Selasa, 21 Agustus 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYAIKH NAWAWI AL BANTENI


1.      Syekh Nawawi Al-Banteni dalam kitab تنقح القول الحثيث dalam membahas pendidikan Islam (Ilmu dan Ulama’) berpijak pada firman Allah yang artinya adalah :
Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Imron : 18)[1]
Dalam ayat tersebut menurut Syekh Nawawi bahwa orang yang berilmu merupakan orang yang mulya dan ulama’ berdiri tegak dengan jujur / adil, orang yang berilmu disebut ulama’ hal ini berarti orang yang ilmu agamanya mempuni, kedudukannya lebih terhormat. Begitu besar perhatian Syekh Nawawi pada ilmu itu didasarkan pada hadits nabi.[2]
قال النبى صلعم لاِبْنِ مَسْعُوْدٍ ر ض يَا اِبْنَ مَسْعُوْدٍ جُلُوْسُكَ سَاعَةً فِى مَجْلِسِ الْعِلْمِ لاتَمَسَّ قَلَمًا وَلاَتَكْتُبُ حَرْفًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِتْقِ اَلْفِ رَقَبَةٍ الخى.
Artinya : Nabi berkata sau kepada Ibnu Masud ra wahai Ibnu Masud dudukmu sebentar (ساعة) dalam suatu majlis ilmu tanpa pegang pulpen tanpa menulis satu huruf pun itu lebih baik dari pada memerdekakan budak seribu dst.
وَنَظْرُكَ اِلَى وَجْهِ الْعَالِمِ خَيْرُ لَكَ مِنْ فَرْسٍ تَصَذَقَتَ بها فى سبل الله
Dalam kelanjutan hadits tersebut dijelaskan bahwa melihat wajah orang alim (berilmu) itu lebih baik dari seribu kuda yang disodaqohkan pada jalan Allah, menurut Syekh Nawawi kita melihat (نَظْرٌ) dimulai dengan بِنَظْرِ الْمَحَبَّةَ , melihat dengan rasa cinta (senang)[3] Persoalannya sekarang kalau kebetulan orang alim tersebut guru kita (baca kiyai) mungkin bisa terjadi rasa senang itu ada, akan tetapi bila orang alim itu bukan dari golongan / kelompoknya, walaupun mengenalnya, tidak menimbulkan rasa senang bahkan anti pati (cuek) hal ini bisa terjadi lebih-lebih berbeda pilihannya (partainya)
Menurut hemat kami, menghormati orang alim baik guru kita/bukan hendaknya tidak berlebihan yang terpenting adanya kata batin bahwa orang alim (berilmu agama) itu adalah pewaris para nabi yang harus dihormati.
اَلْعُلَمَآءَ وَرَسَةُ اْلاَنْبِيَآءِ
Kalau toh ada perbedaan kultur/budaya/afiliasi politiknya lihatlah dari sisi positifnya / baiknya saja, karena tidak ada larangan bagi orang alim (ulama’) ikut dalam politik praktis, kalau ada yang terjebak dalam kesalahan / dosa itu wajar karena tak ada manusia yang tak pernah berbuat salah / dosa, tiada gading yang tak retak.
Kesalahan orang alim memang berakibat fatal baik bagi dirinya maupun keluarganya serta pengikutnya. Orang alim itu laksana baju putih ada kotoran sedikit pasti mudah terlihat, oleh karena itu kita perlu mengambil pelajaran dari beberapa kejadian / kasus yang dialami orang alim (ulama’)
Pada lanjutan hadits berikutnya[4] :
وَسَلاَمُكَ عَلَى الْعَالِمِ خَيْرُ لَكَ مِنْ عِبَادَةِ اَلْفِ سَنَةٍ
Bila kita bertemu orang alim patut memberi salam dan berjabat tangan jika memungkinkan, kalau tidak memungkinkan jangan memaksakan diri, tergantung situasinya, kalau seikiranya tidak berbahaya segera berjabat tangan dengan orang alim, apalagi ulama’ karismatik maka akan terjadi hal-hal yang berbahaya (berdesakan).
Selanjutnya Syekh Nawawi dalam masalah ilmu dan ulama’ (pendidikan keagamaan ini) menggunakan hadits dari Umar bin Khattab.[5]
وَعَنْ عُمَربْن الخطاب قال سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلعم يَقُوْلُ مَنْ مَشَى اِلَى حَلْقَةِ عَالِمٍ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ مِائَةُ حَسَنَةٍ فَاِذَ جَلَسَ عِنْدَهُ وَاسْتَمَعَ مَا يَقُوْلُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ كَلِمَةٍ حَسَنَةٌ كَذَا ذَكَرَهُ النَّوَوِى فِى رياض الصًّالِحين.
Dalam hadits tersebut disyaratkan bahwa “langkah” seseorang dalam menuntut ilmu sudah mendapat pahala (kebaikan apalagi bisa duduk bersanding dengan orang yang berilmu dan mendengarkan ucapannya tentu akan menambah wawasan keilmuan kita (tambah kebaikan).
Syekh Nawawi rupanya sangat jeli bahwa dalam menuntut ilmu perlu proses tahapan tertentu, ada tempat belajar (حَلَقَةْ) ada kesempatan bertemu (duduk berkumpuL0 disatu tempat halaqoh (kelas) dan ada interaksi antara guru dan murid (وَاسْتَمَعَ مَا يَقُوْلُ) mendengarkan sesuatu yang disampaikan (materi bahan ajar)

2.      Materi (bahan Ajar)
Syekh Nawawi dalam masalah menuntut ilmu termotivasi dengan hadits طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْظَة عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍMencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Menurut Syekh Nawawi “Ilmu” berarti sesuatu yang dibebankan kepada manusia yang berakal, baligh yang akan digunakan untuk berbuat sesuatu (amal perbuatan)
Sedangkan kata “muslim” adalah pribadi-pribadi yang sudah mukallaf (baca dikenai hukum taklifi)[6] Mukallaf adalah orang muslim yang sudah dewasa dan berakal sehat, sedangkan hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf. Dalam ajaran Islam setiap orang yang dewasa / berakal dapat dikenai beban hukum syar’i yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Jadi setelah mengatakan Islam (tauhid) yang perlu dipelajari / diperdalam terutama hukum syar’i tersebut sehingga dalam melaksanakan amal ibadah sesuai dengan syariat Islam. Di sekolah keagamaan (MI, MTs, MA, PT Islam) bidang studinya lebih diperinci dengan jumlah yang lebih banyak seperti aqidah akhlak, fiqih, AL-Qur’an hadits, SKI dsb. Selain itu juga diajarkan ilmu pengetahuan umum sebagai penunjang kehidupan dunianya.
Syekh Nawawi dalam masalah materi (kurikulum) yang diajarkan menggunakan hadits diantaranya :
وَقَالَ صلعم: مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طََرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ (رواه الترميذ عن ابى هريرة)
Barang siapa berusaha mencari cara untuk menuntut ilmu maka Allah akan memberi kemudahan jalan ke surga kepadanya. (HR. Thurmudi)
Menurut Syekh Nawawi kata “عِلْمًا” berarti yang berhubungan dengan syariat dan alat-alat / media,[7] menurut hemat penulis umat Islam dianjurkan mempelajari ilmu yang berhubungan dengan hukum syariat (agama) dan ditunjang dengan ilmu alat (umum) contoh bila akan menunaikan salah satu syareat Islam, seperti :
-          Shalat membutuhkan alat untuk menutup aurat
-          Zakat membutuhkan alat untuk menghitungnya
-          Puasa membutuhkan alat seperti jam waktu
-          Haji membutuhkan alat transportasi dll.
Selanjutnya menurut Syehk Nawawi : bila orang sudah memiliki dua ilmu tersebut di dunia akan dapat melaksanakan amal shaleh dan diakhirat nanti tidak ada hambatan untuk masuk surga dengan selamat.[8]
Untuk memiliki dua ilmu tersebut tentu saja harus belajar secara mendalam tanpa kenal lelah dengan dibimbing oleh guru tertentu sesuai dengan keahliannya. Orang yang berilmu (alim) tak akan pernah menolak bila diminta untuk mengajar / memberi nasehat dsb.
DR. H. Sahilun A. Nasir dalam desertasinya menyimpulkan bahwa:[9]
a.       Syekh Nawawi mengajar secara mendalam kepada murid-muridnya, hampir meliputi semua ilmu keislaman, baik mengajar di rumahnya sendiri maupun di masjidil haram. Dengan karya-karyanya yang beragam yang sampai sekarang masih diminati masyarakat, maka di merupakan “Ghozalinya” Jawa. Perhatiannya terhadap problem sosial bernuansa fiqih yang karenanya disebut “ulama’ perintis”
b.      Syekh Nawawi mengajarkan tasawuf yang moderat, berhasil memadukan secara harmonis antara syariat, tarekat dan hakekat. Aspek sufisme memang rawan kritik karena ada yang menimbulkan genostik. Formulasi tasawufnya merupakan perpaduan antara fiqih dan tasawuf mengikuti jejak Imam Al-Ghazali, ortodaksi sufismenya terlihat kental dengan penegasan pentingnya, taubat, qonaah, zuhud, tawakkal, ikhlas, ‘uzlah, dll dalam kehidupan ini.
c.       Pemikiran kalam Syekh Nawawi masih dapat dikatakan konsisten karena hanya terjadi perubahan kecil dalam pemikiran kalamnya yaitu tentang dhat dan sifat. Semula Syekh Nawawi berpendapat الصفة زائدة على الذات (dalam kitab fathul majid) tiga tahun kemudian beliau menambah pendapatnya dalam kitab Tijanud Darori bahwa الصفة قائمة على الذات (dalam kitab fathul majid) tiga tahun kemudian beliau menambah pendapatnya dengan kitab Tujanud Dakori bahwa الصفة قائمة على الذات (sifat melekat pada dzat) penapat yang terakhir ini sama dengan pendapat Imam Al-As’ari.
Secara filosofi pemikiran Syehk Nawawi Al-Banteni tentang pendidikan islam yang paling mendasar dan paling utama adalah tentang Tauhid mengesakan Allah, diyakini dalam hati di ucapkan dengan lisan di buktikan dengan amal perbuatan berupa amal ibadah dengan ilmu syariat fiqih yang mendalam, juga disertai ahklaqul karimah dalam kehidupan di dunia ini.
Selai ilmu syariat di perlukan pula ilmu alat semacam nahu sharof dan ilmu sosial yang mendukung pelaksanaan keagamaan kemasyarakatan dan membina ilmu pengetahuan umum yang seimbang. Oleh karena itu agar semuanya berhasil di perlukan metodologi yang mudah di pahami, dimengerti oleh anak didik sehngga menjadi orang yang berkualitas baik ilmu agamanya maupun ilmu umum keduanya seimbang


[1] Prof. Muhammad Yunus, Terjemah Al-Qur’an Karim, Al-Ma’arif, Bandung, tt, hal 47
[2] Syekh Nawawi, Tankihul Qoulul Hadits, tt hal 7
[3] Syek Nawawi, Tankh, 7
[4] Syekh Nawawi, Tankih, hal 7
[5] Syekh Nawawi, Tankih, hal 7
[6] Syekh Muh. Nawawi, Bukfatul Wasail, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya , tt, hal 3
[7] Syekh Nawawi, Buhjathul Wasail, hal 3
[8] Syekh Nawawi, Buhjatul Wasail, 3
[9] DR. Sahilun A. Nasir, Syekh Muh. Nawawi Al-Bantani-Al-Jawi, 315 (Desertasi), 2008, hal 315.

1 komentar: