Senin, 20 Agustus 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. ABDURAHMAN WAHID (GUS DUR)


    RIWAYAT HIDUP
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan luar biasa.Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah 7 september[1] . Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2].Sulung dari enam bersaudara.
Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Syamsuri.Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren.
Panggilan Gus merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti Kang atau Ning. Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur.
Dia diajar mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Kiai Haji Hasyim sy'ari, di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim.Ia mendapat pendidikan disekolah dari ayahnya, tetapi sebagaimana pelajar madrasah lainya, ia pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam tulisan Arab, Kiai Haji Wahid Hasyim lantas mengajarinya membaca huruf latin serta bahasa yang merupakan alat percakapan orang Belanda dan orang Indonesia yaitu bahasa Melayu lokal.
Kiai Haji Wahid Hasyim  yang juga merupakan ayah Gus Dur adalah seorang nasionalis terkemuka, beliau banyak berjuang untuk kemerdekaan bahkan untuk kebangkitan bangsa Indonesia, ini terbukti dari keterlibatan beliau dalam berbagai organisasi seperti MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), kemudian beliau juga turut andil besar dalm proses pembentukan Hizbullah yang merupakan sayap militer MIAI.
Pada tahun 1944, berdasarkan kesepakatan dengan sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim bersama keluarga pindah ke Jakarta untuk menjadi kuasa beliau mengurusi Shumubu yang pada akhirnya nanti berganti nama menjadi Masyumi. Tinggal di daerah menteng menjadikan Gus Dur kecil banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar dari  berbagai kalangan, sebut saja Tan Malaka, pemimpin komunis yang terkenal itu.  
Pada saat Jepang menyerah, tahun 1945, Gus Dur dan keluarga pindah ke Jombang, namun tidak lama setelah itu, tepatnya tahun 1949, keluarga ini harus kembali lagi ke Jakarta, karena sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim terlibat kegiatan pemerintahan. 
Pendidikanya dimulai dari Sekolah Dasar KRIS di Jakarta pusat, tapi setelah memasuki kelas empat dia pindah sekolah yang berada didekat rumah tinggalnya, yang kedua-duanya adalah sekolah biasa untuk ukuran seorang putra menteri. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekuler, namun tentunya dia sudah pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur’an ketika masih kecil. Dirumahnya, terdapat perpustakaan pribadi yang besar dan terdapat beberapa surat kabar, bahkan ada beberapa diantaranya merupakan terbitan orang katholik atau orang non muslim lainya.
Dari sini, Gus Dur kecil kaya akan khasanah pengetahuan dan luas akan cakrawala berpikirnya, dan ini adalah cita-cita dari sang ayah.
Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, tahun 1953, ketika dia berumur 12 tahun. Setahun kemudian dia lulus sekolah dasar untuk kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), karena perasaan sedih saat ditinggal sang ayah masih terasa, ia sempat mengulang pada saat kelas satu, namun sebenarnya dia pandai, namun pada saat yang sama dia cenderung malas-malasan. Waktunya dihabiskan untuk mambaca buku dan menonton sepak bola, karena dirasa pelajaran di sekolah kurang menantang.
Setelah menamatkan di SMEP, tahun 1957, Gus Dur mengikuti pelajaran pesantren penuh di pesantren Tegalrejo, Magelang yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta yang diasuh Kiai Khudori. Pada saat yang sama dia juga belajar paro waktu di pesantren Denanyar Jombang yang di asuh oleh kakeknya sendiri, Kiai Bisri Syamsuri. Gus Dur hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pelajaranya, dua tahun lebih cepat dari yang semestinya, bahkan sebagian besar waktunya dihabiskan diluar kelas untuk membaca buku-buku Barat.
Ketika tinggal di Yogyakarta, dia mulai menyukai film secara serius. Meski demikian, sebagai seorang remaja yang sangat menggandrungi film, apresiasi Gus dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh teman sebayanya. Di Yogyakarta Gus Dur juga mulai menyukai wayang kulit yang merupakan pertunjukan wayang tradisional. Di kota inilah dia juga banyak menghabiskan waktu untuk membaca karya sastra, termasuk cerita-cerita silat yang menceritakan pendekar-pendekar silat Cina yang kaya akan falsafah itu.
Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di pesatren Tambak beras di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar sampai tahun1963, pada saat bersamaan dia selalu menjalin komunikasi dengan Kiai Bisri Syamsuri. Pada tahun yang sama, dia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang dilaluinya selama tujuh tahun.
 Namun karena terlalu aktif berorganisasi, ia tidak berhasil menyelesaikan kuliah. Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim.

      PENDIDIKAN ISLAM  MENURUT GUS DUR ( KONSEP SEKALIGUS TUJUAN )
Dalam  masyarakat  ditemukan  berbagai  individu  atau  kelompok  yang  berasal dari  budaya  berbeda,  demikian  pula  dalam  pendidikan,  diversitas  tersebut  tidak  bisa dielakkan.  Diversitas  budaya  itu  bisa  ditemukan  di  kalangan  peserta  didik  maupun  para guru  yang  terlibat  -secara  langsung  atau  tidak-  dalam  satu  proses  pendidikan.  Diversitas itu  juga  bisa  ditemukan  melalui  pengkayaan  budaya-budaya  lain  yang  ada  dan berkembang  dalam  konstelasi  budaya,  lokal,  nasional  dan  global.    Diversitas  budaya  ini  akan mungkin  tercapai  dalam  pendidikan  jika  pendidikan  itu  sendiri  mengakui  keragaman yang  ada,  bersikap  terbuka  (openess)  dan  memberi  ruang  kepada  setiap  perbedaan  yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam  pelaksanaannya,  Banks  menjelaskan  lima  dimensi  yang  harus  ada  yaitu, pertama,  adanya  integrasi  pendidikan  dalam  kurikulum  (content  integration) yang didalamnya  melibatkan  keragaman  dalam  satu  kultur  pendidikan  yang  tujuan  utamanya adalah  menghapus  prasangka.  Kedua,  konstruksi  ilmu  pengetahuan  (knowledge construction)  yang  diwujudkan  dengan  mengetahui  dan  memahami  secara  komperhensif keragaman  yang  ada.  Ketiga,  pengurangan  prasangka  (prejudice  reduction)  yang  lahir dari  interaksi  antar  keragaman  dalam  kultur  pendidikan.  Keempat,  pedagogik  kesetaraan manusia  (equity  pedagogy)  yang  memberi  ruang  dan  kesempatan  yang  sama  kepada setiap  elemen  yang  beragam.  Kelima,  pemberdayaan  kebudayaan  sekolah  (empowering school  culture). Hal yang  kelima  ini adalah  tujuan  dari  pendidikan  multikultur yaitu  agar sekolah  menjadi  elemen  pengentas  sosial  (transformasi  sosial)  dari  struktur  masyarakat yang timpang  kepada struktur yang berkeadilan[3].
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan ajaran formal tentang Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada.[4].
Penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.
 Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman  ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama, diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya,  pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”[5].
Oleh karena itu. pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Hanya pendidikan yang megemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Menurut Gus Dur, sistem pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab sistem pendidikan kita sekarang hanya formal. Orang tidak punya ijazah tidak dipakai, padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi tidak pernah dihargai, paparnya.[6].
Bukti sejarah mengatakan, di tengah pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa dalam menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional, kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan, tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai bidang[7]
Gus Dur melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen pembaharuan yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas  muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s)[8].

     PENDIDIKAN ISLAM  DALAM KONTEK KELEMBAGAAN YANG MANDIRI
Dari perspektif kelembagaan, pesantren merupakan lembaga kulturil tersendiri,  karena keberadaanya ditengah-tangah masyarakat dengan tatanan system dan tata nilai yang sudah mapan terlebih dahulu, maka ia merupakan subkultur,  sebuah istilah yang sebenarnya belum merata dikenal oleh semua pesantren, karena penggunaan istilah itu adalah  upaya pengenalan identitas kulturil yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukan oleh kalangan pesantren sendiri. Penggunaan istilah itu didorong oleh ketiadaan istilah lain yang lebih tepat dalam hasil pengolahan data empiris yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah[9].
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya :
a.   Komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitar. Dalam lingkungan fisik seperti ini diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri, mulai dari jadwal kegiatan yang menyimpang dari pengertian rutin kegiatan masyarakat disekitarnya yang mengikuti jadwal sholat rowatib, lamanya waktu belajar mengajar sampai masa belajar di pesantren itu sendiri.
b.  Struktur atau sistematika pengajaran yang diberikan. Dijumpai jenjang pelajaran yang berulang ulang dari tingkat ketingkat tanpa terlihat kesudahanya.
c.   Cara pemberian pelajaranya dan dalam penggunaan materi. Pengajian diberikan dalam bentuk seperti kuliah terbuka dimana sang kiai membaca, menerjemahkan dan kemudian menerangkan persolan-persolan yang disebutkan dalam teks, kemudian santri membaca ulang teks itu dihadapan kiai atau setelah kembali ke biliknya, ataupun dalam pengajian ulang antara sesama teman setingkat pengajianya[10].
Dengan gambaran sepintas lalu tentang beberapa aspek pesantren yang memiliki keunikan sendiri tersebut telah memberikan gambaran konkrit tentang pengertian subkultur yang terdapat dalam kehidupan pesantren. Karena sesuatau itu dapat dikatakan sebagai subkultur minimal harus memiliki keunikanya sendiri dalam aspek-aspek berikut : cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Dan ketiga persyaratan minimal itu terdapat dalam kehidupan dipesantren[11]
Adapun ciri-ciri khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, serta membedakanya dengan lembaga pendidikan lainya adalah :
1.  Pondok. Yaitu tempat  kiai dan santri tinggal.
2.  Masjid. Dalam kontek ini masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar.
3.  Santri. Yang terbagi dalam kelompok, yaitu santri mukim yang berasal dari jauh dan santri kalong yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dipesantren.
4.  Kiai
5.  Kitab-kitab islam klasik atau yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning, yang dikarang oleh ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama islam dan bahasa arab[12].
Ciri khas yang lain secara kultur yang dimiliki oleh pesantren adalah watak mandiri, kemandirian tersebut dapat dilihat dari dua sudut, yaitu fungsi kemasyarakatan pesantren secara umum dan pola pendidikan yang dikembangkan.
Dilihat dari sudut fungsi kemasyarakatanya, secara umum pesantren adalah sebuah alternatif ideal bagi perkembangan keadaan yang terjadi diluarnya. Sepintas lalu pesantren memainkan peranan sebagai subkultur bagi kehidupan masyarakat secara umum, namun harus diberikan batasan lain pada pesantren tersebut. Memang benar, pesantren memiliki perwatakan subkultural, namun ia justru tidak merupakan bagian dari sesuatu atas kultur apapun. Pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan sosial, dan tujuan-tujuanya sendiri sehingga ia lebih merupakan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari dunia lain diluarnya.
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam dari sudut historis cultural, pesantren dapat dikatakan sebagai training center yang otomatis menjadi cultural central Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat islam sendiri yang secara defacto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah[13].
Transformasi kultural yang ingin dilakukanya, sebagai ketundukan pada perintah beribadah menegakkan kebenaran, membawa pesantren pada kedudukan mengoreksi jalanya kehidupan masyarakat secara terus menerus. Dalam keadaan sebuah pesantren tidak mampu melaksanakan tugas transformasi kultural total ini, ia justru akan di transformasikan oleh keadaan diluarnya. Proses saling menggeser (cancelling interaction) ini menunjukkan betapa tidak suplementernya kedua cara hidup ini, yang menunjukkan pula keterbatasan watak subkultural itu dari pesantren itu sendiri[14].
Dari sudut pengelolaan pendidikan didalamnya, watak mandiri pesantren dapat dilihat, baik dalam sistem pendidikan dan strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang ditimbulkannya dalam diri santri. Struktur pendidikan di pesantren berwatak populis  dan memiliki kelenturan yang sangat besar. Semua orang, dari strata sosial manapun diterima dengan terbuka di pesantren, tanpa hambatan administratif atau finansial apapun. Penerimaan siswa tanpa seleksi ini memaksa pesantren untuk melenturkan struktur pendidikanya. Tidak ada ketentuan berapa lama seorang santri harus tinggal di pesantren, bisa dua puluh tahun, bisa juga sebulan. Tidak didapati perbedaan besar dalam perlakuan antara santri dari berbagai tingkatan pendidikan, kecuali beberapa orang yang telah dianggap mencapai derajat guru, juga merupakan karakter watak mandiri dari pesantren.
Sistem pengajaran yang bermula dari sorogan dimana seorang kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri persantri, pendidikan di pesantren kemudian berkembang menjadi sistem komplek. Pengajian sorogan ini diikuti oleh pengajian weton, dimana seorang kiai duduk dilantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraianya[15].
Dari gugusan pengajaran sorogan dan weton ini kemudian muncullah sistem pendidikan yang lengkap, dimana secara kolektif pesantren menawarkan pengajaran dalam unit-unit yang terpisah satu dari yang lain dan berdiri sendiri. Seorang santri dapat memilih unit-unit mana saja yang diikutinya, biasanya setelah konsultasi dengan kiai dan gurunya sehingga tersusunlah kurikulum indivdual yang sangat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pribadi seorang santri sendiri. Dalam menentukan kurikulum dan pelayanan individual kepada santri inilah muncul watak elitis dari pesantren, yaitu dalam pemberian prioritas kepada sejumlah santri yang diistimewakan. Dasar pembedaan pelayanan ini, dalam bentuk pemberian pelajaran  tersendiri oleh kiai, adalah potensi kecerdasan yang tinggi atau hubungan sosial yang intensif antara orang tua santri dan kiai. Anak-anak sesama kiai tentu saja mempeoleh perhatian tersendiri, begitu pula anak-anak yang sudah tampak kecerdasanya yang tinggi pada usia dini. Elitisme yang terjadi dalam sistem pendidikan pesantren ini justru merupakan bagian dari watak kemandirianya karena ia dilandaskan pada kemampuan melakukan seleksi ketat atas materi anak didik sehingga dapat dijamin ketinggian mutu produk santri yang dihasilkan nanti
Dengan masuknya sistem sekolah atau madrasah, sedikit demi sedikit banyak watak mandiri diatas tergoyahkan. Seleksi dalam penerimaan siswa diperkenalkan, penyusunan kurikulum seragam yang bersifat permanen lalu menjadi kebutuhan, sukses atau tidaknya seorang santri dalam belajar lalu diukur dengan ukuran yang tertulis, diikuti dengan adanya sistem klasikal. Lalu mulai muncullah kelas guru permanen yang mencukupkan diri dengan menjadi guru tanpa menjadi kiai. Kalau tadinya guru-guru yang diwaktu tidak mengajar justru menjadi petani, pedagang dipasar, dan berbagai macam profesi lain merupakan corak yang dominan dari pesantren, dengan timbulnya sistem pendidikan di madrasah lalu mereka menggantungkan nasib pada kerja pengajar saja. Akibatnya muncul kebutuhan akan gaji tetap, yang titik kulminasinya adalah keinginan untuk menjadi pegawai negeri sipil[16].
Perkembangan tersebut selanjutnya memetakan pesantren dalam dua kelompok, yang pertama masih setia dengan materi dan sistem lama yang kemudian disebut dengan pesantren salaf dan yang kedua adalah pesantren yang mengalami pembaharuan baik dalam sistem maupun materi, yang selanjutnya dikenal dengan istilah pesantren kholaf.

     KURIKULUM PESANTREN DALAM SEBUAH TAWARAN
Sistem pendidikan di pondok pesantren yang termasuk kategori salaf masih belum memiliki kesamaan dasar diluar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah) yang hampir bersamaan atau diluar materi pelajaran yang berdekatan. Ketidakseragaman tersebut menurut Habib Chirzin merupakan ciri khas pesantren salaf, sekaligus merupakan tanda atas kebebasan dari tujuan pendidikan[17].Tapi setidaknya pemetaan akan materi ajar dalam pesantren telah jelas, antara lain tauhid, akhlaq, fiqih, tafsir, hadits, ilmu bahasa dan perangkat pendukungnya seperti nahwu, shorof, ‘ilal, balaghoh, mantiq.
Ada beberapa ketentuan yang dijadikan batasan dalam penyusunan model-model kurikulum, pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan sepanjang tidak untuk pendalaman dan penjenjangan. Kedua, pemberian tekanan pada latihan-latihan (tamrinat). Ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib. Keempat, kurikulum tidak terlalu ditekankan pada buku-buku  wajib tentang keutamaan akhlak[18].
Jika dirumuskan, ketentuan-ketentuan diatas adalah sebagai berikut :
a)   Pemberian waktu yang terbanyak dilakukan pada unsur nahwu, shorof dan fiqh, karena kedua unsur ini masih memerlukan pengulangan, setidaknya untuk separo dari masa berlakunya kurikulum.
b)  Mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang pada tahun-tahun berikutnya.
c)   Kalau diperlukan pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan buku-buku utama (kutub al-muthowwalah) seperti Shohih Bukhori atau Muslim untuk hadits atau ihya’ untuk tasawwuf.
Dengan melihat pada ketentuan-ketentuan diatas, dapatlah dibuat rumusan untuk kurikulum 6 tahun :
1.  tahun pertama : nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
2.  tahun kedua : nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
3.  tahun ketiga : nahwu, fiqh, sharaf, tauhid
4.  tahun keempat : fiqh, balaghah, tafsir
5.  tahun kelima : mantiq, ushul fiqh, dan hadits
6.  tahun keenam : hadits dan tasawwuf[19]
Sementara itu, pesantren kholaf atau pesantren modern, meskipun telah mengalami banyak perubahan, tetapi tidak berarti pesantren kolaf meninggalkan sistem salaf. Hampir semua pesantren modern meskipun telah menyelenggarakan sekolah sekolah umum tetap menggunakan sistem salaf di pondoknya[20]. Seperti Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang.
Dengan materi kurikulum yang ditawarkan diatas, pondok pesantren kholaf sekalipun telah menyelenggarakan sekolah, materi kesalafan yang masih menjadi tradisi yang awalnya tidak tersistematika kemudian akan menjadi lebih terstata sehingga tujuanya lebih terarah dan jelas.
Sepintas jika diperhatikan nampaknya pesantren kholaf lebih berkualitas daripada pesantren salaf, karena sifatnya yang lebih akomodatif terhadap perkembangan dan perubahan situasi dan keadaan masyarakat, tetapi sesunguhnya tidak demikian, karena dengan masuknya ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan dipesantren, bila tidak waspada, identitas asli pesantren sebagai lembaga pencetak ulama serta pengembang, penyebar dan pelestari ajaran-ajaran islam akan memudar.

      KEPEMIMPINAN KIAI DALAM PESANTREN
Kiai sebagai pemimpin dalam terminologi pesantren salaf, adalah pemilik dan penguasa tunggal di pesantren. Beliaulah yang menentukan segala kebijakan yang berlaku didalamnya. Para ustadz dan pembantu lainya berkedudukan sebagai tenaga profesional[21]. Oleh karena itu kiai mempunyai kedudukan khusus, ini karena segala bangunan dan pembiayaan pesantren memang didanai dari uang pribadi kiai. Dialah yang mendirikan, membangun dan menghidupi jalanya kegiatan pesantren, sehingga wajar bila kiai mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar atas pesantrenya.
Sedangkan untuk pesantren kholaf, segala kekayaan dan bangunan pesantren umumnya tidak dianggap sebagai milik kiai, melainkan milik masyarakat. Sebab pada pesantren kholaf pembiayaan pembangunan pesantren tidak hanya dari sang kiai, tetapi juga dari masyarakat. Banyak komplek pesantren yang berstatus wakaf, baik dari kiai terdahulu maupun orang-orang kaya disekitarnya.
Meskipun demikian, dari segi karisma atau kekuasaan, tidak berarti peran kiai berkurang. Kiai tetap memiliki kekuasaan mutlak atas kepengurusan pesantren. Hal ini disebabkan para contributor beranggapan bahwa dana itu dianggap sebagai milik Allah dan para kiai diakui sebagai pribadi yang –atas nama Allah atau agama- mengurus dana dari masyarakat tersebut.
Menurut Gus Dur, watak kepemimpinan kiai yang bersifat kharismatik, yang berangkat dari kekuatan seorang pemimpin yang tertempa pengalaman, memiliki keunggulan kepribadian yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain disekitarnya, memang sangat diperlukan pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren, namun pada tahap-tahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkanya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan karena semua hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu termasuk calon pengganti yang kreatifuntuk mencoba pola-pola pengembangan yang sekiranyabelum diterima oleh kepemimpinan yang ada. Ketiga, pola pergantian pimpinan berlangsung tiba-tiba dan tidak direncanakan yang lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami, seperti meninggalnya sang pemimpin secara mendadak, sehingga seringkali mengakibatkan perbedaan pendapat dan saling perlawanan diantara calon-caln pengganti. Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan dipesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional. Seorang pemimpin pesantren yang telah mencapai pengaruh besar dan luas dan santrinya berasal dari berbagai daerah, biasanya tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi[22].
Kesemua kerugian tersebut tidak berarti harus menghilangkan kepemimpinan kharismatik, tetapi menuntut penerapan pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya.

    DINAMISASI DAN MODERNISASI PESANTREN DALAM KONTEK LEMBAGA DAN KEILMUAN
Proses dinamisasi suatu lembaga kemasyarakatan, lebih-lebih seperti pesantren adalah suatu usaha yang rumit dan memakan waktu yang lama. Tidak ada suatu konsep pun yang dapat disusun tanpa mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaanya kemudian.
Dinamisasi, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalaan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, selain juga mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses pergantian nilai itu dinamai modernisasi[23].
Untuk mengemukakan konsep yang relevan bagi kebutuhan pesantren, maka terlebih dahulu kita mengetahui situasi yang dihadapi oleh pesantren. Situasi kejiwaan yang secara faktual dirasakan oleh pesantren dewasa ini adalah meluasnya rasa tak menentu yang disewbabkan oleh : pertama, keadaan bangsa yang serba transisional. Kedua, kesadaran akan sedikitnya kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pesantren terutama kemajuan teknik. Ketiga, bekunya struktur sarana-sarana yang dihadapi pesantren pada umumnya, baik sarana yang berupa menejemen/pemimpinatau sarana materiil yang masih sangat terbatas. Keempat, sulitnya mengajak masyarakat tradisionil yang berafiliasi pada pesantren kearah sikap hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan-kebutuhan nyata pesantren, padahal pesantren sangat membutuhkan dukungan mereka.
Dari situasi kejiwaan tersebut memunculkan reaksi, pertama, berbentuk menutup diri dari perkembangan masyarakat luar, terutama dari kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama. Kedua, mempergiat proses penciptaan solidaritas (solidarity making) yang antara pesantren dan masyarakat.
Dengan menyadari kondisi ini, maka kita akan dapat menentukan strategi dasar yang harus ditempuh untuk menyusun suatu konsep perbaikan yang relevan bagi kebutuhan pesantren. Strategi itu adalah :
1.  Usaha untuk meyakinkan pesantren bahwa keadaan yang rawan hanyalah merupakan sebagian saja dari keadaan yang umum yang melanda kehidupan bangsa ini. Keadaan ini dapat mereka atasi dengan melaksanakan proyek-proyek perbaikan yang bersifat selektif dan bertahap.
2.  Jika keyakinan itu dapat ditumbuhkan dikalangan pesantren, tentu saja dengan cara persuasive, maka mereka dapat diajak memilih penggarapan proyek yang paling mendesak pemecahanya dimasing-masing tempat.
3.  Berdasarkan pilihan proyek yang akan digarap itu barulah dicari cara-cara terbaik untuk mempersiapkan penggarapanya. Pengembangan kecakapan tenaga pelaksana, perbaikan struktur menejemen pesantren yang diperlukan untuk menyukseskan proyek yang akan digarap, serta usaha teratur untuk menyiapkan dana bagi pembiayaan proyek, dilakukan pada tahap ini.
4.  Jika telah terbukti terlaksananya ketiga pokok diatas dengan baik, barulah pesantren ditawarkan konsep-konsep yang lebih lengkap dan komplek.
Mengingat strategi dasar itu menentukan penggarapan proyek-proyek pat menggarap konsep yang lebih bersifat menyeluruh, maka dibawah ini dikemukakan beberapa proyek yang dapat dipilih, disusun dalam penggolongan berdasarkan kelompok masing-masing :
a.   Kelompok pembinaan pimpinan pesantren, yang dititik beratkan pada pengembangan pola-pola kepemimpinan yang lebih sesuai dengan kepentingan pesantren dimasa mendatang.
b.  Kelompok pembinaan mutu pengajaran dipesantren yang meliputi penyusunan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus pengajaran yang dapat mengembangkan rasa kesejahteraan (historicy) pada ahli-ahli agama kita dimasa depan, penataran periodik bagi para tenaga pengajar, penyediaan alat-alat pengajaran yang lebih memadai.
c.   Kelompok pembinaan pola-pola hubungan pesantren dengan lembaga kemasyarakatan yang lainya termasuk lembaga pemerintahan.
d.  Kelompok pembinaan keterampilan bagi para santri, baik yang berupa pendidikan kejuruan  atau pendidikan karakter yang mampu menyandang beban penyebaran ide itu sendiri dengan baik[24]


[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[2] Ibid h.35
[3] James  A.  Banks.  “Multicultural  Education:  Historical  Development,  Dimensions,  and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San Francisco: Jossey-Bass, 2001. hlm. 3 -24
[4]  Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223

[5] Kamrani Buseri.. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah UII Press, Yogyakarta. . 2003.h.123

[6]  kedaulatan-rakyat.com.tanggal 26 oktober 2002
[7] Ismail S. Wekke, dalam Majalah Independensia, edisi Juli 2007

[8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.224
[9] Abdurrahman Wahid dalam Pesantren dan perubahan, LP3ES, Jakarta, 1995. h.39
[10] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta, 2007. h. 3-7
[11] Ibid. h. 9-10
[12] Ibid. h.47-50
[13] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996. h. 40
[14] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta, 2007. h. 136-137
[15] Ibid. h. 138-140
[16] Ibid. h.141-142
[17] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Jakarta, 1997. h. 85
[18] Ibid h. 162-163
[19] Ibid. h. 164
[20] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Jakarta, 1997. h. 87
[21] Ibid. h. 85
[22] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta, 2007. h. 181-182
[23] Ibid. h.53
[24] Ibid. h. 59-60

2 komentar: