1.
Syekh Nawawi
Al-Banteni dalam kitab تنقح القول الحثيث dalam membahas
pendidikan Islam (Ilmu dan Ulama’) berpijak pada firman Allah yang artinya
adalah :
Artinya
: Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Imron : 18)[1]
Dalam
ayat tersebut menurut Syekh Nawawi bahwa orang yang berilmu merupakan orang
yang mulya dan ulama’ berdiri tegak dengan jujur / adil, orang yang berilmu
disebut ulama’ hal ini berarti orang yang ilmu agamanya mempuni, kedudukannya
lebih terhormat. Begitu besar perhatian Syekh Nawawi pada ilmu itu didasarkan
pada hadits nabi.[2]
قال النبى صلعم لاِبْنِ مَسْعُوْدٍ ر
ض يَا اِبْنَ مَسْعُوْدٍ جُلُوْسُكَ سَاعَةً فِى مَجْلِسِ الْعِلْمِ لاتَمَسَّ
قَلَمًا وَلاَتَكْتُبُ حَرْفًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِتْقِ اَلْفِ رَقَبَةٍ الخى.
Artinya
: Nabi berkata sau kepada Ibnu Masud ra wahai Ibnu Masud dudukmu sebentar (ساعة) dalam suatu majlis ilmu
tanpa pegang pulpen tanpa menulis satu huruf pun itu lebih baik dari pada
memerdekakan budak seribu dst.
وَنَظْرُكَ اِلَى وَجْهِ الْعَالِمِ خَيْرُ لَكَ مِنْ
فَرْسٍ تَصَذَقَتَ بها فى سبل الله
Dalam
kelanjutan hadits tersebut dijelaskan bahwa melihat wajah orang alim (berilmu)
itu lebih baik dari seribu kuda yang disodaqohkan pada jalan Allah, menurut
Syekh Nawawi kita melihat (نَظْرٌ) dimulai dengan بِنَظْرِ الْمَحَبَّةَ , melihat dengan rasa
cinta (senang)[3]
Persoalannya sekarang kalau kebetulan orang alim tersebut guru kita (baca
kiyai) mungkin bisa terjadi rasa senang itu ada, akan tetapi bila orang alim
itu bukan dari golongan / kelompoknya, walaupun mengenalnya, tidak menimbulkan
rasa senang bahkan anti pati (cuek) hal ini bisa terjadi lebih-lebih berbeda
pilihannya (partainya)
Menurut hemat kami, menghormati orang
alim baik guru kita/bukan hendaknya tidak berlebihan yang terpenting adanya
kata batin bahwa orang alim (berilmu agama) itu adalah pewaris para nabi yang
harus dihormati.
اَلْعُلَمَآءَ
وَرَسَةُ اْلاَنْبِيَآءِ
Kalau toh ada perbedaan
kultur/budaya/afiliasi politiknya lihatlah dari sisi positifnya / baiknya saja,
karena tidak ada larangan bagi orang alim (ulama’) ikut dalam politik praktis,
kalau ada yang terjebak dalam kesalahan / dosa itu wajar karena tak ada manusia
yang tak pernah berbuat salah / dosa, tiada gading yang tak retak.
Kesalahan orang alim memang berakibat
fatal baik bagi dirinya maupun keluarganya serta pengikutnya. Orang alim itu
laksana baju putih ada kotoran sedikit pasti mudah terlihat, oleh karena itu
kita perlu mengambil pelajaran dari beberapa kejadian / kasus yang dialami
orang alim (ulama’)
Pada lanjutan hadits berikutnya[4] :
وَسَلاَمُكَ
عَلَى الْعَالِمِ خَيْرُ لَكَ مِنْ عِبَادَةِ اَلْفِ سَنَةٍ
Bila kita bertemu orang alim patut
memberi salam dan berjabat tangan jika memungkinkan, kalau tidak memungkinkan
jangan memaksakan diri, tergantung situasinya, kalau seikiranya tidak berbahaya
segera berjabat tangan dengan orang alim, apalagi ulama’ karismatik maka akan
terjadi hal-hal yang berbahaya (berdesakan).
Selanjutnya Syekh Nawawi dalam
masalah ilmu dan ulama’ (pendidikan keagamaan ini) menggunakan hadits dari Umar
bin Khattab.[5]
وَعَنْ عُمَربْن الخطاب قال سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلعم
يَقُوْلُ مَنْ مَشَى اِلَى حَلْقَةِ عَالِمٍ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ مِائَةُ
حَسَنَةٍ فَاِذَ جَلَسَ عِنْدَهُ وَاسْتَمَعَ مَا يَقُوْلُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ
كَلِمَةٍ حَسَنَةٌ كَذَا ذَكَرَهُ النَّوَوِى فِى رياض الصًّالِحين.
Dalam hadits tersebut disyaratkan
bahwa “langkah” seseorang dalam menuntut ilmu sudah mendapat pahala (kebaikan
apalagi bisa duduk bersanding dengan orang yang berilmu dan mendengarkan
ucapannya tentu akan menambah wawasan keilmuan kita (tambah kebaikan).
Syekh Nawawi rupanya sangat jeli
bahwa dalam menuntut ilmu perlu proses tahapan tertentu, ada tempat belajar (حَلَقَةْ) ada kesempatan bertemu
(duduk berkumpuL0 disatu tempat halaqoh (kelas) dan ada interaksi antara guru
dan murid (وَاسْتَمَعَ مَا يَقُوْلُ) mendengarkan sesuatu yang
disampaikan (materi bahan ajar)
2.
Materi (bahan
Ajar)
Syekh Nawawi dalam masalah menuntut
ilmu termotivasi dengan hadits طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْظَة عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ “Mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Menurut Syekh Nawawi “Ilmu”
berarti sesuatu yang dibebankan kepada manusia yang berakal, baligh yang akan
digunakan untuk berbuat sesuatu (amal perbuatan)
Sedangkan kata “muslim” adalah
pribadi-pribadi yang sudah mukallaf (baca dikenai hukum taklifi)[6]
Mukallaf adalah orang muslim yang sudah dewasa dan berakal sehat, sedangkan
hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh
mukallaf. Dalam ajaran Islam setiap orang yang dewasa / berakal dapat dikenai
beban hukum syar’i yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Jadi setelah mengatakan Islam
(tauhid) yang perlu dipelajari / diperdalam terutama hukum syar’i tersebut
sehingga dalam melaksanakan amal ibadah sesuai dengan syariat Islam. Di sekolah
keagamaan (MI, MTs, MA, PT Islam) bidang studinya lebih diperinci dengan jumlah
yang lebih banyak seperti aqidah akhlak, fiqih, AL-Qur’an hadits, SKI dsb.
Selain itu juga diajarkan ilmu pengetahuan umum sebagai penunjang kehidupan
dunianya.
Syekh Nawawi dalam masalah materi
(kurikulum) yang diajarkan menggunakan hadits diantaranya :
وَقَالَ صلعم: مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا
يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طََرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ (رواه
الترميذ عن ابى هريرة)
Barang siapa berusaha mencari cara untuk menuntut
ilmu maka Allah akan memberi kemudahan jalan ke surga kepadanya. (HR. Thurmudi)
Menurut Syekh Nawawi kata “عِلْمًا” berarti yang berhubungan
dengan syariat dan alat-alat / media,[7] menurut hemat
penulis umat Islam dianjurkan mempelajari ilmu yang berhubungan dengan hukum
syariat (agama) dan ditunjang dengan ilmu alat (umum) contoh bila akan
menunaikan salah satu syareat Islam, seperti :
-
Shalat membutuhkan alat untuk menutup aurat
-
Zakat membutuhkan alat untuk menghitungnya
-
Puasa membutuhkan alat seperti jam waktu
-
Haji membutuhkan alat transportasi dll.
Selanjutnya menurut Syehk Nawawi :
bila orang sudah memiliki dua ilmu tersebut di dunia akan dapat melaksanakan
amal shaleh dan diakhirat nanti tidak ada hambatan untuk masuk surga dengan
selamat.[8]
Untuk memiliki dua ilmu tersebut
tentu saja harus belajar secara mendalam tanpa kenal lelah dengan dibimbing
oleh guru tertentu sesuai dengan keahliannya. Orang yang berilmu (alim) tak
akan pernah menolak bila diminta untuk mengajar / memberi nasehat dsb.
DR. H. Sahilun A. Nasir dalam
desertasinya menyimpulkan bahwa:[9]
a.
Syekh Nawawi
mengajar secara mendalam kepada murid-muridnya, hampir meliputi semua ilmu
keislaman, baik mengajar di rumahnya sendiri maupun di masjidil haram. Dengan
karya-karyanya yang beragam yang sampai sekarang masih diminati masyarakat,
maka di merupakan “Ghozalinya” Jawa. Perhatiannya terhadap problem sosial
bernuansa fiqih yang karenanya disebut “ulama’ perintis”
b.
Syekh Nawawi
mengajarkan tasawuf yang moderat, berhasil memadukan secara harmonis antara
syariat, tarekat dan hakekat. Aspek sufisme memang rawan kritik karena ada yang
menimbulkan genostik. Formulasi tasawufnya merupakan perpaduan antara fiqih dan
tasawuf mengikuti jejak Imam Al-Ghazali, ortodaksi sufismenya terlihat kental
dengan penegasan pentingnya, taubat, qonaah, zuhud, tawakkal, ikhlas,
‘uzlah, dll dalam kehidupan ini.
c.
Pemikiran kalam
Syekh Nawawi masih dapat dikatakan konsisten karena hanya terjadi perubahan
kecil dalam pemikiran kalamnya yaitu tentang dhat dan sifat. Semula Syekh Nawawi
berpendapat الصفة زائدة على الذات (dalam kitab
fathul majid) tiga tahun kemudian beliau menambah pendapatnya dalam kitab
Tijanud Darori bahwa الصفة قائمة على الذات (dalam kitab
fathul majid) tiga tahun kemudian beliau menambah pendapatnya dengan kitab
Tujanud Dakori bahwa الصفة
قائمة على الذات
(sifat melekat pada dzat) penapat yang terakhir ini sama dengan pendapat Imam
Al-As’ari.
Secara filosofi pemikiran Syehk
Nawawi Al-Banteni tentang pendidikan islam yang paling mendasar dan paling
utama adalah tentang Tauhid mengesakan Allah, diyakini dalam hati di ucapkan
dengan lisan di buktikan dengan amal perbuatan berupa amal ibadah dengan ilmu
syariat fiqih yang mendalam, juga disertai ahklaqul karimah dalam kehidupan di
dunia ini.
Selai ilmu syariat di perlukan pula ilmu alat semacam
nahu sharof dan ilmu sosial yang mendukung pelaksanaan keagamaan kemasyarakatan
dan membina ilmu pengetahuan umum yang seimbang. Oleh karena itu agar semuanya
berhasil di perlukan metodologi yang mudah di pahami, dimengerti oleh anak
didik sehngga menjadi orang yang berkualitas baik ilmu agamanya maupun ilmu
umum keduanya seimbang
[1] Prof. Muhammad Yunus, Terjemah Al-Qur’an Karim, Al-Ma’arif, Bandung, tt, hal 47
[2] Syekh Nawawi, Tankihul Qoulul Hadits, tt hal 7
[3] Syek Nawawi, Tankh, 7
[4] Syekh Nawawi, Tankih, hal 7
[5] Syekh Nawawi, Tankih, hal 7
[6] Syekh Muh. Nawawi, Bukfatul Wasail, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya , tt, hal 3
[7] Syekh Nawawi, Buhjathul Wasail, hal 3
[8] Syekh Nawawi, Buhjatul Wasail, 3
[9] DR. Sahilun A. Nasir, Syekh Muh. Nawawi Al-Bantani-Al-Jawi, 315
(Desertasi), 2008, hal 315.
kalau dalil tentang ilmu adalah cahaya mana?
BalasHapus