerimaan siswa diperkenalkan, penyusunan kurikulum
seragam yang bersifat permanen lalu menjadi kebutuhan, sukses atau tidaknya
seorang santri dalam belajar lalu diukur dengan ukuran yang tertulis, diikuti
dengan adanya sistem klasikal. Lalu mulai muncullah kelas guru permanen yang
mencukupkan diri dengan menjadi guru tanpa menjadi kiai. Kalau tadinya
guru-guru yang diwaktu tidak mengajar justru menjadi petani, pedagang dipasar,
dan berbagai macam profesi lain merupakan corak yang dominan dari pesantren,
dengan timbulnya sistem pendidikan di madrasah lalu mereka menggantungkan nasib
pada kerja pengajar saja. Akibatnya muncul kebutuhan akan gaji tetap, yang
titik kulminasinya adalah keinginan untuk menjadi pegawai negeri sipil[16].
Perkembangan
tersebut selanjutnya memetakan pesantren dalam dua kelompok, yang pertama masih
setia dengan materi dan sistem lama yang kemudian disebut dengan pesantren
salaf dan yang kedua adalah pesantren yang mengalami pembaharuan baik dalam
sistem maupun materi, yang selanjutnya dikenal dengan istilah pesantren
kholaf.
KURIKULUM PESANTREN DALAM SEBUAH TAWARAN
Sistem pendidikan di
pondok pesantren yang termasuk kategori salaf masih belum memiliki kesamaan
dasar diluar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah) yang
hampir bersamaan atau diluar materi pelajaran yang berdekatan. Ketidakseragaman
tersebut menurut Habib Chirzin merupakan ciri khas pesantren salaf, sekaligus
merupakan tanda atas kebebasan dari tujuan pendidikan[17].Tapi
setidaknya pemetaan akan materi ajar dalam pesantren telah jelas, antara lain tauhid,
akhlaq, fiqih, tafsir, hadits, ilmu bahasa dan perangkat pendukungnya
seperti nahwu, shorof, ‘ilal, balaghoh, mantiq.
Ada beberapa
ketentuan yang dijadikan batasan dalam penyusunan model-model kurikulum, pertama,
ketentuan untuk menghindarkan pengulangan sepanjang tidak untuk pendalaman dan
penjenjangan. Kedua, pemberian tekanan pada latihan-latihan (tamrinat).
Ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan-lompatan yang tidak
berurutan dalam penetapan buku-buku wajib. Keempat, kurikulum tidak
terlalu ditekankan pada buku-buku wajib
tentang keutamaan akhlak[18].
Jika dirumuskan,
ketentuan-ketentuan diatas adalah sebagai berikut :
a)
Pemberian waktu
yang terbanyak dilakukan pada unsur nahwu, shorof dan fiqh,
karena kedua unsur ini masih memerlukan pengulangan, setidaknya untuk separo
dari masa berlakunya kurikulum.
b)
Mata pelajaran
lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang pada tahun-tahun berikutnya.
c)
Kalau diperlukan
pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan buku-buku utama (kutub
al-muthowwalah) seperti Shohih Bukhori atau Muslim untuk hadits
atau ihya’ untuk tasawwuf.
Dengan melihat pada
ketentuan-ketentuan diatas, dapatlah dibuat rumusan untuk kurikulum 6 tahun :
1.
tahun pertama
: nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
2.
tahun kedua :
nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
3.
tahun ketiga
: nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
4.
tahun keempat : fiqh,
balaghah, tafsir
5.
tahun kelima : mantiq,
ushul fiqh, dan hadits
6.
tahun keenam
: hadits dan tasawwuf[19]
Sementara itu,
pesantren kholaf atau pesantren modern, meskipun telah mengalami banyak
perubahan, tetapi tidak berarti pesantren kolaf meninggalkan sistem salaf.
Hampir semua pesantren modern meskipun telah menyelenggarakan sekolah sekolah
umum tetap menggunakan sistem salaf di pondoknya[20].
Seperti Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang.
Dengan materi
kurikulum yang ditawarkan diatas, pondok pesantren kholaf sekalipun telah
menyelenggarakan sekolah, materi kesalafan yang masih menjadi tradisi yang
awalnya tidak tersistematika kemudian akan menjadi lebih terstata sehingga
tujuanya lebih terarah dan jelas.
Sepintas jika
diperhatikan nampaknya pesantren kholaf lebih berkualitas daripada pesantren
salaf, karena sifatnya yang lebih akomodatif terhadap perkembangan dan
perubahan situasi dan keadaan masyarakat, tetapi sesunguhnya tidak demikian,
karena dengan masuknya ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan dipesantren,
bila tidak waspada, identitas asli pesantren sebagai lembaga pencetak ulama
serta pengembang, penyebar dan pelestari ajaran-ajaran islam akan memudar.
KEPEMIMPINAN KIAI DALAM PESANTREN
Kiai sebagai
pemimpin dalam terminologi pesantren salaf, adalah pemilik dan penguasa tunggal
di pesantren. Beliaulah yang menentukan segala kebijakan yang berlaku
didalamnya. Para ustadz dan pembantu lainya
berkedudukan sebagai tenaga profesional[21].
Oleh karena itu kiai mempunyai kedudukan khusus, ini karena segala bangunan dan
pembiayaan pesantren memang didanai dari uang pribadi kiai. Dialah yang
mendirikan, membangun dan menghidupi jalanya kegiatan pesantren, sehingga wajar
bila kiai mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar atas pesantrenya.
Sedangkan untuk
pesantren kholaf, segala kekayaan dan bangunan pesantren umumnya tidak dianggap
sebagai milik kiai, melainkan milik masyarakat. Sebab pada pesantren kholaf
pembiayaan pembangunan pesantren tidak hanya dari sang kiai, tetapi juga dari
masyarakat. Banyak komplek pesantren yang berstatus wakaf, baik dari kiai
terdahulu maupun orang-orang kaya disekitarnya.
Meskipun demikian,
dari segi karisma atau kekuasaan, tidak berarti peran kiai berkurang.
Kiai tetap memiliki kekuasaan mutlak atas kepengurusan pesantren. Hal ini
disebabkan para contributor beranggapan bahwa dana itu dianggap sebagai milik
Allah dan para kiai diakui sebagai pribadi yang –atas nama Allah atau agama-
mengurus dana dari masyarakat tersebut.
Menurut Gus Dur,
watak kepemimpinan kiai yang bersifat kharismatik, yang berangkat dari kekuatan
seorang pemimpin yang tertempa pengalaman, memiliki keunggulan kepribadian yang
dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain disekitarnya, memang sangat diperlukan
pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren, namun pada tahap-tahap
selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkanya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang
bersangkutan karena semua hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Kedua,
sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu termasuk calon pengganti yang
kreatifuntuk mencoba pola-pola pengembangan yang sekiranyabelum diterima oleh
kepemimpinan yang ada. Ketiga, pola pergantian pimpinan berlangsung
tiba-tiba dan tidak direncanakan yang lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab
alami, seperti meninggalnya sang pemimpin secara mendadak, sehingga seringkali
mengakibatkan perbedaan pendapat dan saling perlawanan diantara calon-caln
pengganti. Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat
kepemimpinan dipesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional. Seorang
pemimpin pesantren yang telah mencapai pengaruh besar dan luas dan santrinya
berasal dari berbagai daerah, biasanya tidak dapat mengimbangi peningkatan
pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi
perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi[22].
Kesemua kerugian
tersebut tidak berarti harus menghilangkan kepemimpinan kharismatik, tetapi
menuntut penerapan pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan
sebelumnya.
DINAMISASI DAN MODERNISASI PESANTREN DALAM KONTEK
LEMBAGA DAN KEILMUAN
Proses dinamisasi
suatu lembaga kemasyarakatan, lebih-lebih seperti pesantren adalah suatu usaha
yang rumit dan memakan waktu yang lama. Tidak ada suatu konsep pun yang dapat
disusun tanpa mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaanya kemudian.
Dinamisasi, pada
dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalaan kembali nilai-nilai hidup
positif yang telah ada, selain juga mencakup pula pergantian nilai-nilai lama
itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses pergantian
nilai itu dinamai modernisasi[23].
Untuk mengemukakan
konsep yang relevan bagi kebutuhan pesantren, maka terlebih dahulu kita
mengetahui situasi yang dihadapi oleh pesantren. Situasi kejiwaan yang secara
faktual dirasakan oleh pesantren dewasa ini adalah meluasnya rasa tak menentu
yang disewbabkan oleh : pertama, keadaan bangsa yang serba transisional.
Kedua, kesadaran akan sedikitnya kemampuan untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pesantren terutama kemajuan teknik. Ketiga,
bekunya struktur sarana-sarana yang dihadapi pesantren pada umumnya, baik
sarana yang berupa menejemen/pemimpinatau sarana materiil yang masih sangat
terbatas. Keempat, sulitnya mengajak masyarakat tradisionil yang
berafiliasi pada pesantren kearah sikap hidup yang lebih serasi dengan
kebutuhan-kebutuhan nyata pesantren, padahal pesantren sangat membutuhkan
dukungan mereka.
Dari situasi
kejiwaan tersebut memunculkan reaksi, pertama, berbentuk menutup diri
dari perkembangan masyarakat luar, terutama dari kegiatan yang mengancam
kemurnian kehidupan beragama. Kedua, mempergiat proses penciptaan
solidaritas (solidarity making) yang antara pesantren dan masyarakat.
Dengan menyadari
kondisi ini, maka kita akan dapat menentukan strategi dasar yang harus ditempuh
untuk menyusun suatu konsep perbaikan yang relevan bagi kebutuhan pesantren.
Strategi itu adalah :
1.
Usaha untuk
meyakinkan pesantren bahwa keadaan yang rawan hanyalah merupakan sebagian saja
dari keadaan yang umum yang melanda kehidupan bangsa ini. Keadaan ini dapat
mereka atasi dengan melaksanakan proyek-proyek perbaikan yang bersifat selektif
dan bertahap.
2.
Jika keyakinan
itu dapat ditumbuhkan dikalangan pesantren, tentu saja dengan cara persuasive,
maka mereka dapat diajak memilih penggarapan proyek yang paling mendesak
pemecahanya dimasing-masing tempat.
3.
Berdasarkan
pilihan proyek yang akan digarap itu barulah dicari cara-cara terbaik untuk
mempersiapkan penggarapanya. Pengembangan kecakapan tenaga pelaksana, perbaikan
struktur menejemen pesantren yang diperlukan untuk menyukseskan proyek yang
akan digarap, serta usaha teratur untuk menyiapkan dana bagi pembiayaan proyek,
dilakukan pada tahap ini.
4.
Jika telah
terbukti terlaksananya ketiga pokok diatas dengan baik, barulah pesantren
ditawarkan konsep-konsep yang lebih lengkap dan komplek.
Mengingat strategi
dasar itu menentukan penggarapan proyek-proyek pat menggarap konsep yang lebih
bersifat menyeluruh, maka dibawah ini dikemukakan beberapa proyek yang dapat
dipilih, disusun dalam penggolongan berdasarkan kelompok masing-masing :
a.
Kelompok
pembinaan pimpinan pesantren, yang dititik beratkan pada pengembangan pola-pola
kepemimpinan yang lebih sesuai dengan kepentingan pesantren dimasa mendatang.
b.
Kelompok
pembinaan mutu pengajaran dipesantren yang meliputi penyusunan kurikulum yang
lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus pengajaran yang
dapat mengembangkan rasa kesejahteraan (historicy) pada ahli-ahli agama
kita dimasa depan, penataran periodik bagi para tenaga pengajar, penyediaan
alat-alat pengajaran yang lebih memadai.
c.
Kelompok
pembinaan pola-pola hubungan pesantren dengan lembaga kemasyarakatan yang
lainya termasuk lembaga pemerintahan.
d.
Kelompok
pembinaan keterampilan bagi para santri, baik yang berupa pendidikan
kejuruan atau pendidikan karakter yang
mampu menyandang beban penyebaran ide itu sendiri dengan baik[24]
[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of
ABDURRAHMAN WAHID, Yogyakarta, LkiS, 2006, h.
25
[2] Ibid h.35
[3] James A. Banks.
“Multicultural Education: Historical
Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan
Cherry A. McGee, San Francisco:
Jossey-Bass, 2001. hlm. 3 -24
[4] Abdurrahman Wahid, Islamku
Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223
[6] kedaulatan-rakyat.com.tanggal
26 oktober 2002
[8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta,
2006, h.224
[9] Abdurrahman Wahid dalam Pesantren dan perubahan, LP3ES, Jakarta, 1995. h.39
[10] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta,
2007. h. 3-7
[11] Ibid. h. 9-10
[12] Ibid. h.47-50
[13] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta,
1996. h. 40
[14] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta,
2007. h. 136-137
[15] Ibid. h. 138-140
[16] Ibid. h.141-142
[17] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa
Depan, Gema Insani Press, Jakarta,
1997. h. 85
[18] Ibid h. 162-163
[19] Ibid. h. 164
[20] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa
Depan, Gema Insani Press, Jakarta,
1997. h. 87
[21] Ibid. h. 85
[22] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta,
2007. h. 181-182
[23] Ibid. h.53
[24] Ibid. h. 59-60
terimakasih...... infonya
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus